Siaran Pers
Rapat Koordinasi Lintas Kementerian dan Lembaga
Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria di Sektor Kehutanan dan Perkebunan
Rapat Koordinasi Lintas Kementerian dan Lembaga
Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria di Sektor Kehutanan dan Perkebunan
Pada tanggal 1 – 2 Juli 2019, Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA) KSP melaksanakan
Rapat Koordinasi Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria di sektor kehutanan dan perkebunan. Keduanya
berlangsung di Gedung Binagraha, KSP, Jakarta.
Rapat Koordinasi ini adalah tindaklanjut hasil Rapat Tingkat Menteri tanggal 12 Juni 2019, yang dipimpin
Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal TNI. (Purn) Moeldoko yang dihadiri Menteri ATR/Kepala BPN, Menteri
KLHK, dan sejumlah pejabat , dan sejumlah pejabat dari 12 kementerian/lembaga.
Menurut Abetnego Tarigan (Tenaga Ahli Utama/Ketua TPPKA): “Rakor ini membagi ke dalam dua sektor
yang selama ini memiliki jumlah konflik agraria banyak secara jumlah konflik dan korban, juga luas secara
areal konflik. Selain itu, laporan-laporan tersebut memiliki peluang untuk diselesaikan secara cepat sesuai
dengan hasil RTM lalu” jelas Abet.
RTM tersebut menyepakati penanggungjawab untuk penanganan konflik agraria di luar kawasan hutan
adalah Kementerian ATR/BPN, dan yang di dalam kawasan hutan adalah Kementerian LHK. Sedangkan
pelaksananya adalah pejabat dari masing-masing K/L melalui rapat koordinasi di “desk lintas K/L untuk
penanganan konflik agraria” dengan TPPKA-KSP.
Rakor Sektor Kehutanan
Senin 1 Juli 2019 telah dilaksanakan rapat koordinasi penanganan 51 kasus konflik agararia di sektor
kehutanan yang dipimpin Abetnego Tarigan (Tenaga Ahli Utama/Ketua TPPKA-KSP), dihadiri Leonardi (Staf
Khusus Kepala Staf Kepresidenan), diikuti Sigit Hardwinarto (Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata
Lingkungan – Kemen LHK), Supardy Marbun (Diretur Konflik – Kemen ATR/BPN), dan pejabat K/L lainnya.
Dalam pengarahannya, Leonardi menyatakan bahwa rakor ini akan menghasilkan tahapan-tahapan sejak
RTM guna melakukan percepatan penyelesaian konflik agraria.
Semeinata itu, Sigit menyatakan bahwa terdapat enam kasus konflik agraria kehutanan di Sumatera dan
Kalimantan yang masuk di pengaduan Kemen LHK, dari 51 kasus yang diajukan Tim PPKA-KSP akan
menjadi prioritas penyelesaian.
“Keenam kasus tersebut telah ditangani oleh Kemen LHK, salah satu kendala penyelesaiannya adalah
masalah peta lokasi, dan perlunya dukungan dari Pemda,” jelasnya.
Untuk kasus-kasus di luar 6 kasus yang sudah ditangani, rakor ini menyepakati untuk mempercepat
penangananya lebih lanjut secara lintas kementerian dan lembaga.
Rakor kehutanan ini menyepakati bahwa dalam rangka percepatan penyelesaian konflik agraria di kawasan
hutan, diperlukan langkah kerja dalam waktu 14 hari, meliputi: (1) KSP akan mengirim surat ke Bupati, agar
Pemda berkoordinasi dengan BPKH untuk identifikasi lokus konflik; (2) Proses melengkapi data yang 6 kasus
yang sudah dilaporkan di KSP dan Kemen LHK serta Kemen ATR/BPN; (3) Klasterisasi solusi konflik yang
bisa masuk ke mekanisme penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan sehingga bisa menjadi TORA;
atau perhutanan sosial, dan permukiman dalam kawasan hutan.
Rakor Sektor Perkebunan
Pada hari berikutnya, Selasa 2 Juli 2019, rapat koordinasi konflik agraria di sektor perkebunan dilakukan
untuk membahas langkah-langkah percepatan atas 60 kasus perkebunan yang disepakati untuk segera
diselesaikan sesuai hasil RTM di KSP.
Sebelum rapat koordinasi ini, Usep Setiawan (Tenaga Ahli Utama/Wakil Ketua TPPKA-KSP) melakukan
pertemuan dengan Dirjen Penanganan Masalah di Kementerian ATR/BPN membahas secara umum data
60 kasus, dan inti dari substansi yang akan dibahas, serta proses dalam rapat koordinasi ini.
Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani dalam pembukaan rakor menyatakan
bahwa beberapa masalah utama yang terjadi dalam konflik terkait agraria sektor perkebunan adalah:
Pertama, perusahaan perkebunan tidak mempunyai kemampuan mengusahakan tanah dan jangka waktu
pemberian HGU telah habis, sementara tanah-tanah tersebut selama puluhan tahun telah dimanfaatkan oleh
masyarakat. Kedua, perusahaan perkebunan melakukan penelantaran tanah, jangka waktu HGU
perusahaan belum habis, sementara tanah-tanah tersebut juga telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Ketiga,
pembangunan plasma perkebunan yang belum (tidak) dilakukan atau tidak sesuai dengan perjanjian dengan
masyarakat. Keempat, tumpang tindih lahan yang diklaim oleh pihak perkebunan dengan lahan garapan/milik
masyarakat. Kelima, perkebunan dituduh oleh masyarakat memiliki lahan lebih luas dari sertifikat HGU yang
dimiliki dan mencaplok tanah-tanah masyarakat.
Sementara itu Usep Setiawan (Tenaga Ahli Utama/Wakil Ketua TPPKA) menfasilitasi rakor perkebunan ini.
Dalam penutupan rakor, Usep menyampaikan 5 point kesepakatan bersama yang akan dilakukan.
“Pokok dari kesepakatan tersebut adalah langkah dan model penyelesaian yang akan dilaksanakan oleh
Kementerian ATR/BPN secara lintas direktoral jenderal (penanganan masalah, penataan, dan pengendalian)
bersama kementerian di bidang kehutanan (PSKL dan PKTL), pertanian (perkebunan), BUMN (bisnis PTPN),
dalam negeri (Otda dan Bina Administrasi Kewilayahan), dan kepololisian untuk menghindari represifitas dan
kriminalisasi rakyat dalam penanganan konflik agraria”, ujar Usep.
Langkah penting yang disepakati, diantaranya melakukan verifikasi bersama di lapangan, mendorong tanah
konflik diselesaikan sebagai TORA, melakukan revisi atas HGU yang mengalami konflik agraria, dan
bersinergi dengan GTRA di daerah.
Penutup
Demikian siaran pers ini. Selanjutnya akan dilakukan rapat koordinasi “desk lintas K/L untuk percepatan
penyelesaian konflik agraria” di sektor infrastruktur, transmigrasi, bangunan dan lainnya.
Terima kasih
Jakarta, 3 Juli 2019
Abetnego Tarigan (Ketua TPPKA) Usep Setiawan (Wakil Ketua TPPKA)