Muhammad Nuruddin
Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia
- Latar Belakang Konteks
Peringatan 80 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 2025 akan selalu menjadi momen retorika politik dari pemerintah Indonesia untuk merefleksikan perkembangan dan pertumbuhan serta kemajuan bangsa, termasuk dalam aspek sosial ekonomi, sosial budaya dan terpenting terkait dengan ketahanan pangan.
Perekonomian makro Indonesia pada tahun 2025 diproyeksikan tumbuh secara moderat dan stabil, namun berada di bawah tekanan ketidakpastian global. Lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) memperkirakan pertumbuhan stagnan di kisaran 5,1% (revisi terbaru IMF adalah 4,8%) , sementara pemerintah tetap optimistis menargetkan pertumbuhan 5,2% dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025. Realisasi pertumbuhan pada triwulan I 2025 tercatat sebesar 4,87% secara tahunan (yoy), meningkat menjadi 5,12% pada triwulan II.
Di tengah realitas makro ekonomi yang tertekan ini, sektor pertanian muncul sebagai penopang utama. Laporan triwulan I 2025 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sektor pertanian menyumbang angka terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu 1,1% dari total pertumbuhan PDB. Kinerja yang kuat ini didorong oleh fenomena panen raya padi dan jagung yang masif serta peningkatan permintaan domestik yang signifikan selama periode Ramadan dan Idulfitri. Pertumbuhan ini sangat kontras dengan kondisi di awal tahun 2024 yang dipengaruhi oleh El Nino.
1.1. Produksi dan Stok Pangan
Komoditas | Produksi 2025 (Proyeksi) | Konsumsi Nasional | Surplus |
Beras | 41,2 juta ton | 30,9 juta ton | 10,3 juta ton |
Jagung | 20,4 juta ton | 14,8 juta ton | 5,6 juta ton |
Daging Ayam | 4,3 juta ton | 3,8 juta ton | 469 ribu ton |
Daging Sapi | 1,1 juta ton | 766 ribu ton | 345 ribu ton |
- Indeks Nilai Tukar Petani (NTP) naik ke 121 pada Mei 2025, menunjukkan peningkatan kesejahteraan petani.
- Stok beras nasional per Juni 2025: 4,2 juta ton – tertinggi dalam 57 tahun.
- Pertumbuhan Ekonomi Pertanian
- Triwulan II 2025: sektor pertanian tumbuh 13,53%, tertinggi dibanding sektor lain.
- Kontribusi ke PDB: 13,83% – menunjukkan peran vital pertanian dalam ekonomi nasional.
Menjawab kebutuhan mendesak di sektor pangan, pemerintah saat ini mengarahkan kebijakan dengan fokus pada penguatan ketahanan pangan, yang didukung alokasi anggaran hingga Rp139,4 triliun. Kebijakan ini berfokus pada peningkatan produktivitas melalui mekanisasi dan digitalisasi, penguatan infrastruktur irigasi, dan reformasi penyaluran pupuk bersubsidi. Selain itu, pemerintah juga telah menaikkan Harga Pokok Penjualan (HPP) untuk gabah dan jagung guna meningkatkan pendapatan petani.
Namun, narasi keberhasilan makro ini tidak sepenuhnya sejalan dengan realitas di tingkat petani Kalangan petani, organisasi rakyat dampingan dari Bina Desa Sadajiwa, serikat-serikat petani yang memiliki derajat konflik agraria yang berada dalam keanggotaan Konsorsium Pembaruan Agraria, organisasi tani nasional khususnya yang terhimpun dalam Aliansi Petani Indonesia dan Serika Petani Indonesia SPI, kebijakan saat ini tidak cukup progresif, karena masih mengabaikan problem struktural yang menjadi sumber utama ketidakadilan bagi petani. Kritik utama mereka menekankan perlunya reforma agraria sejati dan kedaulatan pangan, sebab ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria di republik ini masih sangat mencolok, di mana sebagian besar petani hanya menggarap lahan sempit sementara kepemilikan terbesar dikuasai oleh kalangan elite.
