Oleh HERMAS E PRABOWO
Gagasan membentuk Bank Pertanian kian kuat. Baik itu dilakukan dengan optimalisasi perbankan yang ada, mentransformasi bank dengan membuat suatu cabang atau divisi menjadi unit yang mandiri, atau mendirikan bank baru.
Terlepas dari aspek legal maupun teknis menyangkut skema pembiayaan yang akan dirancang, pertanyaan mendasar yang perlu dijawab, apakah memang petani benar-benar membutuhkan Bank Pertanian? Ataukah, rencana pembentukan Bank Pertanian refleksi dari ketidakpekaan para pemangku kepentingan terhadap persoalan mendasar yang dihadapi petani?
Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman Hadad, Senin (12/5) di Bogor, Jawa Barat, mengatakan, masalah pembiayaan pertanian memang penting. Namun, masih ada masalah lain yang tidak kalah pentingnya, yang harus segera ditangani. Masalah itu, antara lain, infrastruktur pertanian, penguatan organisasi petani, kelembagaan, penyuluh, dan pemasaran hasil pertanian.
Pengamat ekonomi dan Komisaris Independen PT Bank Rakyat Indonesia Aviliani mengatakan, sepanjang ada jaminan kelangsungan usaha dalam bentuk jaminan pasar dan harga, perbankan akan berbondong-bondong memberi kredit ke sektor pertanian.
Rendahnya penyaluran kredit ke sektor pertanian karena risiko usaha tani masih dianggap tinggi. Bank tidak berani mengambil risiko lebih besar karena harus berhati-hati mengelola dana dari masyarakat.
Terperangkap
Memang harus diakui, saat ini petani terperangkap dalam kemelut pembiayaan. Kondisi ini bukan tanpa alasan. Masalah jaminan harga dan jaminan pembelian komoditas pertanian adalah inti persoalan yang dihadapi petani selama ini. Dua hal itu yang membuat hidup petani seolah tergadaikan.
Tiadanya jaminan harga dan pembelian membuat petani selamanya harus berjudi dengan usaha mereka. Apalagi, mereka berusaha dalam skala kecil dengan sumber daya minim. Ketidakpastian usaha menjadikan usaha pertanian seperti harus siap merugi. Bisa karena serangan hama penyakit, harga komoditas pertanian yang jatuh di pasaran, atau tidak terserap pasar karena kualitas buruk atau produksi berlimpah.
Pada situasi seperti itu, masalah pembiayaan menjadi seperti dewa penolong, padahal itu semu. Uluran tangan dalam bentuk pembiayaan tidak akan menyelesaikan masalah jangka panjang karena petani masih akan bergulat dengan ketidakpastian dalam mengelola usaha taninya di masa mendatang.
Infrastruktur dasar
Ketua Gabungan Pengusaha Perunggasan Indonesia Anton J Supit mengatakan, yang dibutuhkan petani adalah penyediaan infrastruktur dasar yang memadai. Untuk petani jagung, misalnya, mereka memerlukan sarana pengeringan dan penyimpanan jagung sehingga kualitas jagung bisa bertahan bagus dan kalau dijual harganya tinggi.
Untuk pasar, tidak perlu khawatir karena industri pakan mampu menyerap jagung produksi petani, namun dengan catatan, sesuai standar yang diperlukan pabrik pakan.
Selain sarana pengeringan dan penyimpanan, petani juga memerlukan infrastruktur yang baik, seperti jalan dan listrik. Tanpa itu, mustahil petani bisa bertahan dalam usaha taninya. Setiap komoditas memiliki karakteristik sendiri sehingga pemerintah perlu menyediakannya sesuai kebutuhan.
Peternak sapi perah dan sapi potong, misalnya. Persoalan yang mereka hadapi bukan permodalan, tetapi ketidakpastian harga jual produknya. Para peternak sapi perah mulai enggan memelihara sapi perah karena fluktuasi harga susu yang tajam.
Desakan peternak agar pemerintah segera membangun pasar susu alternatif di luar industri pengolahan susu (IPS) selama ini bagai membentur tembok. Adapun petani bawang merah menghadapi persoalan anjloknya harga saat panen. Meski berulang dari tahun ke tahun, tidak pernah ada kebijakan apa pun dari pemerintah untuk mengatasi keadaan itu.
Pengamat ekonomi Faisal Basri berpendapat, sebagian besar pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bergerak di sektor pertanian. Namun, selama ini pemerintah seolah hanya melihat keterbatasan modal usaha hanya bisa diatasi dengan mekanisme kredit perbankan.
“Ironisnya, sebagian besar anggaran penyertaan modal dititipkan ke bank. Jadi, aturan main mengakses kredit ya harus mengikuti aturan perbankan. Padahal, bank dikenal njelimet prosedur kreditnya. Yang dibutuhkan petani sebetulnya skema khusus agar mudah mengakses pinjaman,” ujar Faisal.
Tidak butuh modal
Faisal menegaskan, sebenarnya bank tidak membutuhkan suntikan modal. Data dari Bank Indonesia, kucuran kredit sektor pertanian dan nonpertanian sudah sekitar Rp 500 triliun. Karena itu, kata Faisal, apabila pemerintah mau membantu, bantu petani mendapat kepastian yang sangat riil. Misalnya, kepastian harga gabah agar petani dapat memperkirakan keuntungannya. Dengan demikian, perbankan mudah memercayai petani mengakses kredit.
Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi juga mengajukan sederet pertanyaan terkait rencana pembentukan Bank Pertanian.
Bayu menegaskan, apa yang dimaksud Bank Pertanian. Apakah bank milik petani atau bank yang dirancang pelayanannya sesuai karakteristik petani? Padahal, karakteristik petani berbeda, sesuai komoditas yang dibudidayakannya serta skala usaha dan daerahnya. Lalu bagaimana cara mengatasi cost of money? Dari manakah sumber dana bank tersebut? Melihat itu semua, pembentukan Bank Pertanian sepertinya harus dikaji ulang. (OSA)
Source: Kompas| Kamis, 14 Mei 2009