HENTIKAN PEMBAHASAN RUU PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN BAGI KEPENTINGAN UMUM
RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum adalah salah satu kebijakan prioritas yang didorong pemerintahan SBY untuk segera disahkan DPR dalam tahun ini. RUU ini merupakan bagian dari paket reformasi regulasi pembangunan infrastruktur di Indonesia bagi proses keterbukaan pasar dan pelibatan peran swasta. Kebijakan ini sekaligus dimaksudkan untuk memudahkan investor asing menguasai sektor-sektor strategis melalui pembangunan infrastruktur di Indonesia. Untuk mencapai target investasi di bidang infrastruktur ini, pemerintah mengeluarkan sejumlah regulasi diantaranya adalah Peraturan Presiden Nomor 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Peraturan tersebut merefleksikan keberpihakan pemerintah terhadap investor demi memberikan kepastian hukum dari sebuah proyek infrastruktur yang ditawarkan. Beberapa aturan tentang proses pengadaan tanah misalnya, membolehkan pemerintah mencabut hak atas tanah warga negara untuk kepentingan pembangunan infrastruktur.
Kehadiran RUU ini adalah hasil koalisi pemerintah, pengusahan dan partai politik. Sekretariat Gabungan (Setgab) secara terang-terangan mengatakan dukungan terhadap RUU Pengadaan tanah ini tanpa terlebih dahulu melihat urgensi dan apa dampaknya bagi rakyat. RUU Pengadaan tanah ini juga menunjukkan wajah paradoksal dari pemerintahan SBY-Boediono. Di satu sisi mendorong kebijakan penataan tanah terlantar, tetapi sisi lain juga mendorong kebijakan yang melegitimasi penggusuran tanah rakyat.
Dari segi proses, RUU ini patut dipersoalkan, karena pembahasannya yang tidak partisipatif dan demokratis. Rakyat akan menjadi target dari kebijakan ini tidak pernah dimintasi pendapat. Proses konsultasi yang diintrodursir RUU ini bersifat sangat formalitas, karena konsultasi tidak diarahkan untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat mengenai apakah mereka setuju atau tidak setuju.
RUU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ini, menyisakan banyak masalah. Diantaranya adalah : Pertama, dengan lahirnya UU semacam ini, penggusuran yang selama ini telah menjadi kejadian sehari-hari akan semakin banyak terjadi. Tentu saja potensi pelanggaran HAM di dalamnya sangat besar. Mengingat sebagian besar tanah-tanah masyarakat hanya sedikit saja yang telah dilindungi dokumen hukum yang lengkap. Bahkan, dengan RUU ini yang sudah memiliki dokumen saja terancam bahaya apalagi yang tidak berdokumen.
Kedua, RUU ini akan mempertajam konflik atas tanah, termasuk konflik-konflik yang terjadi di tanah-tanah adat yang diakibatkan oleh minimnya pengakuan Negara terhadap hak masyarakat adat atas tanah. Dalam situasi demikian, Pemerintah seharusnya terlebih dahulu membuat sebuah regulasi yang memperjelas status hak masyarakat adat atas tanah yang bersifat komunal (tanah ulayat) bukan regulasi semacam RUU ini.
Ketiga, Cepatnya pembahasan RUU ini menandakan bahwa pemerintah kita begitu ramah dan mudah disetir oleh pengusaha. Bayangkan, menurut data BPN ada 7.2 juta hektar lahan yang diterlantarkan oleh pengusaha. Tapi, para pengusaha masih mengeluh untuk mendapatkan tanah.
Keempat, dalam RUU ini tata cara ganti rugi yang kelak akan dipakai terlalu menguntungkan pengusaha. Sehingga posisi rakyat semakin lemah ketika tanah-tanahnya ditetapkan menjadi kawasan pembangunan untuk kepentingan umum.
Kelima, RUU ini berdalih seolah-olah proyek yang didorong adalah kepentingan umum, padahal proyek tersebut adalah infrastruktur yang sepenuhnya dibiayai dan dimiliki dan dikelola oleh swasta, bahkan asing. Proyek tersebut seperti jalan tol, bendungan, pasar modern, pelabuhan, bandara adalah proyek-proyek yang selama ini terbuka untuk swasta dan asing. Proyek-proyek tersebut bahkan akan mengancam tanah-tanah persawahan di Jawa, jaringan irigasi yang akhirnya akan mengancam ketahanan pangan.
Dan keenam, RUU ini ternyata sarat dengan pesanan asing, ditemukan dokumen-dokumen yang menyebutkan bahwa RUU ini didorong oleh ADB dan Bank Dunia. Sejak tahun 2005, Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB) dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) adalah tiga lembaga kreditor yang memainkan peran kunci dalam mengarahkan kebijakan pembangunan infratruktur yang bercorak pasar di Indonesia. Ketiga lembaga tersebut sejak lama terlibat dalam penyediaan pendanaan bagi pembangunan infrastruktur serta bantuan teknis untuk perubahan regulasi di bidang energi, jalan, komunikasi, bandar udara, air, dan pelabuhan. Lewat skema utang untuk Program Pembangunan Reformasi Sektor Infrastruktur, pihak kreditor mendorong pemerintah melakukan berbagai reformasi kebijakan untuk menguatkan peran swasta melalui skema Public Private Partnership (PPP) dan kebijakan liberalisasi.
Berdasarkan atas masalah di atas, maka kami yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Anti Penggusuran menyatakan sikap sebagai berikut :
1. Menolak RUU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dan mendesak pemerintah dan DPR untuk menghentikan proses pembahasannya. Mempercepat pembahasan RUU ini sama artinya melegalkan proses perampasan atas tanah-tanah rakyat secara legal.
2. Mendesak kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera melakukan kaji ukang dan review terhadap peraturan-peraturan yang terkait dengan sumber-sumber agraria sebagaimana yang telah dimandatkan oleh TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
3. Mendesak kepada pemerintah untuk segera melakukan perombakan atas pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan atas tanah dan sumber daya alam melalui program reforma agraria sesuai dengan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentag Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Demikianlah pernyataan sikap kami buat untuk mendapat perhatian. Atas kerjasama dan partisipasinya diucapkan banyak terima kasih.
Jakarta, 19 Oktober 2010
Koalisi Rakyat Anti Penggusuran
(Konsorsium Pembaruan Agraria, Bina Desa, WALHI, KIARA, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Pergerakan Bandung, SAINS Institute, Aliansi Petani Indonesia, Serikat Petani Indonesia, JKPP, KpSHK, Koalisi Anti Utang, HuMA, IHCS, UPC, Solidaritas Perempuan, JATAM)