Di sisi lain, kalangan pegiat pertanian berkelanjutan menegaskan bahwa arah kebijakan pertanian seharusnya tidak lagi terjebak pada program jangka pendek seperti distribusi pupuk cair organik yang kualitasnya diragukan. Mereka menuntut pemerintah untuk mengutamakan pertanian berkelanjutan berbasis rumah tangga petani yang ramah lingkungan, dengan fokus pada pemberdayaan petani agar mampu mandiri dan berdaulat atas sistem produksi pangannya. Selain persoalan struktural, sektor pertanian juga menghadapi tantangan eksternal yang semakin kompleks. Perubahan iklim dengan pola cuaca yang tidak menentu telah memengaruhi produktivitas dan meningkatkan risiko gagal panen, sementara alih fungsi lahan pertanian terus berlangsung akibat tekanan kebutuhan pembangunan dan investasi. Sektor pertanian saat ini dihadapkan pada ancaman serius yang tidak bisa lagi diabaikan. Perubahan iklim dengan curah hujan yang tidak menentu serta gelombang alih fungsi lahan secara masif terus mempersempit ruang hidup petani.
Situasi ini semakin memperparah kerentanan petani kecil yang sudah lama terhimpit keterbatasan akses terhadap sumber agraria. Ironisnya, kesejahteraan petani yang tercermin dalam Nilai Tukar Petani (NTP) masih mandek, hanya naik tipis 0,07 persen—angka yang menunjukkan betapa kebijakan yang ada belum menjawab kebutuhan riil di lapangan. Kondisi ini menjadi bukti kuat bahwa tanpa perubahan mendasar dalam arah kebijakan, cita-cita kedaulatan pangan hanya akan menjadi jargon
II. Delapan Dekade Indonesia Merdeka: Momentum Strategis untuk Transformasi Ekonomi dan Kemandirian Pertanian
Delapan puluh tahun Indonesia berdiri sebagai bangsa merdeka adalah panggilan untuk kembali meneguhkan cita-cita luhur: ekonomi yang berpihak pada rakyat dan pertanian yang berakar pada tanah, budaya, dan iman. Sebagaimana ditegaskan oleh para pendiri bangsa, kemerdekaan sejati tidak hanya diukur dari lepasnya belenggu penjajahan, tetapi juga dari kemampuan sebuah bangsa untuk berdaulat, mandiri, dan menyejahterakan seluruh rakyatnya. Dalam konteks ini, sektor pertanian memegang peran sentral. Dengan pendekatan analitis dan partisipatif, laporan ini mengkaji kondisi ekonomi Indonesia tahun 2025, menyoroti keterkaitan eratnya dengan sektor pertanian, dan merangkum kritik serta harapan dari berbagai elemen bangsa. Bagi kalangan petani yang tergabung dalam berbagai organisasi, realitas ini dijadikan tolok ukur apakah hak-hak kemerdekaan telah hadir nyata bagi mereka sebagai penopang utama ketahanan pangan negeri.
Pendekatan yang diambil bersifat campuran, yakni analisis deskriptif untuk menggambarkan data secara faktual dan analisis kausalitas untuk menelaah hubungan sebab-akibat antara kebijakan pemerintah dan dinamika ekonomi makro. Laporan ini disusun dengan pendekatan yang menyeimbangkan optimisme pemerintah dengan pandangan kritis petani, agar menghasilkan pemahaman yang lebih kaya sekaligus rekomendasi kebijakan yang strategis dan aplikatif.
III. Gambaran Perekonomian Makro Indonesia 2025: Harapan Pertumbuhan di Tengah Tekanan
- Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 2025: Perspektif Komparatif
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 menunjukkan adanya konsensus umum di antara lembaga-lembaga keuangan global dan domestik, meskipun terdapat perbedaan dalam perkiraan spesifiknya. Bank Indonesia (BI) melalui RDG Mei 2025 memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di rentang 4,6 hingga 5,4 persen, lebih rendah tipis dibanding estimasi yang pernah diumumkan sebelumnya. Proyeksi ini sejalan dengan pandangan Bank Dunia yang dalam laporan Global Economic Prospects (Januari 2025) memprediksi pertumbuhan Indonesia stagnan di angka 5,1% pada tahun 2024 dan 2025. International Monetary Fund (IMF) juga turut merevisi proyeksinya. Dalam World Economic Outlook edisi Januari 2025, IMF memproyeksikan pertumbuhan sebesar 5,1%, namun kemudian direvisi kembali menjadi 4,8% pada publikasi terbaru Juli 2025.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia menunjukkan optimisme yang kuat terhadap prospek ekonomi. Dalam RAPBN 2025, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa meskipun beberapa lembaga menurunkan proyeksinya, pemerintah tetap optimistis, mengingat masih ada dinamika yang akan terjadi seiring berjalannya tahun.
