UU Pangan telah disahkan oleh DPR RI dalam Sidang Paripurna tanggal 15 Oktober 2012, pengesahan UU tersebut mendapat kritikan dari berbagai organisasi sipil nasional yang menyatakan bahwa UU tersebut tidak lebih dari sekedar pemenuhan bisnis pangan.
Hal itu terlihat dari berbagai pasal dalam UU tersebut yang lebih banyak berbicara tentang prosedur penyediaan pangan. Hal yang mendasar dalam penyediaan pangan, seperti masalah akses untuk petani dan reforma agraria sama sekali tidak disentuh. Alasan DPR RI bahwa urusan tanah dan petani diatur dalam UU lain semakin menegaskan bahwa UU pangan ini hanyalah rekayasa untuk menyediakan pangan tanpa melihat asal-usul pangan tersebut.
Hal ini terlihat dalam pasal 17 UU tersebut yang menyamakan antara petani nelayan dan pedagang pangan. Seperti kita tahu, petani dan nelayan memiliki basis produksi yang berbeda dengan pedagang, karena itu, menyamakan pedagang dengan petani akan semakin menyebabkan petani terpuruk.
Bicara soal Pangan tidak melulu soal tersedianya Pangan murah untuk rakyat. Lebih jauh lagi, urusan pangan berkaitan dengan bagaimana “cara” pemerintah menyediakan pangan. Selama ini pemerintah memenuhi ketersediaan pangan dengan menggenjot produksi dalam negeri dan melalui import. Celakanya pemenuhan produksi dalam negeri dilaksanakan dengan setengah hati sehingga pemerintah selalu mengimport pangan.
Salah satu persoalan dalam pangan adalah masalah tanah. Jika kita perhatikan, luas wilayah pangan di sentra pangan saat ini terus berkurang, Karawang menjadi sentra industri, Cirebon semakin tergerus sehingga kita tidak memiliki lahan andalan. Akibatnya, banyak petani yang beralih profesi menjadi buruh kasar di perkotaan sehingga menambah beban kebutuhan pangan.
Sudah saatnya pemerintah merubah paradigma kebijakan pangan melalui pelaksanaan reforma agraria, di mana tanah-tanah diredistribusi dan petani dibantu seluas mungkin untuk memperoduksi pangan.