Press Release
AMANKAN TANI Mendukung Sepenuhnya Perjuangan Warga Sukamulya dan Mekar Jaya Dalam Mempertahankan Tanahnya
UUPA No. 5/ Tahun 1960 yang lahir pada tanggal 24 Sepetember, merupakan poin penting bagi gerakan reforma agraria di Indonesia untuk kembali mengingatkan kepada Negara. Bahwa Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 tersebut masih sah dan belum dilaksanakan sebagaimana mestinya yang terkandung di dalammnya.
Terbukti dengan semakin maraknya praktek-praktek yang menyimpang dari pelaksanaan reforma agraria di negeri ini. Kriminalisasi kepada para petani yang menuntut hak atas tanah, konflik agraria yang tidak kunjung usai jelas-jelas telah menyimpang dari tuntutan pelaksanaan reforma agraria dari Gerakan Reforma Agraria di Tanah Air Indonesia.
Janji pemerintah Jokowi-JK untuk meredistribusi tanah seluas 9 Juta hektar, hanya omong kosong belaka, jika Negara dalam waktu yang bersamaan justru melakukan tindakan-tindakan represif kepada petani, membiarkan konflik agraria senantiasa bergulir. Kehadiraan negara untuk menyejahterakan rakyat sebagai jargon politik hanya mandeg dalam tataran wacana dan janji palsu belaka.
Reforma Agraria Sejati adalah pelaksanaan reforma agraria yang menempatkan petani penggarap yang selama ini memperjuangkan hak atas tanah dengan darah dan air mata, bukan sebatas bagi-bagi tanah atau pendaftaran tanah sebagai sertifikasi semata. Apalagi pelaksanaan reforma agraria hanya dimaknai sebagai perayaan panen raya.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sedikitnya telah terjadi 472 konflik agraria dengan luasan mencapai 2.860.977,07 Ha, konflik ini melibatkan sedikitnya 105.887 Kepala Keluarga.
Di rezim Jokowi, kekerasan aparat dan kriminalisasi rakyat masih terjadi. Penggusuran atas nama pembangunan demi kepentingan umum terus dilakukan dengan pendekatan represif. Sejak Kamis (17/11/2016) Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat dalam kondisi mencekam. Desa ini menjadi benteng penolakan terakhir, setelah 10 desa lainnya mengalami penggusuran untuk pembangunan Bandara Kertajati, atau kini dikenal proyek Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). Ribuan warga Sukamulya melakukan penolakan terhadap proses pengukuran lahan BIJB yang melibatkan 1.200 personel aparat gabungan TNI, POLRI dan Satpol PP. Tembakan gas air mata, pemadaman listrik, sweeping dan pendirian tenda aparat di tengah-tengah pemukiman telah menciptakan teror bagi warga.
Proses pengukuran yang berakhir ricuh, berujung pada penangkapan 6 orang petani dan belasan warga lainnya luka-luka, serta menyisakan ketakutan dan trauma bagi warga, terutama perempuan dan anak-anak. Terhadap peristiwa ini, KNPA telah melayangkan SURAT PROTES kepada Presiden Jokowi, yang pada pokoknya menuntut Presiden segera menghentikan tindakan represif, kriminalisasi oleh aparat keamanan kepada warga Desa Sukamulya, pengukuran tanah secara paksa, dan memerintahkan penarikan aparat keamanan dari lokasi kejadian serta membebaskan petani yang masih ditahan.
Di waktu yang hampir bersamaan (18/11/16), aparat keamanan yang terdiri dari POLSEK, POLRES LANGKAT, BRIMOB POLDA, TNI, PAMSWAKARSA berjumlah lebih kurang 1500 orang memaksa masuk ke Desa Mekarjaya Kec. Wampu Kabupaten Langkat, Sumatera Utara yang berkonflik dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II. Sebanyak 24 alat berat mereka persiapkan untuk menghancurkan rumah dan juga tanaman yang ada di lahan milik petani Desa Mekar Jaya. Hingga saat ini, Desa Mekarjaya di isolasi aparat. Penangkapan terhadap petani Mekarjaya yang melakukan perlawanan terhadap upaya perampasan tanah yang menjadi sumber kehidupannya, masih berlangsung dan jumlahnya sedang diidentifikasi.
Peristiwa Sukamulya dan Mekar Jaya, merupakan bagian kecil dari sekian banyak contoh buruk proses pembangunan infrastruktur dan ketidakberpihakan Negara terhadap petani di Indonesia, sekaligus cermin kemunduran demokrasi. Pengerahan aparat keamanan, intimidasi, kriminalisasi dan teror seolah menjadi pola standar pemerintah rezim Jokowi dalam upaya menggusur lahan warga dengan mengatasnamakan pembangunan dan investasi. Pola semacam itu juga terjadi pada pembangunan Waduk Jatigede, Reklamasi Jakarta, Reklamasi Bali, Pabrik Semen Kendeng, real estate Karawang dll. Terkait berbagai peristiwa terkini di tanah air, kami (AMANKAN TANI) selain mengecam keras tindakan aparat kemanan, kami akan terus melakukan pemantauan dan upaya-upaya koreksi terhadap kebijakan dan langkah yang diambil oleh Presiden RI, sebab melalui kebijakannya, puluhan ribu rakyat menderita akibat kehilangan lahan pertanian dan sumber penghidupan.
Melihat hal itu, maka terbukti bahwa negara sampai saat ini belum hadir dalam perlindungan terhadap petani dan dukungannya terhadap penyelesaian yang berpihak kepada petani. Merespon situasi tersebut maka kami Aliansi Masyarakat Anti Kekerasan Terhadap Petani (AMANKAN TANI) menuntut :
- Stop Kriminalisasi Terhadap Petani,
- Laksanakan Reforma Agraria Sejati,
- Stop Perampasan Tanah yang Mengatasnamakan Pembangunan.
Tertanda:
Korlap Aksi
Navik (Napex)
#ANGGOTA ALIANSI: KPA, API, FPPI, AKAR RUMPUT, PMII, TRUKA JAYA, SPPQT, TEATER GETAR, MAPALA, LENTERA, LSD, WALHI, KIBAR.