Jakarta, 2 November 2015 – Aliansi Petani Indonesia (API) bekerjasama dengan Direktorat Bahan Pokok dan Barang Strategis Kementrian Perdagangan Republik Indonesia (Bapokstra Kemendag RI) menyelenggarakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Efektifitas Kebijakan HPP Gabah/Beras Saat Ini dalam Menghadapi Tantangan Pasar Terbuka ASEAN 2016”. Kegiatan yang diadakan pada 2 November 2015 di Ruang Rapat Anggrek Gedung I Kementrian Perdagangan Republik Indonesia ini, dihadiri oleh perwakilan Pemerintah, Organisasi Petani dan Lembaga Swadaya Masyarakat.
Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan masukan yang lebih komprehensif mengenai efektifitas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang diterapkan saat ini, yang mengacu pada satu harga. Dengan HPP Multi-kualitas, kebijakan ini menjadi pilihan untuk mendorong pertumbuhan produksi beras dan kualitas produksi gabah/beras yang lebih baik, memperkenalkan model usahatani/ koperasi, seperti yang telah diterapkan oleh petani padi organik di Boyolali dan Tasikmalaya untuk pemberdayaan usaha tani berbasis komoditas padi. Selain itu, pertemuan ini juga membahas tantangan dan peluang bagi pembangunan usaha tani beras dalam menghadapi pasar terbuka pada Masyarakat Ekonomi Asean (ASEAN-MEA) dan kemungkinan dampaknya bagi petani kecil di Indonesia.
“Tujuan diselenggarakannya diskusi kelompok terfokus ini adalah bahwa berdasarkan fakta dan situasi saat ini kebijakan HPP Tunggal tidak lagi mendorong industri perberasan nasional,” jelas Muhammad Nur Uddin, Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia (API) pada pembukaan diskusi tersebut.
Sementara itu Harjono, Kepala sub direktorat Bapokstra Kemendag RI (Kasubdit Bapokstra) menyampaikan harapannya, dari pertemuan tersebut diperoleh poin-poin mengenai implementasi kebijakan HPP yang efektif, juga mengetahui peluang dan tantangan sektor pertanian di Indonesia menghadapi pasar bebas ASEAN. “Selain itu, kami juga ingin mendengarkan wacana HPP berdasarkan kualitas varietas,” lanjut Harjono.
“Mudah-mudahan dalam waktu setengah hari ini kita mendapatkan masukan-masukan yang kongkrit mengenai penerapan HPP-multikualitas sehingga dapat menstimulir kegairahan dalam usaha tani,” tambah Hajono yang hadir mewakili Direktur Bapoktra. Bila ada masukan-masukan yang konkrit, dia berjanji akan menyampaikan hal itu kepada Menteri Perdagangan Republik Indonesia.
Melalui kegiatan ini, API dan Bapokstra Kemendag RI mengajak semua pihak untuk berdikusi secara terfokus terkait isu perberasan dan kebijakan perberasan nasional. Diskusi terfokus (FGD) ini dihadiri oleh para pemangku kepentingan dan para pakar, diantaranya perwakilan Kementrian Perdagangan, Kementrian Pertanian, Kementrian Keuangan, BULOG, Kementrian Koordinator Perekonomian, Organisasi Petani, LSM, dan para pakar. Di dalam FGD ini, dipresentasikan hasil penelitian yang dilakukan oleh API bersama lembaga penelitian seperti PSEKP dan LIPI mengenai “Peningkatan pendapatan petani padi melalui penerapan HPP multikualitas dan peningkatan mutu penggilingan” dan “Model usaha tani beras organik di Tasikmalaya dan Boyolali untuk menembus pasar global”.
Seperti telah dipahami oleh semua pihak, beras merupakan komoditas pangan utama yang dikonsumsi sebagian besar penduduk di Indonesia. Ketersediaan beras akan berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi dan politik di Indonesia. Di sektor on-farm (kegiatan pertanian), naik turunnya harga beras akan berpengruh terhadap pendapatan atau penerimaan petani kecil, mengingat produsen beras di Indonesia adalah petani kecil berskala rumah tangga.
Ketersedian beras juga berpengaruh besar terhadap kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia. Pemerintah melalui Badan Urusan Logistik (BULOG) mempunyai peran strategis untuk menjaga stabilitas harga beras di pasar, di samping juga menjaga stabilitas harga di tingkat petani. Saat ini, sistem pengadaan beras oleh BULOG masih menerapkan kebijakan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) dengan mekanisme satu harga, disebut “HPP dengan harga tunggal”. Kebijakan tersebut ditetapkan berdasarkan Intruksi Presiden mengenai harga pembelian gabah, dikenal sebagai Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Kebijakan ini selanjutnya berdampak terhadap menurunnya pertumbuhan usaha tani gabah/beras di Indonesia. Karena, di dalam kebijakan tersebut tidak memberikan insentif yang rasional kepada petani dan penggilingan padi ketika mereka memproduksi beras yang berkualitas baik, yaitu beras premium. Kebijakan HPP saat ini tidak mencerminkan realitas kualitas produksi gabah yang beragam, dengan varietas yang beragam juga.
