Jakarta – Daya saing beras Indonesia di pasar dunia masih rendah dibanding produksi Thailand dan Vietnam, terutama dari sisi harga yang jauh lebih mahal.
Hal ini dinilai menunjukkan sektor pertanian Indonesia belum siap menghadapi era perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), yang akan berlaku mulai tahun depan.
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Khudori, menjelaskan, nilai indeks spesialisasi pemasaran (ISP) beras Indonesia terus menurun sejak 2008, dengan angka negatif kisaran -1,0 hingga 0,71, yang berarti daya saingnya sangat rendah.
Selain itu, nilai import dependency ratio (IDR) beras Indonesia pada 2008 sebesar 0,8 persen dan berfluktuasi pada 2012 menjadi 1,02 persen, yang menunjukkan ketergantungan pada pasokan beras impor.
”Harga beras domestik dan impor semakin jauh, jika orang impor beras sekarang, keuntungannya sangat besar. Misalnya, beras kualitas premium Thailand hanya sekitar Rp 6.000 per kilogram, jauh dari harga beras kualitas biasa di sini yang di atas Rp 10.000 per kilogram,” ujar Khudori, dalam acara diskusi Aliansi Petani Indonesia (API) di Jakarta, Senin (2/11).
Kendati daya saing di pasar dunia rendah, namun Khudori menilai usaha tani padi layak diusahakan, terutama di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat (NTB), karena memiliki keuntungan finansial dan ekonomi cukup tinggi.
Berdasarkan perhitungannya, secara finansial keuntungan usaha tani padi per hektare per tahun Rp 18,16 juta, dengan rasio penerimaan dibanding biaya (R/C) 2,43 dan secara ekonomi keuntungannya Rp 6,01 juta per hektare dengan R/C rasio 1,45.
Secara nasional, lanjut dia, usaha tani padi memiliki daya saing kuat, yang ditunjukkan oleh nilai koefisien keunggulan komparatif (DRCR) dan kompetitif (PCR) masing-masing 0,65 dan 0,38.
Angka DRCR paling tinggi terdapat pada Provinsi Lampung, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatra Selatan dan Sulawesi Selatan, sedangkan angka PCR tertinggi di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Lampung dan Sumatra Barat.
“Jadi usaha tani padi cukup efisien menggunakan sumber daya ekonomi domestik dan amat layak diusahakan. Tapi beras Indonesia tidak mempunyai daya saing di pasar dunia” kata dia.
Lebih lanjut Khudori menjelaskan, ketimpangn daya saing beras di pasar dunia disebabkan karena selama puluhan tahun pemerintah lebih fokus pada swasembada gabah, tapi melupakan beras.
Berbagai kebijakan di on farm seperti subsidi pupuk, benih, bantuan, traktor, irigasi, dan lainnya menurutnya dibuat untuk mengejar swasembada gabah, termasuk target surplus 10 juta ton beras 2017.
Padahal, harga beras, kualitas beras dan produktivitas beras tidak hanya ditentukan oleh tingkat produktivitas gabah kering giling per hektare dan efisiensi pada tingkat usaha tani, melainkan juga ditentukan efisiensi pada tahap proses pengeringan gabah dan penggilingan padi.
“Dua tahap pascapanen ini sangat menentukan kualitas dan produktivitas beras, serta efisiensi yang mencerminkan harga beras. Ini juga terkait dengan kinerja dan kondisi industri penggilingan padi,” jelas dia.
Kasubdit Irigasi dan Sawah Direktorat Serealia Kementerian Pertanian, Wasito Hadi, berpendapat, harga gabah tinggi, karena 60 persen petani domestik adalah petani gurem, dan 40 persen biaya produksinya tenaga kerja.
Harga gabah dipastikan turun jika petani lebih efisien dalam mengelola lahan pertanian mereka, dengan cara mekanisasi pertanian atau mengurangi jumlah tenaga kerja.
“Jika ada full mekanisasi maka harga jual beras kualitas medium bisa hanya Rp 2.300-3.000, misalnya di Papua dengan mengelola 500 hektare menggunakan lima orang tenaga saja,” kata dia.
Wahyu Sudoyo/EPR
SUMBER: http://www.beritasatu.com/ekonomi/319196-daya-saing-beras-indonesia-rendah.html