Persoalan HGU perkebunan PT. Buana Estate dan reclaiming tanah oleh petani Banjaran, Langkat, Deli Serdang, Sumatra Utara yang telah berlangsung lama dan belum juga terselesaikan kembali memercikkan api. Pagi hari pukul 08.00 Wib, 30 Januari 2008 lalu, saat petani sedang melakukan aktifitas pertanian, sejumlah 30 aparat kepolisian bersenjata lengkap dan ditengarai berasal dari Polres Langkat memasuki areal lahan warga dan membangun beberapa gubuk siaga.
Terkait keadaan tersebut, Divisi Advokasi Aliansi Petani Indonesia (API) pada hari yang sama segera melakukan koordinasi dengan Komnas HAM untuk menghindarkan terjadinya tindakan-tindakan pelanggaran yang dapat merugikan para petani. Sementara pihak Komnas berusaha menghubungi pihak Polres dan Bupati Langkat, di lapangan tersiar kabar bahwa telah terjadi penambahan personil polisi sebanyak satu truk. Dan entah disebabkan oleh desakan Komnas atau tidak, sekitar pukul 15.30 salah seorang warga di lokasi memberi kabar via telepon bahwa aparat telah keluar dari lokasi tanpa melakukan tindakan berarti.
Namun pada keseokan paginya, 31 Januari sekitar jam 09.00 sejumlah 30 polisi (1 pleton) bersenjata lengkap kembali tampak di lokasi dan membangun posko dengan memanfaatkan sebuah bangunan milik perebunan yang sudah kosong dan melakukan penjagaan secara bergilir. Sementara itu warga yang selama ini berada pada posisi vis a vis dengan pihak perkebunan juga semakin mempertinggi tingkat kewaspadaan. Dan kemungkinan disebabkan oleh tekanan psikologis yang bertambah kuat, sekitar pukul 22.05, warga melalui telepon meminta agar Komnas segera melakuan tindakan yang dibutuhkan.
Pada saat berita ini diturunkan, Fuad dari Divisi Advokasi API yang sedang berada di kantor Komnas HAM menginformasikan bahwa pihak Komnas yang diwakili Jhoni Simanjutak merencanakan akan bertemu dengan Probosutedjo, pemilik Buana Estate, di lapas Nusakambangan dan meminta agar adik almarhum mantan presiden Soeharto itu segera memerintahkan anak buahnya untuk mengeluarkan polisi dari areal konflik.
Pertikaian antara PT Buana Estate versus masyarakat Kampung Banjaran bukanlah konflik baru. Tanah seluas 70,3 hektar (7,7 ha lahan garapan dan 62,6 ha areal perkampungan kompak/banjaran) melayang dari genggaman 86 Rumah Tangga di Dusun Banjaran, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Sejak 1931 mereka hidup di atas tanah yang dilindungi oleh Undang-undang No.8/1954, Surat Gubernur Sumatera Utara No.2324/27 Desember 1982, serta Risalah Pemeriksaan Tanah No.106/PPT/B/1980. Tanah itu beralih tangan ke pengusaha ternama di Jaman Orde Baru. Kini HGU yang dikuasai PT Buana Estate milik Probosutejo itu sudah habis pada 31 Desember 2007. Masyarakat tak ingin lagi kehilangan hak yang telah dirampas selama 25 tahun lebih melalui muslihat pemegang modal yang berkolusi dengan pejabat dan alat keamanan negara itu. Bersama Kelompok Tani Masyarakat Ingin Makmur (KTMIM) mereka berjuang meraih kembali tanah mereka.
Sejak tahun 2000 masyarakat telah berkali-kali mendatangi berbagai instansi terkait di daerah dan di tingkat provinsi. Bahkan awal Januari 2007 delegasi Kelompok Tani Masyarakat Ingin Makmur (KTMIM) yang merupakan organisasi yang menaungi perjuangan warga, mendatangi DPR RI, Komnas HAM, Mendagri, dan BPN di Jakarta namun belum mencapai hasil sebagaimana diharapkan masyarakat.
Sampai dengan minggu ke empat Desember 2007, aksi warga telah berlangsung sebanyak 25 kali, dimana aksi yang ke dua puluh empat, yakni tanggal 25 Desember, selain melebarkan posko juga diisi dengan evaluasi perjuangan, sosialisasi hasil RAPIM API Jakarta yang diikuti oleh Supono pada 10-14 DESEMBER. Dalam kesempatan itu Pono penyampaikan juga Surat dukungan dari Aliansi Petani Indonesia yang ditandatangani tidak kurang dari 30 orang dari seriat tani Seluruh Indonesia berikut juga surat perlindungan Komnas HAM atas dirinya.