Hal ini sejalan dengan temuan Dr. Valeriana Darwis, salah satu Peneliti dari PSEKP, bahwa kebijakan HPP saat ini tidak efektif untuk melindungi harga di tingkat petani maupun konsumen, intervensi BULOG dalam bentuk intervensi pasar ketika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen tidak berpengaruh signifikan. “Di samping itu, ketika terjadi penurunan harga di tingkat petani, intervensi pemerintah untuk pengadaan beras melalui BULOG juga tidak efektif,” jelas Valeriana. “Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya penyerapan beras oleh BULOG, sehingga tidak memenuhi target yang ditetapkan oleh pemerintah”.
Sementara itu, Khudhori, salah seorang narasumber menegaskan, “Harga padi atau gabah dan industri beras saling terkait dan saling memperkuat. Jika salah satu di antaranya melemah atau tidak diurus, maka keduanya akan melemah”. Oleh karena itu, untuk meningkatkan produksi beras pemerintah harus memperhatikan sisi produktifitas padi/gabah, efisiensi dalam produksi, dan efisiensi dalam proses penjemuran dan penggilingan. “Harga beras, kualitas beras dan produktifitas beras tidak hanya ditentukan oleh tingkat produktifitas gabah kering giling per hektar dan efisiensi pada usaha tani, tetapi juga ditentukan oleh efisiensi pada tahap proses pengeringan gabah dan penggilingan padi”.
Menurut Khudhori, dua tahapan pasca panen tersebut sangat menentukan kualitas dan produktivitas beras serta efesiensi yang dicerminkan pada harga beras. Dua tahapan pasca panen tersebut sangat terkait erat dengan kinerja dan kondisi industri penggilingan padi.
“Kebijakan harga tunggal mengikari pergerakan harga gabah atau beras, adanya beras di luar kualitas medium, dan segmentasi pasar beras sesuai dengan preferensi konsumen,” jelas Khudori. Selain itu, kebijakan harga tunggal yang telah berlaku selama 45 tahun ini sudah tidak sesuai dengan dinamika lapangan, yaitu tututan perbaikan kualitas gabah atau beras, target penyerapan beras oleh BULOG, dan era perdagangan bebas Masyarakat Ekomnomi Asean (ASEAN-MEA). “Kebijakan harga tunggal akan menyulitkan pemerintah dalam intervensi harga melalui operasi pasar. Dengan satu jenis beras kualitas medium, apalagi beras stok lama, mustahil operasi pasar dapat efektif meredam instabilitas harga pada semua jenis kualitas beras di pasar”.
Diskusi terfokus ini menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa melalui penerapan HPP Multi Kualitas pada gabah atau beras akan meningkatkan pendapatan petani. Kebijakan ini akan mendorong petani meningkatkan produksi gabah dengan kualitas yang lebih baik melalui input produksi yang aman buat kesehatan. Petani akan meningkatkan teknik budidaya yang lebih baik. Sementara itu kebijakan HPP multi kualitas pada beras akan mendorong pedagang/penggilingan untuk meningkatkan produksi beras berkualitas dengan proses penggilingan yang lebih baik.
Menghadapi pasar tunggal ASEAN, petani Indonesia harus dapat bersaing dengan petani di negara-negara ASEAN lainnya. Pasar bebas (ASEAN-MEA) selain menjadi peluang bagi Indonesia untuk memasarkan produk mereka ke pasar ASEAN, pasar bebas ini juga dapat menjadi ancaman bagi petani Indonesia. Oleh karena itu, dalam FGD ini semua pihak menyepakati pentingnya memberdayakan petani kecil untuk meningkat
kan daya saing mereka, melalui produksi yang berkualitas.
Beras organik adalah salah satu contoh produksi beras yang berkualitas baik, dan diproduksi dengan pola usaha tani yang berkelanjutan (sustainable). Melalui produksi beras organik, Asosiasi Petani Padi Organik Boyolali (APPOLI) bersama Koperasi Tresno Tani, dan Gapoktan Simpatik Tasikmalaya dapat menembus pasar Eropa, dan menyediakan produk beras organik di dalam negeri. Inovasi yang diterapkan oleh kedua organisasi petani tersebut menunjukkan, jika usaha tani beras ditangani dengan baik, didukung oleh kebijakan yang tepat, dan didukung infrastruktur yang memadai seperti irigasi yang baik, maka tidak menutup kemungkinan Indonesia akan menjadi pemain utama dalam penyediaan beras berkualitas di pasar global.
Sehubungan dengan hal itu, Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Koordinasi Fiskal (APBN BKF) Kementrian Keuangan Republik Indonesia, menyampaikan bahwa pemeritah khususnya Kementrian Keuangan sedang mempertimbangkan kebijakan fiskal untuk mengalihkan subsidi input ke subsidi output.
Namun pendapat ini langsung ditanggapi oleh Muhammad Rifai, Ketua Departemen penataan produksi dan Usaha Tani API. “Kebijakan fiskal sangat penting untuk mendorong usaha tani,” ujar M. Rifai. “Mengalihkan subsidi input ke subsidi output dalam kondisi sekarang akan menyulitkan petani, karena subsidi tersebut akan menguntungkan pedagang dan memicu lonjakan harga di tingkat konsumen”.
Selanjutnya Rifai mengingatkan, petani juga adalah net-consumer. Pengalihan subsidi input ke subsidi ouput harus bersamaan dengan kesiapan kelambagaan usaha tani sebagai Buffer (penyangga), seperti BUMD pangan di setiap daerah dan pembangunan koperasi-koperasi petanian. Kedua kelembagaan ekonomi tersebut harus dihubungkan dengan kegiatan produksi di organisasi atau kelompok-kelompok tani.