Tabel 1 : Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025 (BI, World Bank, IMF, Pemerintah)
Lembaga Penilai | Proyeksi Pertumbuhan PDB (%) | Sumber Data |
Bank Indonesia (BI) | 4,6–5,4 (revisi Mei 2025) | |
World Bank | 5,1 (Januari 2025) | |
International Monetary Fund (IMF) | 4,8 (revisi Juli 2025) | |
Pemerintah (RAPBN) | 5,2 (Agustus 2025) |
- Dinamika dan Tren Kunci Triwulan I dan II 2025
Realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2025 mencapai 4,87% (yoy), sedikit lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 5,02%. Pertumbuhan ekonomi di triwulan II 2025 mencapai 5,12 persen, memberikan sinyal positif mengenai proses pemulihan yang sedang berlangsung. Pertumbuhan ini didorong oleh peningkatan permintaan domestik, termasuk dari kenaikan belanja pemerintah. Momentum ini juga diperkuat oleh perayaan Ramadan dan Idulfitri, di mana konsumsi rumah tangga biasanya meningkat signifikan.
- Tantangan Makro Ekonomi Global dan Domestik
Meskipun menunjukkan kinerja yang stabil, perekonomian Indonesia tetap menghadapi tantangan signifikan. Di level global, kebijakan tarif resiprokal dari Amerika Serikat menciptakan ketidakpastian. Konflik geopolitik yang memanas juga berdampak pada terhambatnya rantai distribusi global serta meningkatnya harga bahan baku penting, salah satunya pupuk yang sangat dibutuhkan petani. Di level domestik, tantangan utama terletak pada daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah, yang belum pulih sepenuhnya. Kondisi ini disebabkan oleh ekspektasi penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja yang belum kuat, menciptakan risiko terhadap stabilitas konsumsi yang selama ini menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi.
IV. Sektor Pertanian sebagai Penopang Pertumbuhan 2025
- Kontribusi Signifikan Terhadap PDB Nasional
Awal tahun 2025 mencatat sektor pertanian sebagai kontributor terbesar terhadap laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada triwulan I 2025, sektor ini menyumbang angka tertinggi sebesar 1,1% dari total pertumbuhan PDB yang tercatat 4,87%. Dari sisi kontribusi, sektor ini unggul atas beberapa sektor utama lain seperti industri pengolahan (0,93%), perdagangan (0,66%), dan infokomunikasi (0,53%). Dalam komposisi Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, sektor pertanian memberikan kontribusi signifikan sebesar 12,66%, menempatkannya sebagai penyumbang terbesar kedua setelah sektor perdagangan
Tabel 2: Kontribusi Sektor Ekonomi terhadap Pertumbuhan PDB Triwulan I 2025
Sektor Ekonomi | Kontribusi terhadap Pertumbuhan PDB (%) | Sumber Data |
Pertanian | 1,11 | |
Industri Pengolahan | 0,93 | |
Perdagangan | 0,66 | |
Infokom | 0,53 |
- Kinerja dan Pertumbuhan Sub-sektor Pertanian
Pertumbuhan positif di sektor pertanian pada awal tahun 2025 terutama didorong oleh panen raya tanaman pangan, khususnya padi dan jagung. Pertumbuhan sub-sektor tanaman pangan tercatat signifikan, dengan peningkatan sebesar 42,62% menurut data terbaru. Surplus produksi beras yang dihasilkan dari kinerja pertanian yang baik telah menumbuhkan keyakinan pemerintah untuk mempertimbangkan ekspor, salah satunya ke Malaysia
Kondisi ini merupakan cerminan langsung dari pengaruh iklim. Kinerja sektor pertanian di awal tahun 2025 sangat terbantu oleh kondisi cuaca dan iklim yang normal pada musim tanam sebelumnya. Situasi ini sangat berbeda dengan awal 2024, ketika El Nino memicu gagal panen dan meruntuhkan produksi beras nasional. Kondisi tersebut kontras dengan awal tahun 2024, ketika dampak El Nino mengakibatkan gagal panen dan penurunan tajam produksi beras. Hal ini menegaskan bahwa meskipun sektor pertanian mampu tampil sebagai salah satu penopang utama perekonomian, kinerjanya tetap sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, terutama anomali iklim. Dengan sifat pertumbuhan yang masih rapuh dan siklus, terlihat jelas bahwa tantangan mendasar seperti perubahan iklim dan konversi lahan pertanian tetap menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan sektor ini dalam jangka panjang.
