Belakangan ini kita ikut gembira dengan bergairahnya buah lokal di pasaran sebagai dampak langsung dari kebijakan pelarangan impor buah. Di banyak tempat pasar-pasar tradisional sudah tidak dijejali buah-buahan impor yang serta merta menyebabkan harga buah lokal terpelanting dan tak mampu bersaing. Akibatnya para petani pun menjadi tidak pula bergairah untuk mengembangkan sektor ini secara lebih baik. Apalagi di saat masa panen tiba, over produksi menjadikan buah lokal ini makin terjerembab nasibnya.
Tampilan buah impor yang rata-rata cantik dan menarik memang sering lebih tampak menggoda bagi pembeli dengan harga yang relatif tidak mahal. Selain itu jumlah produk impor jauh lebih banyak dari produk lokal. Tahun 2011 saja nilai buah impor yang masuk ke indonesia mencapai USD 700 juta. Bisa dibayangkan betapa negeri ini kebanjiran produk dari luar. Hal ini mau tidak mau akhirnya meminggirkan produk-produk lokal yang sebenarnya secara kualitas juga tidak kalah bagus. Perilaku dan kebijakan pasar yang ngajangi ombo (memberi ruang luas) akan beredarnya produk impor yang gila-gilaan tersebut pada gilirannya pula semakin mempersempit ruang gerak produk lokal. Dan sebagai implikasinya produsen buah lokal pun tak bisa berkutik . Belum lagi mereka harus berhadapan dengan para tengkulak yang tentu masih mencari untung dari situasi yang sudah tidak menguntungkan tersebut.
Pelarangan buah impor di berbagai pasar tradisional faktanya mampu mendongkrak pamor buah lokal secara signifikan, sebuah keadaan yang sudah selayaknya bisa menjadi cermin bagi perlindungan produk-produk dalam negeri untuk mampu bangkit demi ikut memutar roda ekonomi bangsa. Petani produsen akan menjadi semakin lega bernafas dan memiliki kesempatan untuk memperbaiki mutu produk pada fase-fase selanjutnya.
Ibarat sebuah pertandingngan tinju, pada ring yang bernama perdagangan bebas pasti akan mempertontonkan sebuah adegan pertarungan yang sungguh tidak seimbang, karena berbagai petinju dari berbagai level dan kelas yang berbeda bertemu di sana. Yang terjadi selanjutnya bisa dibayangkan. Alih-alih sebuah kompetisi yang sehat, yang terjadi adalah jelas-jelas pembantaian sadis.
Begitu pula misalnya apabila apel Malang harus vis a vis dengan apel New Zealand di atas ring dengan mengatas-namakan free market. Tanpa aturan main yang proporsional apel Malang akan bonyok bin babak belur di pasaran dan makin lama makin terpuruk. Akibatnya petani apel Malang juga tidak akan makin bergairah dan hanya pasrah terhadap nasib malang yang musti ditanggungnya. Dus, sementara produk-produk lokal terjungkal di pasaran dan para produsennya meringis kesakitan, di saat yang sama para importir bertepuk tangan, pemerintah melenggang merasa tidak bersalah. Terus dimana letak fair trade-nya?
Sampai saat ini, meski sudah tidak banyak beredar di pasar tradisional, produk-produk buah impor masih dapat ditemui di supermarket-supermarket yang disupplay langsung oleh para importir yang sudah memiliki kontrak dengan jaringan pasar modern. Tentu kita berharap apa yang terjadi di pasar tradisional tersebut juga akan dapat menular ke pasar-pasar modern itu. Sehingga dengan demikian bukan saja buah lokal akan mampu berdaulat di negerinya sendiri, namun juga makin siap untuk benar-benar bertarung di ring yang sehat dan menjadi semakin mungkin untuk bergerak secara lebih leluasa, bahkan hingga mampu nyebrang menantang buah-buah dari benua yang lain.
Dengan terkondisikannya ruang gerak seperti ini, yang diuntungkan bukan saja akan pemerintah dan konsumen pada umumnya, tapi tentu juga petani yang karenanya menjadi makin termotivasi untuk mengembangkan sektor buah sebagai sandaran hidup yang layak bagi mereka. Sebaliknya, dengan berkuasanya buah impor yang paling diuntungkan tak lain adalah segelintir orang yang mampu menjadi jembatan bagi masuknya produk-produk luar negeri (importir). Sementara produsen (petani) adalah korban tak berdaya yang akan menelan kenyataan pahit dari kelaliman pasar yang direstui oleh pemerintahnya sendiri.
Semoga keadaan seperti ini benar-benar mampu dikawal dengan serius oleh pemerintah sehingga akan dapat memberi manfaat yang seluas-luasnya untuk bukan saja memperbaiki tingkat produksi petani dan menguntungkan pengusaha lokal, namun juga akan mampu membuka lapangan kerja yang besar bagi rakyat Indonesia, hal mana juga kita harapkan dapat terjadi pada sektor-sektor yang lain. [Lodzi]
Kebijakan pemerintah dalam hal ini, Menteri Pertanian melalui Permentan No 60/2012 dan Permendag No 60/2012 untuk melarang 13 produk impor masuk ke Indonesia menuai pro dan kontra. Namun lahirnya kebijakan ini menjadi angin segar bagi para petani, khususnya di Sumatera Utara yang mayoritas penghasil buah lokal.