Sementara pada kesempatan yang sama, Ariadi juga menyampaikan kontribusi Bina Desa melalui Workshop berupa kunjungan study kasus pada maret 2008, selain juga informasi tentang telah diterimanya secara langsung surat permintaan peninjauan HGU No 80 oleh Direktur Konflik pertanahan BPN Pusat.
Setelah dilakukan penelaahan menyangkut berbagai tindakan Polres sejak terjadinya aksi reclaiming 17 Juli hingga 25 Desember 2007, ditemukan beberapa temuan yang cukup penting. Pertama, Diduga keras bahwa pemutasian Kasat Reskrim Polres Langkat diakibatkan oleh tindakannya yang improsedural berupa penyitaan simbol perjuangan KTMIM pada 27 November yang sama sekali menyalahi peraturan yang ada. Selain itu terasa juga bahwa desakan Komnas Ham kepada Kapolres melalui Kabag Mitra Kamtibmas tanggal 11 Desember berdampak pada menurunnya secara drastis intervensi kepolisian. Kedua, PT. Buana seolah kehilangan strategi. Hanya tindakan memasang plag baru yang isinya tidak terlampau istimewa. Ketiga, November-Desember 2007 yang dihitung sebagai masa krisis ternyata benar terbukti. Namun demikian untuk sementara waktu rentang tersebut cukup terlewati dengan aman.
Krisis dimaksud berbentuk misalnya, munculnya tidak kurang dari 70 personil Polres berpakaian preman yang melakukan aktifitas hilir mudik di lokasi reclaiming, sementara dua unit truk polisi berisi penuh aparat kepolisian bersenjata lengkap sedang transit di Mapolsek Secanggung yang berjarak 1,5 Km dari Banjaran, meski kemudian akhirnya ditarik mundur.
Keesokan harinya, 12 Desember sekitar pukul 13.00 Wib Supono, salah seorang warga, menerima teror melalui hp dari sebuah nomor pribadi dan mengaku sebagai Kasatreskrim Polda Sumatra Utara. Hal tersebut menggambarkan ancaman terhadap Supono yang dikesankan tidak bertanggung jawab setelah Banjaran bergolak dengan melarikan diri ke Jakarta. Padahal saat itu Pono berada di Jakarta untuk tujuan mengikuti Rapat Pimpinan Dewan Tani ke V Aliansi Petani Indonesia (API). Dalam pada itu Supono juga diancam akan segera ditangkap sekembalinya ke Langkat.
Hal yang sama juga terjadi keesokan harinya, 13 Desember menjelang Maghrib (waktu Jakarta). Supono kembali menerima telpon sebanyak dua kali dari nomor berbeda (dua nomor tersebut telah diarsip oleh Seknas API. Red) dengan selang waktu seitar 15 menit. Kedua penelpon tersebut mengaku sebagai anggota kasat reskrim Polres Langkat dan tampak sedang berusaha mencari tahu posisi keberadaan Supono. Pada kesempatan itu si penelpon juga mengatakan bahwa kehadiran Polres pada 11 Desember sebenarnya hanyalah semata mata antisipasi kalau-kalau terjadi benturan antara warga dan pihak perkebunan.
Selain tiga hal di atas, point Keempat, yang juga tak kalah penting adalah bahwa bukti tanda terima uang sekapur sirih yang pernah diberikan pada warga di ruang Kamp Bakortansda oleh Polres pada 1986 dan itupun di bawah tekanan senjata, kabarnya akan dijadikan salah satu senjata untuk mematahkan hak warga antas Banjaran.
Dengan dipelajarinya berbagai dokumen dan realitas lapangan hingga bermuara pada temuan temuan tersebut terkait dengan berakhirnya masa HGU pada 31 Desember 2007, maka dianggap sudah tiba masanya aksi lapangan disempurnakan dengan melakukan pendudukan. Aksi ini sedianya akan disepakati mulai tanggal 1 Januari 2008, yang berarti merupakan aksi ke 26.
Meski masa krisis telah dianggap telah lewat, namun ada beberapa kewaspadaan yang musti tetap dijaga. Misalnya upaya pengusiran berikut pembersihan hasil reclaiming secara paksa oleh polres atau kemungkinan pengerahan preman oleh pihak perkebunan. Sementara soal kriminalisasi sudah tida lagi cukup merisaukan karena kenyataannya BAP telah empat kali dilimpahkan dan semuanya dikembalikan oleh Kejaksaan.[Dzi]