- Analisis Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian
Meskipun sektor pertanian menunjukkan kinerja pertumbuhan PDB yang kuat, neraca perdagangannya masih menunjukkan kondisi yang bervariasi. Untuk komoditas tanaman pangan dan hortikultura, data triwulan I 2025 menunjukkan neraca perdagangan yang negatif, di mana volume dan nilai impor masih jauh lebih besar dibandingkan ekspor. Sebagai contoh, neraca volume pada komoditas tanaman pangan menunjukkan defisit lebih dari 1,8 juta ton, sedangkan pada komoditas hortikultura, neraca nilainya mengalami minus hingga US$213,6 juta.
Namun, sub-sektor perkebunan menunjukkan kondisi yang lebih stabil dengan nilai ekspor yang jauh melebihi impor. Temuan ini menunjukkan bahwa peran sektor pertanian dalam meningkatkan PDB nasional tidak secara otomatis menjamin tercapainya swasembada pada seluruh komoditas, khususnya pangan pokok.
Tabel 3: Neraca Perdagangan Pertanian Triwulan I 2025
Komoditas | Volume Ekspor (Ton) | Volume Impor (Ton) | Nilai Ekspor (USD ‘000) | Nilai Impor (USD ‘000) |
Tanaman Pangan | 14.658 | 1.834.210 | 10.966 | 648.301 |
Hortikultura | 38.487 | 171.694 | 69.551 | 283.236 |
Perkebunan | 3.581.182 | 338.585 | (data tidak tersedia) | (data tidak tersedia) |
Sumber: Diolah dari data Satudata Pertanian
V. Kebijakan Pertanian Pemerintah Tahun 2025: Ambisi dan Implementasi
- Arah Kebijakan dan Alokasi Anggaran
Menyadari peran vital sektor pertanian, pemerintahan baru menempatkan ketahanan pangan sebagai salah satu prioritas utama yang sejalan dengan cita-cita Asta Cita untuk mendorong kemandirian bangsa. Kesungguhan pemerintah dapat dilihat dari besarnya alokasi dana ketahanan pangan tahun 2025, yakni mencapai Rp139,4 triliun, yang menandakan prioritas strategis sektor ini. Dana ini ditujukan untuk berbagai program yang berfokus pada peningkatan produktivitas pertanian, penguatan infrastruktur, dan pemberdayaan petani skala kecil.
Anggaran tersebut difokuskan pada upaya modernisasi sektor melalui mekanisasi dan digitalisasi, yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan hasil panen. Pengembangan benih yang adaptif dan penerapan pupuk ramah lingkungan harus ditempatkan sebagai langkah nyata menuju pertanian berkelanjutan yang berpihak pada petani dan ekosistem. Pemerintah juga mengadopsi pendekatan pembiayaan inovatif seperti penerbitan green bonds dan skema Kerjasama Publik-Swasta (PPP) untuk menarik investasi swasta dalam proyek-proyek pertanian berkelanjutan, yang pada akhirnya diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan efisiensi produksi.
