Penulis: Defri Werdiono | Editor: yuli
Kamis, 17 Februari 2011 | 05:53 WIB
BARITO KUALA, KOMPAS.com Udin (38) mengamati dari kejauhan pekerja yang tengah mengendalikan traktor tangan di tengah lahannya. Ini kali pertama bagi Udin memanfaatkan traktor tangan, setelah selama puluhan tahun ia hanya mengandalkan pada tajak, semacam cangkul sempit memanjang dengan tangkai berbentuk huruf “L” guna membalik permukaan tanah.
Untuk bisa merasakan jasa bajakan traktor yang hasilnya lebih halus ketimbang tajak, Udin harus mengeluarkan Rp 30.000 untuk ukuran sawah seluas dua borong (setara 578 meter persegi) untuk dua kali bajak. Apabila hanya memerlukan sekali bajak, uang yang dibayar untuk biaya sewa hanya Rp 20.000.
Akhir pekan lalu, Udin berada di persawahan Desa Baringin Jaya, Kecamatan Anjir Muara, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan (Kalsel).
Udin bersama sejumlah petani lainnya tengah mempersiapkan lahan untuk menanam anak benih (bibit) padi siam unus, padi lokal yang sangat digemari oleh masyarakat Banjar.
Ada petani yang masih meratakan tanah, memperbaiki pematang, hingga memulai tanam. Untuk menghindari sengatan matahari, mereka berlindung pada tanggui, semacam caping lebar khas Banjar yang dibuat dari daun nipah.
Sebelumnya, selama hampir 2,5 bulan petani setempat membiarkan lahannya terbengkalai begitu saja, pascapanen sekitar bulan November 2010. Selama masa itu, persawahan lebih banyak ditumbuhi oleh vegetasi air, seperti semanggi dan rerumputan lain.
Maklum, dalam setahun, sebagian besar petani hanya melakukan sekali tanam, kecuali mereka yang memilih varietas padi unggul, seperti jenis IR 64 dan ciherang.
“Petani di sini lebih menyukai padi siam. Padi ini lebih disukai sehingga harganya tinggi, lebih tinggi daripada padi lain,” ujar Udin.
Di pasaran, harga satu kilogram gabah siam unus mencapai Rp 75.000 per belek (setara 15 kilogram), sedang gabah varietas unggul hanya Rp 50.000. Adapun harga beras unus mencapai Rp 200.000 per belek.
Selain lebih disukai, lanjut Udin, tidak semua pemilik tanah begitu saja mengizinkan lahannya ditanami padi unggul. Entah apa alasannya, Udin yang menyewa lahan garapan dengan sistem bagi hasil menduga semua berhubungan dengan kepuasan. Sepertinya, pemilik lahan lebih puas jika tanahnya ditanami padi siam.
Dari sisi fisik, tanaman padi siam jauh berbeda dengan padi unggul. Tinggi bibit padi siam bisa mencapai 60 sentimeter, lebih tinggi dari padi unggul yang hanya 30 sentimeter. Begitu pula tinggi tanaman setelah dewasa, padi siam bisa mencapai 125 sentimeter.
“Padi baru ditanam setelah umur bibit mencapai 2,5 bulan. Sekarang kami tanam dan baru panen pada bulan Juli nanti. Waktu masih bibit saja, batang yang terendam air bisa mencapai 40 sentimeter,” ujar Amang Abok (50), petani yang lain.
Sayangnya, tahun ini musim tanam padi di daerah setempat tidak bisa serempak. Di Desa Beringin, Kecamatan Alalak, misalnya, masih ada petani yang terkendala ketinggian air. Jani (50), salah satu petani, menuturkan bahwa dia kesulitan untuk menyebar anak benih akibat permukaan air di sawah garapannya masih tinggi. Ini adalah efek dari hujan yang turun secara terus-menerus pada tahun 2010.
Rupanya, meski hanya dipisahkan sungai besar Barito, karakteristik lahan pertanian di Desa Beringin tak sebaik di Beringin Jaya yang irigasinya berfungsi lebih baik. Di Beringin Jaya, ketinggian air sempat menjadi kendala. Menurut Udin, permukaan air yang tinggi menyebabkan akar bibit padi menjadi terangkat, tidak mampu masuk ke tanah secara sempurna.
Di Kabupaten Barito Kuala terdapat dua jenis lahan, yakni sawah fungsional dengan luas 938.708 hektar dan selebihnya lahan pasang surut. Barito Kuala juga memiliki rawa lebak yang sulit surut dalam setahun terakhir.
Pengurangan luasan
Sriyono, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kalsel, mengatakan, selama tahun 2010 terjadi reduksi atau pengurangan luas tanam di Kalsel hingga 38.000 hektar, dari 522.000 hektar menjadi 480.000 hektar. Pengurangan itu utamanya terjadi di lahan rawa lebak akibat permukaan genangan air yang tinggi.
Walaupun begitu, Kalsel masih beruntung. Meski luasan tanam berkurang, produksi masih surplus jika dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi warga yang mencapai 3,6 juta jiwa. Produksi padi Kalsel tahun 2010 mencapai 1,940 juta ton gabah kering giling atau 1,14 juta ton beras. Produksi ini sedikit turun dibanding 2009 yang sebesar 1,954 juta ton.
“Pada musim tanam bulan September-Desember 2010 baru ada 100.000 hektar lahan yang sudah ditanami padi. Luasan ini lebih sedikit dibanding periode yang sama tahun 2009 lalu, yang mencapai 110.000 hektar. Artinya, 10.000 hektar belum bisa ditanami,” kata Sriyono.
Karena itulah, awal musim, tanah di Barito Kuala ini seolah menjadi harapan baru bahwa masa tanam di Kalsel tahun 2011 hendaknya lebih baik dibanding 2010.
(http://regional.kompas.com/read/2011/02/17/05535795/Musim.Tanam.Padi.Siam.di.Barito.Kuala)