Salah satu kenyataan yang tak dapat disangkal dari situasi terpuruknya nasib petani Indonesia adalah realitas ketergantungan petani pada pasar, baik dalam hal produksi maupun mendistribusikan hasil-hasil pertanian. Kebijakan-kebijakan negara dalam rangka mengontrol ‘dinamika’ pasar terbukti sering tidak mampu memberikan perlindungan yang cukup, alih alih mendorong sektor pertanian dan pelaku-pelaku produksinya (dalam hal ini petani kecil) untuk mampu berada pada posisi tawar yang kuat.
Fenomena lenyapnya pupuk di pasaran saat musim produksi dimulai yang notabene lantas berakibat pada melambungnya harga pupuk bukan menjadi hal yang langka terjadi. Situasi tersebut mau tidak mau memaksa petani untuk ‘melayani’ permainan pasar tanpa sedikitpun dapat melindungi diri. Tak pelak untuk produksi saja petani sudah terperangkap dalam high cost economy dengan perbandingan harga jual pada saat panen tiba yang juga tidak berpihak pada penguatan ekonomi mereka.
Keadaan sebagaimana di atas yang sekian lama tak memberi ruang bargain dan senantiasa menempatkan petani pada keadaan yang rentan dan tak menentu sudah selayak dan seharusnyalah mendapatkan perhatian serius dan tindakan nyata, dan salah satu bentuk tindakan itu adalah pendidikan dan pelatihan pertanian alami atau apa yang biasa kita kenal sebagai natural farming.
Pertanian alami sebagaimana pernah digagas dan diperkenalkan oleh Dr. Cho dari Korea saat ini memang bukan lagi menjadi barang baru, tapi nafas kemandirian dan ‘pro lingkungan’ yang diusungnya tidak sepenuhnya dipersepsi oleh kebanyakan orang. Satu misal, berkaitan dengan program Go-Organic 2010nya pemerintahan Susilo Bambang, dorongan program tidak lantas sepenuhnya memiliki pretensi edukatif demi mengorientasikan sikap kemandirian petani dalam hal berproduksi dan mendistribusikan hasil-hasil pertanian dalam rangka mendongkrak posisi petani dari keterpurukannya baik secara ekonomi maupun politik, tapi secara prinsipil hal tersebut tak lebih hanyalah keinginan untuk mengkonversi saja dari yang mulanya pestisida dengan asupan kimia menjadi organik. Sementara pola ketergantungan petani pada pupuk buatan pabrik sama sekali tak berubah, hal mana akan dapat diprediksi dari paket-paket projek yang bisa dipastikan akan mengikutinya berupa produksi pupuk-pupuk organik oleh perusahaan-perusahaan tertentu atas kerjasama pemerintah yang dimakisudkan untuk supplay massal. Dalam situasi seperti ini posisi petani sama sekali sebenarnya tak berubah, yakni tetap tergantung dengan pasar pupuk yang itu berarti pula tetap rentan akan permainan dan monopoli pasar.
Pertanian Alami yang sebenarnya bukan semata-mata terkait dengan terkikisnya unsur hara pada tanah akibat asupan bahan-bahan kimia pada pestisida kimia yang selama ini digunakan serta kontribusinya pada terjadinya pemanasan global dan kerusakan ekosistem, tapi bahwa secara strategis harus pula diasumsi pertanian model ini sebagai bentuk tindakan memotong lajur ketergantungan petani pada sektor-sektor lain – dalam hal ini industri atau pabrik -. Sehingga dengan demikian diharapkan petani dapat menekan kesulitan-kesulitan utama yang selama ini dirasakan menghambat dan dan lebih jauh lagi merampas kedaulatannya sebagai sektor terpenting, yakni produksi, terlebih dalam situasi krisis pangan dunia sekarang ini.
Dalam kaitan di atas inilah Aliansi Seknas Petani Indonesia bekerjasama dengan API Region Bali yang terdiri dari dua organisasi di dua kabupaten yang berbeda, yakni Seka Tani Buleleng (STB) dan Seka Tani Jembrana (STJ) menyelenggarakan dialog pangan dan pelatihan pertanian alami.
Acara yang bertempat di desa Sumberkima, Buleleng itu berlangsung dengan antusias dari 25 hingga 29 Oktober 2008. Selain mendapat banyak teknik bagaimana mengolah berbagai formula dan nutrisi dari bahan-bahan yang ada di sekitar peserta juga secara terbuka saling memberikan input pengetahuan lapangan yang selama ini mereka alami dan lakukan. Tak pelak forum pun berlangsung outomatik hangat dan berkembang.
Setelah berpuas-puas dengan berbagai teori dan saling memberikan masukan, sesi praktek pembuatan pupuk dan nutrisi pun berlangsung lancar. Secara berkelompok peserta yang terdiri dari laki-laki9 dan ibu-ibu rumahtangga petani itupun dengan bersemangat membuat ramuan-ramuan khusus di bawah bimbingan fasilitator pelatihan, Yasfin yang ditemani seorang petani asal Kudus Jawa tengah yang selama ini telah berhasil mempraktekkan pertanian alami di tempatnya yang juga kebetulan merupakan lahan kering.
“Seharusnya kami dari awal mengetahui cara bertani seperti ini”, ungkap I Komang Warken, ketua Serikat Tani Jembrana. “Selain mudah mungkin kami tidak perlu keluar uang banyak jika pas pupuk mahal”
Seperti juga Warken, Pak Barnop yang menjadi ketua pelaksana acara juga tampak puas dengan seluruh rangkaian acara pelatihan,
“Kami telah menanam beberapa formula yang sudah diberikan pelatih, dan kami akan mengeceknya nanti serta membuat evaluasi dan perencanaan lanjutan”, katanya di akhir acara. Dan sebagaimana dikatakannya, penutupan pelatihan yang disambut hujan lebat itupun merekomendasikan dibuatnya demoplot bagi masing-masing seka tani dan akan menjadi tahap awal eksperimentasi sebelum akhirnya pola pertanian ini diharapkan mampu diterapkan oleh anggota API Bali khususnya dan umumnya para petani di emenjung pulau yang diberkati para dewata tersebut. [Dzi]