JAKARTA (HN) -Harga Eceran Tertinggi (HET) dan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dinilai tidak memperhatikan ongkos produksi skala nasional. Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia (API) Muhammad Nuruddin mengatakan, HET dan HPP yang saat ini diterapkan hanya memertimbangan ongkos produksi di Pulau Jawa. Daerah lain, seperti Sumatera, Sulawesi, dan NTT memiliki ongkos produksi lebih tinggi dari Pulau Jawa.
“Jadi kalau HET Rp 9.000 per kilogram dan HPP di tingkat petani Rp 7.400 tidak akan memberikan manfaat bagi petani, justru merugikan,” ujar Nuruddin kepada HARIAN NASIONAL di Jakarta, Senin (24/7).
Menurut dia, ongkos produksi di Indonesia bagian timur lebih mahal karena faktor upah buruh pertanian. Di Pulau Jawa rata-rata upah buruh berkisar Rp 80 ribu per hari, di Indonesia bagian timur bisa Rp 100 ribu per hari.
“Di Sulawesi dan NTT bahkan hingga Rp 120 ribu per hari. Mereka sudah dikasih upah juga harus diberi makan siang dan kudapan,” kata dia.
Nuruddin menilai, kebijakan pemerintah harus ditinjau ulang sebelum benar-benar diaplikasikan. Tidak hanya upah buruh tapi juga ongkos distribusi padi, harga pupuk, dan benih. Pemerintah diminta menghitung dengan tepat berbagai faktor pembentukan harga padi yang sesuai.
“Pemerintah juga harus memperhatikan faktor inflasi. Kalau tidak sesuai ya tidak ada untung usaha taninya,” ujar Nuruddin.
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) Abdullah Mansuri mengatakan, hingga saat ini pedagang pasar tidak tertekan dengan penggunaan HET di tingkat ritel. Pedagang cenderung cuek terhadap perumusan harga yang digadang-gadang melindungi harga di tingkat konsumen.
Pedagang tetap akan menggunakan mekanisme pasar untuk menjual barang. Mereka mendapatkan laba dari margin yang diambil. “Saat harga di sentra naik atau ongkos angkut naik, tentu akan menaikkan harga. Pedagang tidak akan mau rugi, sudah ada hukum pasar berlaku,” kata Mansuri kepadaHARIAN NASIONAL.