Tabel 4: Fokus Alokasi Anggaran Ketahanan Pangan 2025
Fokus Program | Deskripsi Implementasi | Sumber Data |
Peningkatan Produktivitas | Mekanisasi, digitalisasi, pengembangan bibit unggul, dan penggunaan pupuk ramah lingkungan. | |
Penguatan Infrastruktur | Perbaikan dan pembangunan irigasi, jalan tani, serta fasilitas penyimpanan untuk mengurangi kerugian pascapanen. | |
Pemberdayaan Petani Kecil | Penyediaan akses pembiayaan, pelatihan, penyuluhan, dan dorongan pembentukan koperasi atau kelompok tani. | |
Pembiayaan Inovatif | Penerbitan green bonds dan penerapan skema Kerja Sama Publik-Swasta (PPP). |
- Program Unggulan: Intensifikasi dan Ekstensifikasi
Program Swasembada Pangan 2025 dijadikan simbol komitmen pemerintah, namun sinergi Kementerian Pertanian dan Pekerjaan Umum ini perlu diawasi agar benar-benar berpihak pada kedaulatan pangan rakyat, bukan sekadar proyek birokratis. Program ini mengintegrasikan dua strategi utama: intensifikasi dan ekstensifikasi. Pemerintah mengklaim akan menggenjot produksi lewat intensifikasi pada 1 juta hektar lahan dengan perbaikan irigasi dan peningkatan Indeks Pertanaman, serta membuka 1,3 juta hektar sawah baru termasuk lahan rawa. Namun, tanpa perlindungan terhadap petani kecil dan tata kelola agraria yang adil, strategi ini berisiko hanya memperluas proyek teknokratik tanpa menyelesaikan akar masalah ketimpangan.
Dukungan nyata pemerintah juga terlihat dalam reformasi kebijakan pupuk bersubsidi. Mulai 1 Januari 2025, alur penyaluran pupuk subsidi telah disederhanakan dan alokasinya ditambah menjadi 9,55 juta ton. Mekanisme baru ini memungkinkan alokasi pupuk disalurkan langsung dari Kementerian Pertanian ke Pupuk Indonesia, lalu ke kelompok tani, memangkas birokrasi yang sebelumnya harus melalui persetujuan berbagai kementerian. Selain itu, pemerintah juga menaikkan Harga Pokok Penjualan (HPP) gabah dan jagung guna memberikan insentif harga yang lebih baik bagi petani.
VI. Agenda Perjuangan: Desakan Organisasi Petani atas Kebijakan Pangan dan Agraria”
- Menghadirkan Suara Petani dalam Peringatan Kemerdekaan
Walaupun pemerintah gencar mengklaim keberhasilan melalui program dan alokasi anggaran besar, narasi tersebut tidak otomatis mencerminkan kenyataan di lapangan. Aliansi Petani Indonesia bersama berbagai organisasi gerakan tani menegaskan bahwa kebijakan pertanian masih sarat dengan bias struktural yang lebih menguntungkan elite pemilik modal ketimbang petani kecil. Kritik ini bukan sekadar resistensi, melainkan seruan agar negara benar-benar berpihak pada rakyat tani sebagai basis produksi pangan nasional. Dalam momentum refleksi 80 tahun kemerdekaan, kritik tersebut menjadi pengingat bahwa janji kemerdekaan—yaitu keadilan agraria dan kedaulatan pangan—belum terwujud. Karena itu, membaca kritik petani bukan hanya soal mendengar keluhan, tetapi juga membuka ruang analisis tentang arah pembangunan pertanian: apakah tetap melanggengkan ketimpangan, atau berani bertransformasi menuju sistem pangan yang adil, berdaulat, dan berkelanjutan.
- Fakta Ketimpangan Agraria
Ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria di Indonesia telah mencapai tingkat yang sangat mencolok dan berdampak luas terhadap rumah tangga petani kecil, buruh tani, dan masyarakat adat.
- Konsentrasi Kepemilikan: Sekitar 68% tanah dan kekayaan alam Indonesia dikuasai oleh hanya 1% kelompok elite.
- Kepemilikan Ekstrem: Satu keluarga diketahui menguasai 1,8 juta hektar tanah, sementara petani kecil kesulitan mendapatkan lahan 1–2 hektar.
- Dominasi Korporasi: Dari 70 juta hektar kawasan non-hutan, 46% (±30 juta hektar) dikuasai oleh 60 keluarga besar pemilik korporasi.
- Konflik Agraria: Sejak 2015 hingga 2024, terjadi 3.234 kasus konflik agraria yang melibatkan 7,4 juta hektar tanah dan berdampak pada 1,8 juta keluarga
- Sektor Pemicu Konflik: Perkebunan sawit: 67% dari konflik agraria tahun 2024
- Infrastruktur: 26,8% dari total konflik agraria
- Dampak Sosial dan Ekologis
- Petani dan Masyarakat Adat Terpinggirkan: Ketimpangan ini memperlemah posisi petani gurem dan masyarakat adat dalam menentukan nasib atas tanah mereka sendiri.
