STUDI PENGUKURAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI DAN PERUMUSAN KEBIJAKANNYA BERDASARKAN AGROEKOSISTEM
Jakarta, 30 Desember 2014
Di penghujung tahun 2014, tepatnya pada hari Selasa ini (30/12/14) Aliansi Petani Indonesia (API) kembali mengadakan pertemuan Dialog Multi Pihak di Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementrian Pertanian Republik Indonesia.
Dialog Multipihak ini telah API lakukan sebanyak 5 kali, biasanya Dialog Multipihak ini terkait dengan kebijakan-kebijakan pertanian di Indonesia khususnya kebijakan yang terkait dengan perberasan. Pada tahun 2009 Dialog Multipihak dilakukan di gedung YTKI, tahun 2010 di Kantor Bulog Indonesia, tahun 2011 di Kantor Kementrian Perdagangan, tahun 2012 di Kantor Bulog Indonesia dan pada tahun 2013 Dialog Multipihak kami adakan di Kementrian Koordinator Perekonomian Republik Indonesia. Tetapi dalam Dialog Multipihak tahun ini, API akan mempublikasikan hasil riset yang terkait dengan tingkat kesejahteraan petani padi, khususnya petani padi di dua wilayah agroekosistem.” Ungkap Bapak M Nurrudin sebagai Sekretaris Jendral Aliansi Petani Indonesia.
Dijelaskan juga dalam dialog ini, selalu hadir perwakilan dari kementrian terkait, seperti Kementrian Pertanian, Kementrian Perdagangan, Kementrian Koordinator Perekonomian Republik Indonesia serta lembaga-lembaga pemerintah, seperti Perum BULOG dan organisasi-organisasi petani dan masyarakat sipil.
“Dialog ini membahas hasil kajian yang berjudul Studi Pengukuran Kesejahteraan Petani Padi Dan Perumusan Kebijakannya Berdasarkan Agroekosistem, merupakan penelitian yang API lakukan dengan bekerjasama dengan peneliti dari PSEKP (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian ) Kementan RI, Secara umum, studi ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran kesejahteraan petani padi, dan merumuskan strategi untuk mencapainya”, tutur Bapak M Nurrudin yang akrab di panggil Gus Din ini.
Bapak M Nurrudin juga menambahkan bahwa ada empat tujuan API melakukan penelitian ini, pertama Menganalisis tingkat kesejahteraan petani padi berdasarkan beragam agroekosistem, kedua Menganalisis hubungan antara tingkat kesejahteraan dengan sumbangan dari usatani padi berdasarkan beragam agorekosistem, ketiga Mempelajari pengaruh kebijakan terhadap tingkat kesejahteraan petani padi dan keempat Merumuskan pola dan sistem peningkatan kesejahteraan petani padi berdasarkan pada kebijakan pemerintah.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Bapak Valeriana sebagai peneliti PSEKP yang terlibat dalam penelitian tersebut, bahwa ada empat hal yang diharapkan dari penelitian ini pertama penelitian ini mampu menganalisis tingkat kesejahteraan petani padi berdasarkan beragam agroekosistem, kedua mampu menganalisis hubungan antara tingkat kesejahteraan dengan sumbangan dari usahatani padi berdasarkan beragam agorekosistem, ketiga mampu melihat pola dan sistem pengaruh kebijakan terhadap tingkat kesejahteraan petani padi, serta mampu merumusan pola dan sistem peningkatan kesejahteraan petani padi berdasarkan pada kebijakan pemerintah.
“Penelitian yang kami lakukan ini mengambil dua contohwilayah rumah tangga petani pada dua agroekosistem yang berbeda. Dengan kriteria tersebutdipilihpetani padi sawah irigasi di Kabupaten Indramayu dan sawah tegalan di KabupatenCianjur Provinsi Jawa Barat. Survay ke Kabupaten Indramayu dilakukan minggu ke tiga BulanOktober dan survay ke Kabupaten Cianjur pada minggu ke dua bulan November 2014, di dua wilayah tersebut kami mengambil sampel tiga rumah tangga kaya, tiga rumah tangga setengah kaya dan tiga rumah tangga miskin”. Tutur Bapak Valeriana.
Bapak Valeriana juga menambahkan bahwa pada lahan irigasi pendapatan dari pertanian khususnya dari hasil padi sangatlah ditentukan oleh jumlah penguasaan lahan. Responden keluarga kaya mendapatkan penghasilan dalam dua kali musim tanam selama setahun sebesar Rp. 47.690.000 atau 27,6 persen dari total pendapatan keluarga. Keluarga sedang mendapatkan pendapatan dari usahatani sawah sejumlah Rp. 13.213.000 atau sebesar 14.8 persen dari total pendapatan keluarga. Sedangkan pendapatan keluarga miskin dari hasil budidaya padi sawah irigasinya sejumlah Rp. 10.303.000 atau 20.6 persen dari total pendapatan keluarga. Selain itu pendapatan yang paling besar di sektor pertanian justru diperoleh melalui menggadaikan lahan sawah.
Menggadaikan sawah ini terjadi dikeluarga kaya dan keluarga sedang dengan masing-masing nilai gadai sebesar Rp. 43.750.000 dan Rp. 21.876.000 pertahun. Hal yang sama juga terjadi dengan penguasaan lahan yang berbeda-beda, maka pendapatan keluargapun menjadi tidak sama. Bagi keluarga kaya dengan penguasaan lahan tadah hujan seluas 1.01 ha, pendapatan menanam padi dalam satu tahun bisa mencapai Rp. 7.403.000. Bagi keluarga yang sedang dengan penguasaan lahan tadah hujan seluas 0.4 ha pendapatan sawah sebesar Rp 2.894.000 dan keluarga yang menguasai atau menggarap lahan sawah tadah hujannya seluas 0.33 ha mendapat penghasilan sebesar Rp. 2.158.000. Padi di lokasi ini hanya bisa dipanen satu kali dalam satu tahun. Kondisi ini menyebabkan penghasilan dari pertanian tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga dalam satu tahun. Untuk mencukupinya dibutuhkan sumber pendapatan dari non pertanian. (*)