Setelah mengikuti acara Festival Benih 2009 yang diselenggarakan KRKP di kompleks Stella Duce, Ganjuran, Yogyakarta (17-19/04) dan silaturahim ke sebuah jaringan di Surakarta, beberapa pengurus API melanjutkan perjalanan ke sekretariat Jaringan Musyawarah petani (Jamuni) Brebes dan Jaringan Musyawarah Petani (Jampi) Tegal. Selain mendiskusikan beberapa update perkembangan kerja-kerja organisasi, rombongan yang terdiri dari pengurus seknas API, ketua Jamuni dan Jampi melakukan kunjungan ke rumah salah seorang petani di desa Guci di wilayah lereng gunung Slamet, Tegal, Jawa Tengah.
Dari pertemuan tersebut didapatkan informasi tentang adanya kasus tanah di wilayah Guci yang saat ini telah dikuasai oleh Perhutani dan telah ditanami dengan pohon pinus. sebagaimana dituturkan oleh Mbah Sidik (78 tahun-saksi hidup), di kawasan hutan dekat desa Guci dulunya terdapat tujuh desa dan pedukuhan yang meliputi Tengguwek, Baturlawang, Baturduwur, Jurangmangu, Semampir, Goren dan dukuh Cilik, yang secara keseluruhan berukuran seluas kurang lebih 400 Ha. Desa-desa tersebut dibangun atas perintah atau ijin pemerintahan Belanda setempat pada tahun 1800 berdasarkan peta tapal batas yang dibuat oleh Belanda.
Pada tahun 1930 para penduduk diusir dari desa-desa tersebut dan berbagai bukti administrasi yang ada di kelurahan dibakar. Mbah Sidik yang tinggal di desa Tengguwek (62 Ha) beserta penduduk lain semburat dan menyingkir ke berbagai tempat, sementara sebagian yang lain banyak meninggal akibat kelaparan. Setelah tidak ditempati manusia, lahan tersebut dibengkalaikan begitu saja sampai dikuasai oleh Perhutani hingga saat ini.
Ditanya mengenai berbagai peninggalan yang masih tersisa, Mbah Sidik nyaris secara detil menceritakan berbagai tanda peninggalan desa tersebut seperti peta, pethok (rusak) dan nama-nama saksi hidup lain yang masih bisa ditemui sejumlah empat orang selain dirinya, yakni Karso, Tawad, Slamet dan Wahud. Selain itu masih terdapat beberapa situs peninggalan yang dapat ditemukan seperti kuburan Tengguwek dan Batur Duwur, bekas mushola dan kolah tempat berwudhu, jalan desa, pokok tanaman teh, jambu dan jeruk.
Pada 1993 tanah tersebut pernah diajukan kembali untuk ditempati oleh bekas penduduk dan ahli warisnya dengan cara berpatungan membayar seorang pengacara. Namun upaya itu tak menghasilkan apa-apa dan penduduk kehilangan uang sebelum kasus benar-benar bisa dibuka.
Pertemuan pengurus API melalui Jamuni dan Jampi dengan Mbah Sidik serta petani Guci tersebut bertujuan untuk menjajaki persoalan yang sedang dihadapi oleh petani, disamping mendapatkan input informasi tentang tata produksi daerah setempat yang sebagian besar merupakan petani produsen berbasis hotikultur, yang sebagaimana dikatakan Pak Hadi, anggota Jampi, masih memiliki kesulitan baik pada tingkat pola produksi maupun akses pasar.[Dzi]