- Deforestasi dan Perampasan Tanah: Perluasan perkebunan sawit dan proyek strategis nasional menyebabkan deforestasi dan hilangnya ruang hidup masyarakat.
- Ketimpangan Gender: Perempuan hanya memiliki 10,7% tanah di Asia, termasuk Indonesia.
- Kendala Sinkronisasi Kebijakan dalam Pertanian Ramah Lingkungan / Agroekologi
Salah satu hambatan terbesar dalam pengembangan pertanian ramah lingkungan di Indonesia adalah fragmentasi kebijakan antar-kementerian.
- Tumpang Tindih Program
- Kementerian Pertanian (Kementan) mendorong program pupuk organik cair bersubsidi, sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) fokus pada rehabilitasi lahan dan konservasi.
- Di sisi lain, Kementerian Desa PDTT melalui Dana Desa juga membiayai kegiatan pertanian berkelanjutan, tetapi tanpa panduan teknis yang terintegrasi.
- Akibatnya, petani sering menerima bantuan yang berbeda arah: ada yang diarahkan ke input eksternal (pupuk cair komersial), sementara ada pula yang didorong untuk mengurangi ketergantungan pada input kimia.
- Kebijakan Fiskal dan Insentif yang Tidak Sinkron
- Data BPS 2024 menunjukkan alokasi subsidi pupuk kimia masih mencapai Rp 26,7 triliun, jauh lebih besar dibandingkan dukungan untuk pertanian organik/ramah lingkungan yang hanya sekitar Rp 200 miliar.
- Ketimpangan ini menunjukkan bahwa meskipun narasi pemerintah menekankan “pertanian berkelanjutan”, realisasi anggaran masih bias ke arah sistem pertanian onvensional berbasis input kimia.
- Standarisasi dan Sertifikasi yang Berat Sebelah
- Aliansi Organis Indonesia (AOI) mencatat, biaya sertifikasi organik bisa mencapai Rp 10–15 juta per kelompok tani per tahun, sehingga menjadi beban berat bagi petani kecil.
- Padahal, pemerintah lebih banyak mendorong “sertifikasi formal” ketimbang penguatan kapasitas komunitas melalui Participatory Guarantee System (PGS) yang lebih inklusif dan murah.
- Kurangnya Koordinasi Data dan Target
- Badan Pangan Nasional (Bapanas) menargetkan peningkatan produksi beras, sementara Kementerian Pertanian menekankan swasembada melalui intensifikasi. Namun, aspek keberlanjutan lingkungan (misalnya dampak degradasi tanah akibat over-intensifikasi) sering tidak masuk dalam indikator keberhasilan.
- Akibatnya, target kuantitatif (misalnya tonase produksi) lebih diutamakan daripada kualitas ekologi dan kesejahteraan petani.
Kurangnya sinkronisasi antar-kementerian membuat arah kebijakan pertanian ramah lingkungan atau agroekologi berjalan tidak efektif. Ketidakharmonisan ini tercermin dari tumpang tindih program, alokasi anggaran yang timpang, sertifikasi yang tidak ramah petani kecil, serta indikator keberhasilan yang bias kuantitas. Jika pemerintah serius membangun agroekologi, maka perlu ada kerangka koordinasi lintas kementerian yang konsisten: mulai dari subsidi input, mekanisme sertifikasi, hingga indikator pembangunan yang menempatkan kesejahteraan petani dan keberlanjutan lingkungan sebagai prioritas.
