Editor: Benny N Joewono
Minggu, 28 November 2010 | 18:42 WIB
JAMBI, KOMPAS.com – Provinsi Jambi memiliki lahan kritis seluas 2,2 juta hektar, yang terdiri atas lahan kritis, sangat kritis, dan berpotensi kritis.
“Luas lahan kritis saja 600.000 hektar,” kata ketua masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI) DR Sunarti, di Jambi, Minggu (28/11/2010).
Data tersebut adalah data pada 2007, semetara data 2010 masih dalam kalkulasi Bappeda dan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi.
Menurut dia, lahan kritis seluas itu sangat memprihatinkan, sebab akan mempengaruhi tingkat kehidupan dan perekonomian masyarakat yang ada di atasnya, dan yang bermukim di sekitarnya.
“Penurunan tingkat kesuburan tanah ini akan terus berlanjut jika tidak segera ditanggulangi,” katanya.
Sunarti mengakui hal tersebut sudah semakin parah, terlebih belum adanya aturan tegas dari pihak pemerintah mengenai konservasi tanah dan air.
Oleh karena itu, pihaknya berharap adanya kepedulian dari pemerintah mengenai konservasi tanah dan air ini.
“Kita harapkan pemerintah perduli dengan konservasi ini sebab ini menyangkut hajat hidup masyarakat juga,” katanya.
Keprihatinan MKTI terhadap luasnya lahan kritis ini karena untuk taraf dunia, angka per tahun selalu meningkat, sementara tingkat pemulihan sangat kecil dan berlangsung lama.
Tingkat degradasi lahan yang ada di Jambi yang sangat luas tersebut butuh konversasi cepat.
“Terlebih upaya pemerintah yang stagnan dan belum berjalan dengan maksimal, sehingga upaya mengatasi kerusakan lahan makin lama makin tertinggal,” katanya.
Upaya yang akan dilakukan MKTI salah satunya seperti mengajukan usulan aturan bagi pemerintah, dan selama ini upaya tersebut masih jalan di tempat.
Solusi sederhana yang bisa dilakukan masyarakat untuk memperbaiki kerusakan lahan ataupun konservasi adalah membuat sumur serapan.
“Jadi, air hujan tidak lagi dialirkan ke got, tetapi langsung diserap tanah,” katanya.