Kamis, 17 Maret 2011
Jakarta, Kompas – Kebijakan pemerintah untuk mengembangkan dan membudidayakan tanaman pangan dan pakan transgenik di Indonesia harus diimbangi dengan kesiapan yang hati-hati.
Jika produk-produk itu membanjiri pasaran, kelalaian akan menyebabkan kerusakan pada lingkungan, ekonomi, dan kesehatan. Kerusakan ini sulit teratasi karena terkait dengan alam.
Demikian benang merah dari beberapa narasumber yang diwawancarai berkaitan penerapan pengembangan pangan transgenik di Indonesia, Rabu (16/3).
Hari Kartiko, ahli bioteknologi dari Yogyakarta, mengatakan, ilmu dan teknologi memiliki manfaat dan risiko. Penerapan rekayasa genetika pada produk pangan atau pakan membutuhkan laboratorium penelitian genetika yang tersertifikasi.
Pengembangan tanaman transgenik berarti kita main-main dengan gen. Bila tanaman hasil rekayasa genetika itu dilepas ke alam begitu saja, bisa berakibat buruk, katanya.
Hari menyarankan, pengembangan pertanian transgenik dilakukan secara ketat atau terkarantina. Tidak dijadikan satu dengan tanaman konvensional. Tujuannya untuk menghindari persilangan yang bisa mentransfer sifat buruk pada tanaman transgenik pada tanaman konvensional.
Muhamad Nurrudin, Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia, mengingatkan, pengembangan tanaman transgenik bukan satu-satunya solusi mengatasi kekurangan pangan. Menurut dia, warga harus didorong untuk mengonsumsi pangan selain beras, seperti singkong dan ubi jalar.
Ia berharap produsen dan pemerintah memberi label pada produk transgenik. Dengan demikian, konsumen berhak menentukan produk pilihannya.
Dari sisi kesehatan, hasil penelitian Krzytowska dan rekan- rekan (2010) dari University of Life Warsawa, Polandia, yang dimuat di situs Pusat Informasi Bioteknologi Amerika, menunjukkan, imunitas lima generasi tikus diuji melalui pemberian pakan pelet yang mengandung 20 persen tristicale (persilangan gandum dengan gandum hitam) yang tahan terhadap herbisida tertentu. Hasilnya, tikus generasi kelima menunjukkan kelainan kelenjar getah bening dan peningkatan jumlah sel darah putih.
Perlindungan hukum
Direktur Eksekutif Institute for Global Justice Indah Sukmaningsih mengatakan, pemerintah harus membentuk mekanisme perlindungan hukum bagi petani yang menanam benih tanaman transgenik.
Ia mengingatkan kasus penahanan petani di Jawa Timur pada 2004-2007 akibat menyilangkan benih. Mereka tidak tahu bahwa hal itu dilarang.
Jika memang benih masih dilindungi hak paten, masyarakat harus disosialisasikan terkait larangan melakukan penyilangan.
(ICH)