- Tantangan Struktural dan Kesejahteraan Petani yang Stagnan
Di luar kritik dari organisasi petani, sektor ini juga menghadapi tantangan fundamental yang terus mengancam. Dinamika iklim global yang kian tidak menentu, ditandai oleh fenomena El Niño maupun La Niña, telah memicu ketidakteraturan pola cuaca. Ketidakselarasan antara periode hujan dan musim kering ini berimplikasi serius, mulai dari banjir hingga gagal panen, yang pada gilirannya merusak produktivitas dan kualitas lahan pertanian. Ancaman lain yang tak kalah serius adalah alih fungsi lahan sawah yang terus terjadi. Fakta bahwa pengendalian alih fungsi lahan sawah dimasukkan dalam Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) 2025–2026 menegaskan bahwa isu ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan menyangkut tata kelola dan keadilan agraria. Namun, realitas di lapangan masih menunjukkan ironi: petani yang menjadi penopang ketahanan pangan nasional justru terus hidup dalam kondisi rentan akibat harga panen yang tidak menutup biaya produksi, keterbatasan akses modal, dan lemahnya perlindungan sosial. Oleh karena itu, pemerintah tidak cukup hanya mengeluarkan program, tetapi harus berkomitmen pada kebijakan yang melindungi lahan produktif dari alih fungsi, menjalankan reforma agraria sejati, serta menjamin harga dasar hasil panen agar petani tidak terus-menerus menjadi pihak yang paling dirugikan dalam sistem pangan nasional.
Meskipun menjadi tulang punggung ketahanan pangan, kesejahteraan petani Indonesia masih berada dalam kondisi yang rentan. Data BPS menunjukkan bahwa meskipun Nilai Tukar Petani (NTP) per Mei 2025 berada di angka 121,15, angka ini hanya menunjukkan peningkatan tipis sebesar 0,07% dari tahun sebelumnya. Kenaikan yang minimal ini menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas yang dicapai di tingkat makro belum sepenuhnya diterjemahkan menjadi peningkatan kesejahteraan yang signifikan bagi para petani di tingkat mikro. Situasi ini menyingkap jurang yang lebar antara indikator keberhasilan yang kerap dikedepankan pemerintah—seperti pertumbuhan PDB dan peningkatan volume produksi—dengan realitas di akar rumput, di mana pendapatan petani justru stagnan dan daya beli mereka terus tertekan. Artinya, pencapaian makro tidak otomatis berbanding lurus dengan kesejahteraan pelaku utama pangan, sehingga diperlukan kebijakan yang tidak hanya mengejar angka pertumbuhan, tetapi juga memastikan distribusi keuntungan yang adil hingga ke petani kecil. Kondisi ini menegaskan adanya kelemahan mendasar dalam strategi pembangunan pangan yang hanya mengejar peningkatan produksi, namun mengabaikan aspek keadilan agraria. Tanpa reforma agraria sejati untuk distribusi lahan, perlindungan hak petani kecil, dan akses setara terhadap sumber daya, keberhasilan produksi hanya akan menjadi semu dan tidak berkelanjutan bagi kesejahteraan petani.
VII. Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis
- Sintesis Temuan
Analisis ini menyimpulkan bahwa pada tahun 2025, perekonomian Indonesia berada dalam posisi yang stabil namun rentan terhadap fluktuasi global, dengan pertumbuhan PDB yang didukung oleh permintaan domestik. Di tengah kondisi ini, sektor pertanian tampil sebagai pilar stabilitas ekonomi, terutama berkat panen raya yang didorong oleh kondisi cuaca yang menguntungkan. Pemerintah menunjukkan komitmen kuat melalui alokasi anggaran yang besar dan program-program strategis yang fokus pada peningkatan produktivitas, perbaikan infrastruktur, dan reformasi pupuk. Namun, di balik narasi optimisme ini, terdapat kritik mendalam dari organisasi petani yang menggarisbawahi kegagalan sistematis dalam mengatasi masalah struktural yang persisten, seperti ketimpangan kepemilikan lahan, kurangnya koordinasi antar-lembaga terkait implementasi pertanian berkelanjutan atau ramah lingkungan dan stagnansi kesejahteraan petani.
- Menilai Pencapaian dan Kesenjangan
Pencapaian utama pada tahun 2025 adalah kemampuan sektor pertanian untuk menopang pertumbuhan ekonomi di tengah perlambatan. Kinerja ini membuktikan potensi besar sektor ini sebagai penstabil ekonomi nasional. Namun, kesenjangan terbesar terletak pada disonansi antara pertumbuhan makro yang terjadi dengan realitas kesejahteraan petani skala kecil. Pertumbuhan yang didorong oleh kondisi cuaca yang baik bersifat siklus dan rapuh, tidak mencerminkan transformasi struktural yang dibutuhkan untuk mencapai kedaulatan pangan sejati. Laporan ini menunjukkan bahwa peringatan 80 tahun kemerdekaan harus menjadi momentum untuk mengakui bahwa “merdeka seutuhnya” bagi petani membutuhkan lebih dari sekadar dukungan produksi; ini menuntut keadilan agraria, akses reform dan pasar yang adil dan pemberdayaan yang berkelanjutan.
