Mega Proyek Food Estate: Solusi Semu Di Tengah Krisis Subsistensi Petani Kecil.”

Muhammad Nur Uddin

Di tengah lanskap agraria Indonesia yang terus berubah, petani kecil menghadapi krisis subsistensi yang kian mendalam. Bukan semata karena gagal panen atau cuaca ekstrem, tetapi karena arah kebijakan pangan nasional yang semakin menjauh dari kebutuhan rakyat. Proyek Food Estate, yang digadang sebagai solusi ketahanan pangan, justru memperlihatkan wajah lain dari ekonomi-politik pangan Indonesia: wajah yang sarat dengan kepentingan elite, korporasi, dan logika pembangunan yang menyingkirkan petani dari tanahnya sendiri.

Melalui pendekatan sosiologi pedesaan, kita melihat bahwa proyek-proyek berskala besar seperti Food Estate tidak lahir dari kekosongan. Ia tumbuh dari struktur relasi kuasa yang timpang, di mana negara bersekutu dengan oligarki untuk menguasai ruang hidup masyarakat desa. Pemikiran Sediono Tjondro membantu kita membaca pola ini secara lebih tajam—bahwa di balik jargon modernisasi dan ketahanan pangan, terdapat agenda tersembunyi yang mengukuhkan dominasi segelintir elite atas sumber daya agraria.

Namun, data terbaru menunjukkan bahwa Food Estate tidak hanya gagal meningkatkan produksi pangan secara signifikan, tetapi juga menimbulkan kerusakan ekologis dan konflik sosial. Lahan gambut dibuka, hutan ditebang, dan petani lokal kehilangan akses terhadap tanah dan air. Dalam konteks ini, krisis subsistensi bukanlah akibat dari kemiskinan semata, melainkan hasil dari kebijakan yang meminggirkan rakyat demi kepentingan segelintir penguasa.

1. Krisis subsistensi sebagai titik tolak

1. Fakta dasar: 2022–2024 impor beras > 3 juta ton/tahun, harga beras eceran naik 23 %, 30 % KK petani padi sendiri kekurangan beras 2–3 bulan sebelum panen kedua.
2. Sediono Tjondro menyampaikan hal ini denga apa yang disebut “krisis subsistensi ganda”, yaitu fenomena sosial yang menggambarkan adanya penurunan produksi dan  gagal panen disertai dengan harga pupuk yang melambung dan Pengadaan tanah untuk pembangunan kian terpinggirkan oleh ekspansi konsesi korporasi dan negara

2. Food Estate: Definisi resmi vs agenda tersembunyi

Resmi: “Swasembada Pangan”  melalui ekstensifikasi 770.000 ha (pada tahun 2020-2024) di Merauke, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan.

Agenda tersembunyi (Tjondro & studi KPA 2023):

1. Reproduksi akumulasi modal besar, hamper 70 % areal dikelola oleh 5 grup konglomerasi (Salim, Wilmar, Tiga Pilar, Royal Lestari, Medco)
2. Negara menanggung penuh risiko subsistensi melalui subsidi infrastruktur seperti irigasi dan jalan, serta skema sewa lahan yang nyaris gratis (Rp 0–15.000/ha/tahun). Sementara itu, petani lokal justru dipindahkan ke lahan marginal sempit, hanya sekitar 0,15 hektare per kepala keluarga
3. Sebagian besar hasil produksi Food Estate, sekitar 60% telah dikontrak untuk ekspor, terutama sebagai bahan pakan ternak di Jepang dan Korea. Kebijakan ini menunjukkan bahwa orientasi proyek lebih mengutamakan kepentingan korporasi global daripada memenuhi kebutuhan pangan domestik.

3. Relasi ekonomi-politik pangan: rantai baru penghisapan

1. Food Estate menjadi “mega project alih fungsi tanah kolektif”:
   • Negara mengubah tanah adat dan kawasan hutan menjadi konsesi jangka panjang melalui skema HGU selama 35 tahun, demi mendukung produksi komoditas pangan berorientasi ekspor.
2. Skema risiko:
   • Negara menanggung biaya tetap, sebesar Rp 12 triliun pada tahun 2020-2023.
   • Korporasi menikmati margin variable, dengan harga komoditas naik akan meningkatkan keuntungan dan pada saat harga komoditas turun, ada penjaminan dari tetap dikontrak oleh pemerintah.
   • Alih fungsi sawah tadah hujan menjadi lahan korporasi telah menghilangkan ruang subsistensi yang selama ini menjadi penyangga hidup petani

