Kertas Posisi
PADA ITPGRFA
DASA SILA
PERLINDUNGAN HAK-HAK PETANI ATAS BENIH DAN PEMULIAAN BENIH
PETANI INDONESIA
Bali Indonesia, 24-26 September 2016
Merespon “Global Consultation on Farmers Right on seed at ITPGRFA”
Kami dari Lima Organisasi Petani di Indonesia yang mewakili 3.363,000 Keluarga Petani di Indonesiayang tergabung dalam Badan Musyawarah Tani Indonesia (BAMUSTANI) menyadari bahwa benih yang digunakan untuk menumbuhkan berbagai kegiatan pertanian untuk menghasilkan pangan dan menopang kehidupan manusia telah tumbuh secara simbiosis selama ribuan tahun. Benih muncul dari alam dan telah beraneka ragam, dilestarikan, dipelihara dan ditingkatkan melalui proses eksperimentasimanusia khususnya petani, melalui penemuan dan inovasi dalam kurun waktu yang panjang. Bahwa benih telah diperbaiki dan dikembangkan dengan cara pengetahuan tradisional dan budaya yang ditranformasikan dan diturunkan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu benih merupakan warisan kolektif petani untuk melayani umat manusia. Petani dan masyarakat adat selalu menjadi penjaga pengetahuan kolektif yang tertanam dalam keanekaragaman benih yang telah memungkinkan membangun manusia sebagai suatu spesies.
Bahwa fakta sejarah menunjukkan petani adalah pemilik, pewaris dan pelestari sumberdaya genetik benih yang sebenarnya dan mempunyai hak yang melekat atas benih tersebut.
Namun, keserakahan dari sekelompok orang yang mempunyai kekuasaan baik politik, ekonomi telah menimbulkan ancaman mendasar untuk meneruskan konservasi, reproduksi dan penggunaan keanekaragaman hayati yang dilestarikan selama ini. Ekploitasi paksa atas tanah dan sumber daya alam lainnya telah dikonversi dalam penguasaan pemilik modal adalah satu langkah bencana alam dan kemanusiaan. Hal Ini telah menyebabkan dan terus akan menyebabkan perpindahan dan dislokasi sosial, merusak tatanan sosial, memutuskan hubungan antara petani dan tanahserta konsolidasi sosial. Kekayaan kolektif yang diproduksi di tangan beberapa orang atau kelompok akan mempunyai potensi mengorbankan banyak petani kecil.
Ada ancaman baru dan lebih kuat pada sumber daya alam dan benih, sebagai warisan keanekaragaman hayati pertanian dan pengetahuan yang terkait dengan nya. Proses hukum dan pembuatan kebijakan yang sudah jauh lebihmaju di Eropa, Amerika Serikat dan bagian lain dari dunia sedang dipaksakan pada negara berkembang di Selatan melalui perjanjian perdagangan dan investasi multilateral dan bilateral yang mengikat. Mereka mendasarkan pada sistem hukum yang memberikan hak eksklusif atas benih adalah anggapan palsu. Tetapi sesungguhnya varietas tanaman yang ‘ditemukan’ dan ditingkatkan mutunya tersebut adalah produk dari seluruh sejarah perbaikan manusia secara kolektif danPemeliharaanya dilakukan oleh petani. Penegasan mengenai hak eksklusif oleh korporasi atas keseluruhan kepemilikan varietas tanaman atas dasar penyesuaian kecil adalah bagian dari bentuk pencurian langsung.
Upaya untuk memperluas pengambilalihan atas varietas-varietas benih ke dunia selatan sedang dikejar secara agresif oleh perusahaan multinasional benih dan lembaga penelitian yang mempunyai afiliasi langsung atau tidak langsung kepada korporasi melalui lembaga-lembaga negara dan multilateral seperti WTO, UPOV, TPP, CBD, dsb. Ini merupakan bentuk dari penjajahan baru di dalam penguasaan politik dari teknokrat terkoordinasi untuk memaksakan hukum dan peraturan yang seragam dan kejam dengan mendukung hak kekayaan intelektual (IP) seperti UPOV (Union for the Protection of new Varieties of Plants), Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) untuk kepentingan pribadi, proliferasi rekayasa genetika (GM) benih, dan pengakuan hak eksklusif dan pemasaran varietas benih serta tanaman yang melewati sistem pembibitan dan produksi yang dikontrol ketat oleh elit ekonomi.
Bahwa tidak ada manfaat bagi petani dan pertanian rumah tangga sebagai ciri masyarakat tani Indonesia dan masyarakat pada umumnya, dari perkembangan sistem hak eksklusif “MONOPOLI” atas sumberdaya benih.Hal ini menjadi pemicu kesenjangan yang lebih luas, dimana atas nama produktifitas dan hak perlidungan, mereka mengontrol peredaran atas benih.
