Selasa, 23 November 2010 | 08:12
oleh Herlina KD
JAKARTA. Meski harga kakao dunia cenderung naik, tapi kenaikan harga ini tidak bisa dinikmati oleh petani kakao di dalam negeri. Data analisis di situs Bappebti menunjukkan, kakao di tingkat pengumpul di Lampung hanya dihargai sekitar Rp 19.000 – Rp 21.000 per kg. Padahal seharusnya harga di tingkat pengumpul ini bisa mencapai Rp 25.000 per kg.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Zulhefi Sikumbang menjelaskan, rendahnya kualitas kakao petani menyebabkan harga jual kakao menjadi rendah. “Kadar kotoran yang diperbolehkan di pasar internasional sekitar 2,5%, sementara kakao produksi para petani kita memiliki kadar kotoran sekitar 8% – 12%,” katanya kepada KONTAN di Jakarta, Senin (22/11).
Tingginya curah hujan membuat kadar air kakao menjadi tinggi. Pasokan biji kakao di tingkat petani memiliki kadar air melebihi ketentuan pabrik pengolah kakao. “Sesuai standar kualitas ekspor, kadar air untuk biji kakao harusnya sekitar 8%,” ungkap Zulhefi. Curah hujan yang tinggi juga membuat tanaman kakao rawan terserang jamur, sehingga kualitas biji kakao semakin rendah.
Agar kualitas kakao para petani lokal membaik, mau tidak mau pemerintah harus melakukan pendampingan dan penyuluhan kepada petani. Selain itu, program gerakan tanam kakao juga harus dilakukan secara menyeluruh. Sebab, selama ini dari 1,45 juta hektar lahan kakao di Indonesia, hanya sekitar 60.000 hektar – 100.000 hektar yang terjangkau gerakan tanam kakao.
http://industri.kontan.co.id/v2/read/industri/52945/Harga-kakao-global-naik-petani-cuma-gigit-jari