Muhammad Nuruddin
Judul tersebut diatas bukanlah cerminan dari gambaran hasil penelitian yang dilakukan oleh bapak Slamet dan Amalia Pulungan yang melalukan riset partisipatif didaerah pedesaan dalam memotret seberapa jauh dampak kebijakan makro pertanian di Indonesi. Statemen tersebut merupakan nalar subyektif penulis menyikapi atas sebuah resiko yang harus ditanggung oleh sebuah bangsa yang mengatas namakan dirinya sebagai bangsa agraris.
Kita boleh mengandaikan fakta bahwa separoh jumlah penduduk Indonesia mengandalkan mata pencahariannya pada usaha pertanian, namun usaha-usaha memajukan sektor pedesaan, kenyataanyasemua energi yang dikeluarkan masih bertumpu pada kekuatan transnasional baik dari segi modal, tehnologi maupun kelembagaan yang disertai dengan proses kooersif akibat politik perdagangan bebas paska krisis ekonomi dunia tahun 1998.
Secara wilayah dan budaya, struktur sosial Indonesia masih berada dalam post tradisonal, suatu istilah sosiologis dalam kaca mata Anthony Giddens, dimana kondisi masyarakat kita yang mengakui ikatan primordial sebagai patron klien, warisan purba struktur sosial yang tidak bisa dihapuskan oleh mantra modernisasi pembangunan, dimana masyarakat kita akibat terlalu lama mengalami politik kebudayaan dan kebudayaan politik sejak jaman kerajaan Hindu Budha dan kolonialisme Belanda tidak mengalami loncatan sejarah malah memperjelas ikatan primordial tersebut.
Hal ini bisa kita runut dengan baik apalagi sejak diterapkannya agraris wet jaman Van Den Bosc, kehidupan petani diperkenalkan dengan peradaban ekonomi Barat dan kesimpulannya ekstraksi ekonomi liberal makin memiskinkan nasib jutaan petani di Indonesia. Hal yang sama dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dan dilanjutkan dengan orde reformasi ini. Apa yang dilakukan oleh Van Den Bosc diulangi lagi oleh rejimentasi pasar bebas yang mempercayai bahwa liberalisasi pertanian akan meningkatkan produktifitas pertanian dan keniscayaan akan menyumbangkan sumber pendapatan bagi kas negara.
Tulisan ini tidaklah mengevaluasi sebuah orkestra imperium pasar bebas dengan WTO-nya, namun menyoroti sebuah perilaku petani yang jauh dari potret gembar gembor perdagangan bebas. Hasil penelitian dari tim API yang menyoroti kebijakan pertanian, bisa memberikan nuansa yang memiliki perspektif yang mendalam tentang sebuah nasib jutaan rumah tangga petani. Meskipun penelitian tersebut tidak menyebutkan karakteristik petani secara khusus, namun proses hasil dari temuan lapang bisa memberikan gambaran tentang keberdayaan petani ditengah serbuan modernisasi pertanian yang serba tehnologi baik dari segi benih, tehnologi pertanian dan bantuan modal.
Di desa Samudera Jaya, sebuah wilayah di kabupaten Bekasi yang berbatasan dengan wilayah Jakarta daerah Industri, paket tehnologi pertanian yang seharusnya diberikan kepada petani, malah oleh negara diabaikan atau justru ditinggalkan. Alasanya yang mendekati dikarenakan wilayah tersebut, lahan pertanian mengalami fragementasi dan konversi lahan, dimana lahan pertanian dikuasai oleh orang yang bukan dari desa setempat dan mengalami peralian fungsi, dari lahan pertanian berubah menjadi perumahan dan industri.
Letak permasalahanya adalah rumah tangga petani dibiarkan berkelahi sendiri dengan perubahan-perubahan yang cepat dan konfrontatif tanpa dilindungi oleh regulasi. Perubahan-perubahan tersebut membuka proses adaptasi yang dilakukan oleh petani untuk bersiasat bagaimana mempertahankan ketahanan pangan keluarga. Pada saat petani melakukan siasat menghadapi perubahan, paket tehnologi pertanian tidak pernah diberikan secara utuh dan menyeluruh.
Sikap petani dalam menghadapi perubahan lingkungan, dimana dampak yang dirasakan kebutuhan air untuk proses produksi padi, serangan hama penyakit, bantuan benih unggul menjadi isu-isu yang mendasar di wilayah komunitas tersebut. Rendahnya produksi padi dan keterbelakangan petani dalam hal menerima pengetahuan tehnologi pertanian, bukanlah justifikasi yang membenarkan kebodohan petani dalam mengadopsi tehnologi, namun desain teknologi yang tidak tepat, kurang memperhatikan kondisi sosial-ekonomi dan ekologi petani dan kebijakan tata ruang wilayah yang melanggar UUPA No. 5 Th. 1960.
Jika demikian, kebijakan pertanian yang digulirkan melalui berbagai instrumen pada hakekatnya mematikan partisipasi petani. Partisipasi menjadi makna yang sangat penting mengingat bahwa kegagalan revolusi hijau yang berakibat involusi pertanian di pedesaan, nyata-nyata tidak mengikut sertakan partisipasi petani dalam hal menentukan kebijakan pertanian apa yang cocok untuk sebuah wilayah dan proses pengambilan keputusan untuk apa kebijakan tersebut dibuat. Temuan-temuan hasil penelitian bisa memperkuat argumen tersebut. Bahwa partisipasi petani dalam proses penentuan kebijakan pertanian hampir tidak ada sama sekali.
Selama ini kebijakan pembanguanan memperkuat kesenjangan antar wilayah dan antar sektor bahkan memperkuat angka kemiskinan dipedesaan. Sebetulnya kebijakan pertanian yang dijalankan sesungguhnya kebijakan pertanian yang anti pedesaan. Kita bisa membuktikan dengan asal usul benih yang ditanam oleh petani, obat-obatan yang dipakai selama proses produksi dan jalur pupuk dari mana diperolehnya. Kesemuanya tersebut tidak dihasilkan oleh komunitas petani yang diam didesa, namun input tersebut diperoleh dari mata rantai perdagangan yang dipegang semuanya oleh orang kota.
Hal inilah yang mestinya dijawab oleh para pegiat dan pejuang pedesaan untuk mencoba alternatif dari sekian pilihan untuk memampukan pedesaan dari segala ketergantungan terhadap benih, pupuk dan tehnologi yang dikuasai oleh orang luar.