Kamis, 17 Februari 2011
HongKong, Rabu – Harga bahan pangan yang melambung membuat inflasi di sejumlah negara Asia melonjak. Kenaikan ini merupakan kelanjutan krisis pangan global yang mencapai puncaknya tahun 2008. Ketika negara kaya nyaris tak merasakan dampaknya, puluhan juta penduduk di Asia harus berpikir keras untuk bisa cukup makan.
Di India, keluarga miskin terpaksa mengurangi konsumsi daging dan sayuran. Kenaikan harga cabai yang gila-gilaan di Indonesia mendorong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta penduduk menanam sendiri cabai di rumah. Di China, pemilik restoran mulai merasa terjepit dengan kenaikan harga.
Khawatir dengan kemungkinan kerusuhan, pemerintah bekerja keras mencegah inflasi karena kenaikan harga pangan tidak merembet ke sektor lain. Mereka menghadapi dilema saat menaikkan suku bunga untuk menekan inflasi. Apabila terlalu cepat, pertumbuhan ekonomi akan terganggu. Namun, jika terlalu pelan, masalah akan meledak di luar kendali.
Liu Shaozhen, yang bersama suaminya mengelola restoran di Beijing, mengatakan, dia membayar 225 yuan atau sekitar Rp 302.000 untuk 20 kilogram minyak selada, nyaris dua kali lipat dari harga saat mereka membuka usaha ini, September 2010. Harga beras juga naik hampir 40 persen. Namun, persaingan keras membuat dia tak bisa menaikkan harga atau mengurangi porsi makanan.
Saya tidak mendapat keuntungan. Faktanya sekarang saya merugi, kata Liu, yang menjual sepiring nasi dengan daging dan sayur seharga 9 yuan (sekitar Rp 12.000).
Membahayakan
Bank Dunia menyebut, kenaikan harga pangan global telah mencapai tingkat membahayakan dengan lonjakan 29 persen dari tahun lalu. Mereka memprediksi mahalnya harga jagung, gandum, dan juga minyak mendorong 44 juta penduduk ke jurang kemiskinan sejak Juni.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dalam laporannya mengatakan, harga bahan pangan mencapai rekor tertinggi. Namun, keberhasilan panen akhir- akhir ini mencegah terulangnya krisis pangan yang terjadi tahun 2008 saat minimnya bahan pangan dan kenaikan harga memicu kerusuhan di negara miskin.
Akan tetapi, sekelompok ahli lainnya khawatir kondisi terburuk belum terjadi.
Inflasi di Indonesia melonjak menjadi 7 persen pada bulan Januari. Di India, inflasi mencapai 8,2 persen, terutama karena harga sayuran melonjak hampir 70 persen. Inflasi di China juga mencapai angka tertinggi dalam 28 bulan karena kenaikan harga makanan mencapai 10 persen.
Analis mengatakan, inflasi China masih tetap tinggi pada bulan ini karena pemerintah tidak bisa segera menambah pasokan makanan. Hanya tiga tahun setelah krisis pangan pada 2007-2009, harga komoditas penting sudah melambung tinggi, kata analis dari Credit Suisse dalam laporan mengenai inflasi harga pangan.
Inflasi Asia sangat sensitif terhadap perubahan harga bahan pangan. Meski ada upaya mengenalkan makanan pengganti dan kontrol harga, krisis terakhir ini belum mencapai puncaknya, kata laporan itu.
Lonjakan harga mendadak menjadi karakteristik inflasi karena kenaikan harga pangan yang terakhir ini.
Di Indonesia, harga cabai meningkat 10 kali lipat beberapa waktu terakhir melampaui Rp 100.000 per kilogram. Petani bahkan mempersenjatai diri dengan parang untuk mengusir pencuri cabai.
Penyebab kenaikan harga pangan ini ramai diperdebatkan dengan alasan yang berbeda-beda. Namun, faktor utama adalah cuaca buruk yang merusak panen. Banjir di Australia, Pakistan, dan India juga mendorong kenaikan harga, seperti halnya kekeringan di Argentina dan Eropa Timur.
FAO memperingatkan kekeringan terburuk di China dalam enam dekade terakhir juga akan menaikkan harga gandum dunia, yang sudah naik 30 persen sejak November lalu.
Untuk mengatasinya, Pemerintah China, produsen gandum terbesar di dunia, menyiapkan dana satu miliar dollar AS untuk mengatasi kekeringan dengan membuat irigasi darurat dan hujan buatan. (AP/AFP/was)
(http://cetak.kompas.com/read/2011/02/17/04265292 /warga.miskin.asia.menderita)