Kopi yang Berkeadilan dari Malang Raya

Jika kamu ingin sampai dengan cepat, pergilah sendirian. Namun, jika kamu ingin sampai jauh, pergilah bersama-sama.

Peribahasa Afrika ini cocok menggambarkan dunia kopi di Malang Raya, Jawa Timur, dalam beberapa tahun terakhir. Warga setempat bergandengan tangan mewujudkan usaha kopi yang adil dan beradab bagi petani, pedagang, dan konsumen.

Kami tidak menjemur kopi di lantai semen ataupun tanah karena sifat kopi yang menyerupai spons, menyerap bau di sekitarnya. Kami tak ingin kopi terkontaminasi bau semen atau tanah,” kata Eko Yudhi Sukriyanto, petani kopi Wonosari, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang, Sabtu (20/5).

Tempat penjemuran kopi milik Sukri didesain setinggi 1,5 meter dari tanah. Hal ini agar biji kopi yang dijemur steril dari kontaminasi. Kopi yang dijemur asal-asalan akan menghasilkan cita rasa yang kurang bagus.

Sukri paham, kopi berkualitas tak cukup dihasilkan dari panen yang baik. Proses pengolahan pascapanen turut menentukan kualitas, dimulai dari memilih biji yang bagus, fermentasi, dan penjemuran yang steril.

Pengetahuan seperti itu dipahami 125 petani di Desa Sri Mulyo, Sukodono, dan Baturetno (Sridonoretno), Kecamatan Dampit. Mereka bekerja bersama dalam satu kelompok tani dan sukses mengusung kopi Sridonoretno. Mereka memproduksi 500 ton kopi per tahun, dan 7 ton di antaranya berasal dari praktik pertanian yang baik.

Kelompok Petani Sridonoretno mendapatkan ilmu dari Aliansi Petani Indonesia (API). Di lapangan, edukasi kopi dilakukan empat orang, yakni Sekretaris Jenderal API Muhammad Nuruddin, Dery “Menel” Pradana, Demsi Danial, dan Edi Sasono. Menel adalah sarjana Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Adapun Edi dan Demsi adalah pegiat sosial.

Masuknya empat orang ini awalnya hanya “kecelakaan”. Menel sering nongkrong di warung kopi dan berkumpul dengan para penikmat dan pedagang kopi. Lalu, muncul keprihatinan bahwa kopi lokal tak ada harganya di daerah sendiri. Mereka terus digelontor kopi pabrikan dan tidak pernah menikmati kopi lokal Dampit, yang pada zaman Belanda diakui memiliki cita rasa internasional.

Itu sebabnya, mereka bertekad masuk ke Dampit. “Kami masuk ke sana dua tahun lalu dan melihat banyak kopi diproses asal-asalan sehingga pasarnya juga asal-asalan. Kopi Dampit dicampur dengan aneka kopi lain dan diberi label baru. Itu membuat kopi Dampit tak lagi kuat seperti di era kolonial,” kata Menel.

Saat mulai berkiprah, mereka menghadapi tantangan mengubah mitos budidaya kopi. Misalnya, petik kuning dikatakan memiliki berat lebih besar dibandingkan petik merah.

Untuk menggerus mitos itu, Menel tinggal bersama petani selama setahun agar setiap hari bisa bertemu dan mengajari bagaimana cara bertani kopi yang baik (petik merah, penjemuran harus steril, dan sebagainya).

Mereka pun meminta petani menimbang biji kopi merah, kuning, dan hijau. Satu kilogram kopi merah setelah dihitung terdiri atas 505 biji. Dengan berat yang sama, didapati 540 biji kopi petik kuning, atau 600 biji kopi petik hijau. Artinya, kopi petik merah lebih berat daripada petik kuning. Mitos petik kuning lebih baik daripada petik merah pun pupus.

“Setiap hari saya ngopi minimal enam kali. Saya berganti-ganti kelompok bahkan rumah petani untuk menyuarakan pentingnya praktik yang baik. Hal itu dilakukan untuk mengajak petani merasakan kopi produk mereka sendiri. Selama dua tahun berproses, mereka paham bagaimana membedakan kopi kualitas baik dan tidak,” kata Menel.

Selain menata budidaya kopi, Menel dan rekan-rekannya juga mengedukasi melalui sekolah kopi. Sekolah kopi digagas sejak Maret 2016. Seperti pada Sabtu (20/5), puluhan orang berkumpul di Kantor Kompas Biro Malang untuk belajar kopi. Yang hadir antara lain petani, asosiasi petani, pemilik kedai kopi, akademisi, dan warga.

Jika praktik budidaya kopi ditujukan untuk petani, sekolah kopi untuk konsumen. Awalnya, murid mereka hanya dua orang, tetapi kini tidak terhitung jumlahnya. Mereka yang menimba ilmu kopi dari sekolah kopi ada yang meneruskan menimba ilmu itu ke akademi dan menjadi penguji cita rasa kopi.

Di sekolah kopi itu, para pemilik kedai juga diminta menghitung sendiri harga kopi yang mereka jual dibandingkan dengan harga beli kopi plus ongkos penyajian kopi (sortir kopi). Selama ini, para penjual pemula menghabiskan waktu 1,5 jam untuk menyortir 1 kg kopi. Waktu sepanjang itu harusnya bisa digunakan untuk melayani pembeli bercangkir-cangkir kopi.

Dengan upaya itu, kopi Dampit naik harga dari Rp 18.000-Rp 23.000 per kg menjadi Rp 30.000 lebih per kg.

Nuruddin mengatakan, sejak awal petani diajak berorganisasi dan membangun pemasaran bersama. “Kopi dikelola bersama, dipasarkan bersama, dan keuntungannya dinikmati bersama,” ujarnya.

Model pemberdayaan kopi dan petani yang diusung di Malang ini mungkin bisa menjadi model membangun pertanian berkeadilan dan berkelanjutan di daerah lain. Dengan adanya kesadaran bersama itu, secangkir kopi berkualitas bisa jauh lebih berdaya; tak hanya dinikmati oleh pembeli, tapi juga pemilik kedai, termasuk petani.

(Dahlia Irawati/Angger Putranto/Siwi Yunita C)

sumber: https://kompas.id/baca/utama/2017/05/31/kopi-yang-berkeadilan-dari-malang-raya/

 
 
 
 
 
 
 
 
Next Post

Recent News