Aneka perjanjian perdagangan yang diberlakukan dalam kerangka WTO dinilai tidak punya prinsip keadilan. Dari Jakarta, beberapa elemen masyarakat sepakat WTO mesti bubar.
Jakarta-Selasa (3/12), sekitar pukul 12.00 sekelompok pemuda dan petani yang tergabung dalam Aliansi Petani Indonesia (API) dan Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), mengadakan aksi di Bundaran Hotel Indonesia untuk menolak Pertemuan antarnegara anggota Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) di Bali. Pertemuan yang digelar pada 3-6 Desember 2013 ini, akan membahas soal penghapusan subsidi pertanian bagi negara-negara berkembang dan sederet dorongan yang mampu melancarkan perdagangan bebas di dunia.
Menurut Koordinator Aksi, Nur Hady, perihal penghapusan subsidi pertanian bagi negara berkembang sarat dengan ketidakadilan. Pasalnya, di negara-negara maju, subsidi tersebut justru ditingkatkan. Subsidi pertanian AS pada tahun 1995 hanya US$ 46 milyar dan pada 2010 meroket hingga US$ 120 milyar. Begitu juga dengan Uni Eropa, pada 1995 subsidi pertaniannya 19 milyar dan di tahun 2010 meningkat drastis hingga 64 milyar, ungkapnya.
Hal ini yang kemudian menjadi penjelasan atas tersebar luasnya produk-produk pertanian luar negeri di Indonesia, dengan harga yang murah. Ditambah pembukaan akses pasar seluas-luasnya yang telah dilegitimasi lewat aneka perjanjian perdagangan bebas baik bilateral maupun multilateral yang ditandatangani pemerintah Indonesia. Apalagi setelah Asean Economic Community (AEC) terbentuk.
Maka, tidak heran bila saat ini Indonesia menjadi net-importir pangan. Hal tersebut terbukti dengan meningkatnya nilai impor pangan secara tajam mulai 2009-2012. Dari US$ 5,94 milyar hingga US$ 12,05 milyar.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ferry Widodo Ketua Umum Pimpinan Nasional FPPI. Ferry mengatakan bahwa akibat dari proses liberalisasi pangan khususnya, produk pertanian lokal sulit bersaing, harga jual petani merugi, serta pangan dan pertanian menjadi sektor yang tak atraktif lagi. Lebih lanjut Ferry mengatakan hal ini tentu punya dampak besar terhadap ancaman kemiskinan serta pengangguran terutama di pedesaan. Sedang berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka kemiskinan di desa sendiri masih tinggi, sejumlah 18,08 juta orang.
Oleh karena itu, beragam perjanjian perdagangan yang lahir dalam kerangka WTO nampaknya sudah gagal menyejahterakan Indonesia. Ferry juga menyebutkan dalam orasinya bahwa pertemuan antarmenteri negara yang kini digelar di Bali pun sudah tidak relevan untuk dilaksanakan. Sebab, perjanjian-perjanjian perdagangan yang muncul lewat WTO tidak pernah berprinsip keadilan, tegasnya.
Buat Ferry, WTO sebagai organisasi pun mestinya sudah bubar. Karena WTO hanya menjadi jembatan bagi negara-negara maju untuk membuka pasarnya di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Gelar Aksi Teatrikal
Penolakan keras terhadap WTO yang dilakukan oleh API dan FPPI dilangsungkan melalui aksi damai. Untuk mencuri perhatian masyarakat, mereka pun melakukan aksi teatrikal di panggung utama Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Dalam aksi ini, ditampilkan seorang lelaki berpakaian petani tengah berjalan dengan langkah gontai, menyeret bidang segi enam bertuliskan berbagai elemen perdagangan bebas. Seperti WTO, AoA (Agreement on Agriculture) dan penghapusan subsidi pertanian.
Mereka juga membawa aneka karya yang merepresentasikan ketidakadilan yang tengah terjadi. Seperti sebuah lukisan besar bergambar jabat tangan yang meremas petani-petani Indonesia di tengahnya.
Meski hujan deras mengguyur Jakarta Selasa siang, aksi API dan FPPI tidak surut. Sambil membawa spanduk dan atribut-atribut bertema Junk WTO! Lindungi Petani Kita mereka terus meneriakkan penolakan atas keberadan WTO.[nggallery id=7]