Senin, 14 Februari 2011 – 19:09 wib
Rifa Nadia Nurfuadah – Okezone
JAKARTA – Salah satu penyebab beragam masalah pangan di Indonesia adalah tidak komprehensifnya pengaturan masalah pangan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1976 tentang Pangan. Karena itu, pemerintah perlu segera merevisi kebijakan yang mengatur masalah krusial dalam kehidupan bernegara itu.
“Saat ini masalah gizi bertambah banyak, di samping produksi dan penyediaan pangan sudah berlebih. Saya mengusulkan nama undang-undangnya diubah menjadi UU tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, sehingga menjadi satu sistem pengaturan antara ketahanan pangan dengan penanggulangan masalah gizi,” papar Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Hardinsyah seperti dikutip dari keterangan tertulis IPB, Senin (14/2/2011).
Dalam Diskusi “Revisi UU Pangan” di Kampus IPB Darmaga, Bogor, baru-baru ini, Hardiansyah memaparkan, sesuai Undang-Undang (UU) Pangan, ketahanan pangan Indonesia diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Kondisi ini menyiratkan seolah-olah pemerintah baik pusat maupun daerah berlepas tangan terhadap keadaan masyarakat pada golongan miskin dan kelompok berisiko yaitu manula, ibu hamil, dan anak.
“Dalam UU Pangan tidak dijelaskan secara gamblang kebijakan pangan yang pro poor dan pro lingkungan atau keberlanjutan. Bidang agroindustri yang diharapkan berkontribusi dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan malah menjadi pihak yang paling sering melakukan pelanggaran konsep keberlanjutan dan perusakan lingkungan terbanyak,” Hardiansyah mengimbuhkan.
Peneliti Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB, Dr Dwi Andreas mengkritisi alasan revisi UU tentang Pangan tersebut. “Apakah karena adanya tsunami pangan yang dialami berbagai negara khususnya seperti negara Mesir dan Indonesia yang telah menjadi negara pengimpor pangan terbesar dunia? Jika benar, maka kita perlu menekankan konsep akses penyediaan pangan masyarakat berdasarkan kedaulatan pangan,” kata Andreas.
Pemerintah memang menetapkan kebijakan akses pangan bagi masyarakat, namun tidak dijelaskan apakah melalui kemandirian penyediaan dalam negeri atau semata-mata menyandarkan impor pangan.
“Sementara, sebagai dampak dari Agreement of Agriculture (AoA) World Trade Organization (WTO), kebijakan impor pangan menyebabkan penurunan dukungan negara terhadap sektor pangan atau pertanian, peningkatan akses pasar untuk impor pangan, dan pengurangan subsidi ekspor,” ujarnya lagi.
Andreas menilai, bagi negara berkembang seperti Indonesia, kondisi ini malah meringankan peran pemerintah di samping menghemat anggaran, karena harga pangan dunia jauh lebih rendah dibanding biaya produksi pangan dalam negeri.
Namun, dalam jangka panjang kebijakan tersebut justru menyebabkan ketergantungan impor, jebakan pangan, dan krisis pangan berkepanjangan.
“Untuk meningkatkan kemandirian pangan sebaiknya pemerintah mengembalikan peran Bulog pada posisi semula, dan nantinya tidak dikomersialisasikan dalam revisi UU tentang Pangan,” ujar Andreas mengusulkan.(hri)
(http://news.okezone.com/read/2011/02/14/337/424838/segera-revisi-uu-pangan)