4. Mekanisme memperpanjang krisis subsistensi

1. Studi oleh Majalah Pembelajaran Geografi (2025) menggunakan data penginderaan jauh (NDVI dan MNDWI) menunjukkan bahwa sejak dimulainya proyek Food Estate pada 2021di Merauke, terjadi penurunan vegetasi hijau secara signifikan,  transformasi besar-besaran sawah tadah hujan menjadi lahan perusahaan tidak hanya menghilangkan cadangan pangan petani, tetapi juga mempercepat kerusakan lingkungan dan ketimpangan ruang.
2. Pergeseran tenaga kerja ke buruh harian, terdapat 35 % KK yang tadinya petani padi sekarang menjadi buruh Food Estate dengan upah harian Rp 75.000, di bawah UMK yang berada di kisaran Rp 3.000.000/bulan atau sekitar Rp 115.000/hari. Buruh tidak mendapatkan jaminan kerja, asuransi, atau kepemilikan atas hasil panen.
3. Ketergantungan impor semakin tinggi,  karena produksi nasional tidak naik (Food Estate gagal capai target yield), pemerintah justru menaikkan kuota impor sebagai “jaring pengaman”.

5. Agenda Tersembunyi yang tersirat

1. Pertahanan rezim terhadap gejolak harga pangan dengan cara mengontrol pasokan melalui korporasi kroni, bukan melalui penguatan petani kecil.
2. Pemisahan logika:
   • Food security sebagai pasokan nasional  dipisahkan dari food sovereignty yang diartikan sebagai kemampuan petani memproduksi pangan sendiri.
   • Alih-alih memperkuat lumbung pangan desa, negara justru membangun cadangan pangan yang tersentralisasi di gudang-gudang korporasi

Food Estate adalah proyek yang secara terang-terangan memindahkan risiko krisis subsistensi dari penguasa ke pundak petani.  Ketika petani lapar, mereka tidak punya lagi pilihan selain radikalisasi.  Ulrich Beck menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, risiko tidak lagi bersifat alamiah, tetapi diproduksi oleh sistem politik dan ekonomi. Skema Food Estate memperlihatkan bagaimana negara dan korporasi mendesain sistem pangan yang mengekstraksi keuntungan, sambil menyerahkan seluruh risiko kepada petani. Petani menjadi “penanggung risiko terakhir”, tanpa kontrol atas sistem yang menentukan hidup mereka.

Alih-alih menjadi solusi atas krisis pangan, mega-proyek Food Estate justru memperkuat konsentrasi kepemilikan lahan dan dominasi korporasi. Ia memperpanjang krisis subsistensi petani, sehingga konflik agraria berpindah dari “tuntutan ganti rugi” menjadi “pertahanan hidup” yang lebih radikal.

Dipisahkannya food security (FS) dari food sovereignty (FSov) adalah inti strategi ekonomi-politik pangan rezim kapital agraria (Food Estate, sawit, jagung hibrida). Di bawah ini penjelasan runtut, dari sudut pandang ekonomi-politik pangan:

1. Dua logika yang berbeda, dimana pendekatan  Food security yang menyasar pada target, berupa “tersedianya” pangan di pasar nasional, tak peduli siapa yang memproduksi. Sedangkan pendekatan Food sovereignty, menyasar pada “kemampuan kolektif” rakyat dalam hal ini adalah petani gurem atau petani kecil untuk memproduksi pangan secara berdaulat.
2. Mekanisme pemisahan
   • Relokasi titik kontrol pasokan
     • Negara memindahkan titik kontrol pangan dari “lumbung desa” ke “gudang korporasi” (Food Estate, Bulog-Corp).
     • Akibatnya, keamanan pangan nasional diukur dari stok di gudang korporasi, bukan dari luas sawah yang dikuasai petani.
     • Subsidi terbalik
       • Subsidi pupuk & irigasi dialihkan ke mega-proyek korporasi (Food Estate), sementara petani kecil menerima subsidi lebih sedikit atau tidak sama sekali.
       • Ini mempercepat diferensiasi agraria: petani kecil terdepak, korporasi menguasai infrastruktur produksi
     • Rantai nilai terpadu (integrated value chain)
       • Dari benih hingga ekspor, korporasi mengendalikan seluruh rantai produksi pangan: input hibrida, skema Food Estate, infrastruktur logistik, dan akses pasar global.
       • Petani hanya menjadi “taker price” di ujung rantai, sehingga kemampuan mereka memproduksi secara mandiri tergerus.
3. Penentuan harga, impor, dan stok pangan kini dikendalikan oleh lembaga negara yang telah terkooptasi oleh kepentingan korporasi, memperkuat sentralisasi kekuasaan dalam sistem pangan nasional.
   • Depolitisasi pangan: isu pangan diubah dari “hak rakyat” menjadi “logistik pasar”, sehingga konflik agraria dikesampingkan.
   • Vulnerability eksternal: ketika harga dunia naik, korporasi mengekspor, stok nasional menipis yang memaksa negara impor pangan besar-besaran.
4. Kontemporer: Food Estate tahun anggaran 2020-2024
   • Target: tambah 1,5 juta ton beras. Realisasi: produksi turun 3 %, impor naik 400 %.
   • Penjelasan: Food Estate tidak ditujukan untuk meningkatkan kemampuan petani, tetapi untuk menjamin cadangan pangan korporasi yang bisa dialihkan ke pasar global bila harga menguntungkan.
5. Implikasi politik
   • Negara mengklaim “food security tercapai” karena stok Bulog mencukupi, padahal 30 % petani kecil justru kekurangan beras.
   • Konflik agraria (penjarahan, blokade) bukan diselesaikan dengan redistribusi tanah, tapi dengan penambahan kuota impor sebagai “katup pengaman”.

Ringkasnya, pemisahan FS dari FSov adalah strategi kapital agraria untuk:

1. Mengalihkan risiko krisis pangan dari negara ke petani;
2. Melalui dominasi atas rantai pangan, aktor-aktor modal memastikan proses akumulasi tetap berjalan tanpa gangguan;
3. Menurunkan kemampuan petani berdaulat—sehingga mereka hanya menjadi buruh tani di lahan milik korporasi.

Negara memindahkan titik kontrol pangan dari “lumbung desa” ke “gudang korporasi” (Food Estate, Bulog-Corp), bagaimana bisa dijelaskan dari sudut pandang kontradiksi kebijakan?

Sudut pandang: kontradiksi kebijakan dari kerangka kritis agraria

1. Kontradiksi tujuan
   • Retorika resmi: “swasembada pangan” dan “kesejahteraan petani”.
   • Praktik kebijakan yang dijalankan negara memperlihatkan keberpihakan pada korporasi: konversi lahan petani, subsidi yang tidak menyentuh akar, dan impor yang menekan harga hasil panen lokal
   • Kebijakan secara simultan menguatkan dan melemahkan petani. Dari sisi  retorika politk dan wacana adalah memperkuat, namun sebaliknya intervensi struktural ternyata melemahkan.
2. Kontradiksi instrumen
   • Instrumen kebijakan seperti UU Pangan, APBN, dan subsidi pupuk digunakan secara kontradiktif mendukung dua arah kebijakan yang saling bertentangan:
     • Logika A: menstabilkan harga konsumen (kepentingan politik urban).
     • Logika B: menstabilkan margin korporasi (kepentingan kapital agraria).
       Akibatnya, subsidi pupuk justru makin menekan harga gabah petani karena korporasi menerima subsidi lebih besar dan bisa menekan harga beli.
3. Kontradiksi spasial
   1. Melalui Perpres 83/2018, negara mendorong desentralisasi pangan lewat ‘lumbung desa’, namun pada saat yang sama, sentralisasi stok tetap berlangsung di gudang milik Bulog dan korporas.
   2. Desa yang dijanjikan sebagai aktor utama dalam cadangan pangan justru tersisih oleh sistem logistik terpusat, membuat kebijakan desentralisasi kehilangan pijakan nyata.
4. Kontradiksi temporal
   • Jangka pendek: kebijakan impor menurunkan harga di pasar urban, yang kemudian dikenal sebagai “stabilisasi”.
   • Jangka panjang: harga domestik yang ditekan oleh impor membuat produksi petani tidak lagi layak secara ekonomi. Sawah ditinggalkan, konversi lahan melonjak, dan ketergantungan terhadap pasokan luar negeri semakin dalam.
   • Kebijakan yang diklaim menstabilkan hari ini justru menggerus fondasi produksi pangan masa depan.
5. Kontradiksi kelas
   • Negara harus menjaga dua kelas sekaligus:
     • Kelas konsumen urban (harga murah, stok aman).
     • Kelas petani kecil (pendapatan layak).