- Rekomendasi Strategis: Transformasi Pertanian untuk Kedaulatan dan Keadilan
Berdasarkan temuan-temuan yang telah diuraikan, arah pembangunan pertanian Indonesia tidak cukup hanya diukur dari capaian produksi dan pertumbuhan PDB. Jika negara benar-benar ingin menghormati semangat 80 tahun kemerdekaan, maka sektor pertanian harus ditempatkan sebagai ruang perjuangan keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis, bukan sekadar mesin produksi pangan murah.
- Reformasi Agraria Sejati
Pemerintah perlu mempercepat redistribusi lahan produktif kepada petani kecil, buruh tani, dan komunitas adat. Tanpa akses yang adil atas tanah, ketahanan pangan hanya akan menguntungkan segelintir korporasi besar sementara mayoritas petani tetap termarjinalkan.
- Penguatan Agroekologi dan Pertanian Ramah Lingkungan
Perubahan iklim telah membuktikan bahwa model pertanian berbasis input kimia tinggi rapuh dan merusak. Karena itu, strategi agroekologi dengan diversifikasi tanaman, bibit lokal, pupuk organik, serta teknologi hemat air harus diprioritaskan, bukan hanya dijadikan program tambahan.
- Sinkronisasi Kebijakan Antar-Kementerian
Fragmentasi kebijakan pangan dan pertanian menyebabkan ketidakpastian bagi petani. Misalnya, Kementan fokus pada produksi, Kementerian PUPR pada irigasi, dan Bappenas pada ketahanan pangan, tetapi tidak ada integrasi visi. Diperlukan policy coherence yang menjamin keberpihakan lintas sektor.
- Kebijakan Harga dan Perlindungan Pasar Petani
Kenaikan biaya produksi dan fluktuasi harga hasil panen membuat petani tidak mendapatkan keuntungan yang layak. Negara harus hadir dengan kebijakan harga dasar, jaminan pembelian hasil panen, serta perlindungan dari impor murah yang memukul produk lokal.
- Penguatan Kelembagaan Petani dan Demokrasi Ekonomi
Aliansi petani, koperasi, dan organisasi petani lokal perlu diposisikan sebagai mitra sejajar dalam perumusan kebijakan. Tanpa partisipasi substantif dari basis, kebijakan pangan akan terus didikte oleh kepentingan pasar dan elite politik.
Dengan mengintegrasikan pendekatan makro yang ambisius dengan solusi mikro yang berfokus pada keadilan struktural, Indonesia dapat memastikan bahwa pertumbuhan ekonominya tidak hanya stabil tetapi juga inklusif, sehingga cita-cita kemerdekaan untuk menyejahterakan seluruh rakyatnya dapat terwujud, terutama bagi para petani yang telah menjadi penjaga kedaulatan pangan bangsa.
Sumber yang digunakan dalam laporan :
- https://www.cnbcindonesia.com/news/20250120070200-4-604367/bi-world-bank-imf-ramal-indonesia-hanya-tumbuh-51-di-2025
- https://www.imf.org/en/Countries/IDN
- https://www.setneg.go.id/baca/index/rapbn_2025_pertumbuhan_ekonomi_diperkirakan_sebesar_52
- https://kumparan.com/kumparanbisnis/sektor-pertanian-jadi-penopang-terbesar-ekonomi-indonesia-kuartal-i-2025-250dwHX4jlD
- https://linisiar.id/hut-ke-80-ri-mentan-amran-indonesia-siap-rebut-swasembada-pangan-tahun-ini/
- https://www.bi.go.id/id/publikasi/ruang-media/news-release/Pages/sp_2711125.aspx
- https://www.cnbcindonesia.com/news/20250806063452-4-655390/ekonomi-ri-tumbuh-512-di-kuartal-ii-bi-ungkap-proyeksi-ini