Editor: Erlangga Djumena
Rabu, 23 Februari 2011 | 08:33 WIB
SLAWI, KOMPAS.com Pemiskinan petani pangan semakin meluas. Pendapatan rumah tangga petani saat ini ada yang hanya Rp 300.000 per bulan. Itu pun kalau panen padinya dalam kondisi bagus dan iklim bersahabat. Perlu kebijakan revolusioner untuk mencegah pemiskinan petani yang semakin meluas.
Penelusuran Kompas di sejumlah sentra produksi padi di wilayah pantai utara Jawa dari Karawang, Jawa Barat, hingga Tegal, Jawa Tengah, sejak Minggu hingga Selasa (22/2/2011), menunjukkan, pemiskinan petani memang nyata terjadi.
Di lapangan, Mujib (35), pemuda warga Desa Randusari, Kecamatan Pagerbarang, Kabupaten Tegal, menyatakan, saat ini ia hanya mengolah lahan sawah 0,25 bau atau sekitar 1.700 meter persegi (1 bau sekitar 0,7 hektar atau 7.096 meter persegi).
Lahan ini pemberian orangtuanya, mantan pegawai Kantor Urusan Agama Tegal. Pemilik lahan satu bau itu saat ini menggarap lahan sewa 0,25 hektar. Dengan mengolah lahan 1.700 meter persegi, pendapatan bulanan Mujib hanya Rp 300.000-Rp 400.000 per bulan. Itu pun dengan catatan kalau panen padi tidak ada gangguan.
Karena tidak mencukupi kebutuhan, sekalipun dia masih membujang, Mujib mencari tambahan penghasilan dari berjualan benih dan pupuk.
Paling tidak untuk kedua usaha sampingannya itu, Mujib mendapatkan tambahan penghasilan bulanan Rp 100.000-Rp 200.000 per bulan. Dengan begitu, total penghasilannya menjadi Rp 500.000-Rp 600.000. Jumlah ini berbeda jauh dari pendapatan ayahnya yang dulu sebagai petani dengan lahan satu bau dan bekerja sebagai pegawai negeri sipil.
Meski saya sudah cari tambahan penghasilan, tetap kecil pendapatannya, kata Mujib, yang pernah juga mencoba membudidayakan lele, tetapi malah merugi Rp 700.000. Berharap mendapat tambahan penghasilan, ia justru merugi.
Hadi Subeno (50), petani dari Desa Pegundan, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang, saat ditemui sedang menjadi buruh panen di Desa Selapura, Kecamatan Dukuhwaru, Kabupaten Tegal, mengatakan, selama ini ia hanya bertani pada lahan sewa seluas 1.700 meter persegi.
Dengan biaya sewa tanah sebesar Rp 1,5 juta sekali musim tanam, ia sering tidak bisa mendapatkan hasil. Rata-rata, hasil penjualan padi pada lahan tersebut sebesar Rp 2,5 hingga Rp 3 juta. Padahal, ia juga masih harus mengeluarkan biaya tanam sekitar Rp 1 juta. Sering tidak dapat apa-apa, tidak nombok, tetapi juga tidak untung, katanya.
Beberapa warga di Kecamatan Tanjung Morawa dan Lubuk Pakam, Deli Serdang, Sumatera Utara, beralih dari petani menjadi buruh tani lantaran hasil pertanian tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan hidup. Sekarang mereka hidup dengan mengandalkan upah buruh tani dan kerja serabutan.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin, saat dihubungi secara terpisah di Jakarta, juga mengakui pemiskinan petani yang menjadi-jadi dan terus meluas sebagai dampak fragmentasi lahan pertanian.
Mau menggunakan perhitungan model apa saja, dengan kepemilikan lahan sempit tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidup mendasar mereka, kata Bustanul menjelaskan. Ia menghitung, dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar, kebutuhan hidup petani yang bisa dipenuhi dari usaha pertanian mereka maksimal 54 persen. (MHF/WSI/MAS/WIE/BUR)
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/02/23/08334464/Pemiskinan.Petani.Makin.Meluas