Mekanisme harga murah (TMO, impor) memenangkan kelas pertama, tetapi mendorong kelas kedua ke ambang kelaparan. Artinya, Kontradiksi ini hanya bisa ditekan sementara melalui subsidi fiskal besar (Rp 50 T di APBN), yang pada gilirannya menambah beban fiskal dan memicu tekanan anggaran.

Ringkasnya, pemindahan titik kontrol pangan dari lumbung desa ke gudang korporasi adalah manifestasi kontradiksi inheren dalam kebijakan pangan: negara harus menjaga legitimasi politik di kota dengan harga murah, tetapi harus pula menjaga akumulasi modal agraria. Kontradiksi ini tidak terselesaikan, justru dipindahkan ke petani dan pada akhirnya membayar dengan hilangnya kedaulatan pangan mereka.

Dampak jangka-panjang kebijakan “pemindahan titik kontrol pangan dari lumbung desa ke gudang korporasi” dapat dilihat sebagai spiral yang terus memperkuat diri sendiri, dengan enam jalur utama:

1. Dekapitalisasi petani kecil
   • Sawah terus tergerus (konversi Food Estate, sawit, properti)  yang mengakibatkan  skala ekonomi petani makin kecil dan  tidak mampu memperbarui alat, pupuk, atau benih.
   • Dalam 10–15 tahun, petani kecil yang tersisa hanya menjadi buruh harian di lahan yang dulu mereka miliki, dengan pendapatan riil stagnan.
2. Ketergantungan impor yang terstruktur
   • Basis produksi domestik rapuh dimana kebijakan impor menjadi “pengaman otomatis”.  
   • Jika tren berlanjut, Indonesia pada 2030-an bisa menjadi pengimpor utama beras, dengan volume 8–10 juta ton per tahun. Ketergantungan ini membuka celah bagi tekanan geopolitik berbasis pangan.
3. Oligopoli korporasi pangan semakin rapat
   • Lima grup besar (Salim, Wilmar, Tiga Pilar, Royal Lestari, Charoen Pokphand) menguasai ≥ 70 % rantai pangan (benih, pupuk, logistik, gudang, distribusi).
   • Harga input dan output ditentukan oleh oligopoli; petani menjadi price-taker permanen, konsumen urban rentan price-shock.
4. Ketimpangan regional yang membesar
   • Kawasan sentra pangan baru (Merauke, Kalimantan) terhubung langsung ke pelabuhan ekspor, bukan ke pasar lokal.
   • Pulau Jawa, yang dulu lumbung, mengalami konversi sawah 110.000 ha/tahun dan membuat defisit beras Jawa akan melonjak dua kali lipat pada 2035.
5. Krisis ekologis berkelanjutan
   • Food Estate di lahan gambut menimbulkan emisi karbon, subsiden tanah, kebakaran hutan berulang. Emisi karbon melonjak dan diperkirakan menghasilkan 782,45 juta ton CO₂, setara kerugian karbon Rp 47,73 triliun.
   • Hilangnya keanekaragaman pangan lokal dan  bergantung pada varietas hibrida yang akan menimbulkan kerentanan terhadap penyakit dan perubahan iklim.
6. Radikalisasi agraria generasi kedua
   • Ketika petani generasi tua tereduksi menjadi buruh, generasi muda yang tidak punya warisan lahan akan menjadi massa tanpa “bantal sosial” apapun.
   • Konflik agraria tidak lagi sekadar penjarahan gudang, tetapi bisa berbentuk gerakan desa menolak negara secara terbuka (blokade nasional, aliansi multikomoditas), dengan potensi dukungan urban atas isu iklim dan anti-korporasi.

Kebijakan ini dalam jangka panjang menghasilkan negara yang aman stok, tetapi rapuh kedaulatan. Aman harga di kota, tetapi krisis di desa.  Aman margin korporasi, tetapi konflik agraria yang berkelanjutan. Tanpa redistribusi tanah dan pembalikan logika ke lumbung desa, spiral akan terus mempercepat kolaps sistem pangan berbasis petani kecil.