Sudah beberapa dekade para korporasi dan negara-negara maju menawarkan konsep bahwa sistem hak eksklusif tersebut dapat membantu pembangunan pertanian, mengatasi kelaparan dunia. Namun, faktanya sistem tersebut telah membuat benih semakin mahal, biaya produksi semakin tinggi, kerusakan lingkungan, tidak ada perkembangan produksi yang berarti, ancaman kelaparan semakin tinggi di dunia bagian selatan, keanekaragaman hayati semakin menurun (hasil penelitian API tahun: Implikasi Kebijakan Perbenihan Dan Kontrak Usaha Tani Terhadap Hilangnya Keanekaragaman Hayati Dan Hak-Hak Petani setudy kasus Petani Jagung Di Kediri Dan Malang, 2011: Muhammad Nur Uddin, Muhammad Rifai). Hal tersebut menunjukkan bahwa sistem IP, UPOV, TPP, TRIPs, WTO mempunyai dampak negatif terhadap pemenuhan hak-hak petani, pelestarian lingkungan dan kedaulatan petani dan pangan dan kesenjangan ekonomi. Bahkan itu sebagai bentuk penjajahan baru melalui penguasaan varietas-varietas benih sehingga menciptakan ketergantungan politik, ekonomi dan sosial bagi sebagian besar penduduk dunia kepada sekelompok kecil orang.
Bahwa praktik historis sistem perbenihan petani yang dikelola dalam konteks khusus (kearifan lokal) yang diandalkan oleh petani kecil telah difitnah, direndahkan sebagai terbelakang, usang dan dikriminalisasi. Petani dibawa ke pengadilan dan dipenjara karena mempertahankan basis biologis sebagai sistem hidup. Sementara perusahaan pangan dan benih yang membuat keuntungan besar dilegitimasi oleh sistem hukum atas benih seperti Intelectual Property right (IP), Plant variety protection and Sistem budidaya Tanaman, dan perjanjian-perjajian multilateral.
Perlindangan atas hak monopoli sumberdaya benih bahkan Pelarangan atas penggunaan benih-turunannya dan proses sertifikasi benih diluar kemampuan dan jangkauan petani kecil merupakan bentuk pemasungan hak-hak petani atas sumberdaya benih.
Sebagai Dampak dari situasi diatas adalah;telah terjadi erosi yang mengkhawatirkan keanekaragaman hayati pertanian dan pengetahuan tradisional atas pengetahuan tersebut, dan ancaman serius terhadap penggunaan sumberdaya genetik/varietas yang berkelanjutan, berkonsekuensi terhadap ketersediaan pangan dan keseimbangan ekologi serta kemanusiaan. saat ini, Intelectual property right dan undang-undang turunannya tentang benih mengesampingkan budaya pertukaran benih antar petani sebagi tulang punggung sistem pertanian yang berkelanjutan, pelestarian benih dan kedaulatan rakyat dan hak asasi manusia atas pangan.Peran organisasi petani, Individu, perguruan tinggi dan para ahli yang mempunyai perhatian terhadap issu ini seharusnya tidak boleh berdiri pasif dan menonton bentuk perampasan yang dilegalisir dan adanya potensi kehancuran yang akan ditimbulkan oleh perampasan yang dilegalkan.
Bahwa Kami dari lima organisasi Petani yaitu; Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Petani Indonesia (SPI), Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI), Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (WAMTI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI) yang mewakili 3,363,000 petani Indonesia:
- Menolak segala bentuk sistem yang menghambat kearifan lokal dan sistem budaya perbenihan petani
- Berkomitment untuk bekerja dan beraliansi satu sama laindengan gerakan tani serta dengan organisasi masyarakat sipil lainnya yang mempunyai pemikiran serupa dan individu untuk memer
angi penyebaran sistem yang agresif atas penguasaan dan monopoli benih, dan bekerjasama membangun solidaritas dan menghormati satu sama lain untuk menyuarakan hak-hak petani - Bahwa kami berkomitment menyembarkan pengetahuan tradisional yang kami miliki dan berjejaring dengan satu-sama lain untuk melindungi dan melestarikan benih-benih lokal untuk kepetingan petani
- Menolak dimasukannya benih-benih GMO termasuk benih transgenik dalam sistem ITPGRFA, serta menolak penggunaanya dalam kegiatan pertanian.
- Meminta Pengakuan masyarakat internasional terhadap pengakuan Pengetahuan tradisional dan sains petani terkait pemuliaan tanaman dan Itu dapat digunakan sebagai salah-satu instrumen pengakuan dan sertifikasi benih-benih yang ditemukan dan dilestarikan oleh petani serta dijamin dan dilindungi distribusinya kepada sesama petani.
- Lembaga-lembaga riset publik diminta terbuka, termasuk proses dan hasilnya untuk diakses oleh petani.
- Menuntut pelibatan organisasi petani dalam proses penelitian pada lembaga-lembaga riset benih yang didanai dengan dana publik.
- Meminta Pemerintah dan Lembaga-lembaga Internasional Melindungi dan memberdayakan petani dan pengetahuan tradisionalnya serta benih-benih yang dihasilkan, hak-hak petani dijamin atas pengunaan turunan dari benih-benih yang dilindungi untuk tujuan propagasi dan tukar menukar benih serta distribusi
- Menjamin hak otonom petani di setiap daerah untuk mengunakan benih-benih lokal, dan menjamin pengembangnya.
- 1Saling memperkuat antar organisasi petani terkait dengan kegiatan pengumpulan plasma nutfah dan pemulian tanaman
Tanjung Benoa, 26 September 2016
Tertanda
Pimpinan Organisasi Petani Indonesia