Kamis, 10 Maret 2011
Sejak pemerintah menggalakkan penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri sesuai saran lembaga keuangan internasional tahun 1999, kini Indonesia telah mengirim sedikitnya 6 juta TKI. Mereka menghasilkan devisa 7,1 miliar dollar AS (Rp 63,9 triliun) tahun 2010. Nilai yang besar, walau sedikit dari TKI yang sukses mengoptimalkan uang itu sebagai modal usaha di desa asalnya.
Kebobrokan infrastruktur di pedesaan, mulai jaringan irigasi yang tak terurus sampai kondisi jalan yang rusak parah, membuat mantan TKI akan kembali bekerja ke luar negeri begitu tabungan mereka habis. Meninggalkan rumah-rumah bagus yang dibangun dari menyisihkan sebagian gaji sebagai TKI dan terkadang kembali menjual sawah yang baru dibeli sebagai modal bekerja lagi ke luar negeri.
Masih ingat kisah Siti Hajar (34), TKI asal Garut, Jawa Barat, yang terluka parah dianiaya majikan di Malaysia pertengahan tahun 2009? Atau cerita Sumiati binti Salan Mustapa (23), TKI asal Dompu, Bima, Nusa Tenggara Barat, yang dianiaya keluarga majikan di Madinah, Arab Saudi, akhir tahun 2010? Terakhir kasus Darsem binti Daud Tawar, TKI asal Kabupaten Subang, Jawa Barat, yang lolos dari hukum pancung akibat membunuh majikan di Arab Saudi namun masih terbebani uang diyat (kompensasi) sebesar Rp 4,7 miliar.
Tak sedikit pula cerita TKI yang pulang hanya nama setelah menjadi korban kekejaman majikan, agen pekerja, atau mafia perdagangan orang. Meski demikian, minat mereka mencari kerja ke luar negeri tak kunjung surut.
Jumlah calon TKI yang berangkat ke Arab Saudi rata-rata 30.000 orang per bulan. Sebelumnya jumlah calon TKI yang berangkat ke Malaysia jauh lebih besar lagi setiap bulan. Namun, sejak pemerintah menghentikan sementara (moratorium) penempatan TKI pembantu rumah tangga pada 26 Juni 2009, terjadi penurunan meski yang tak berdokumen terus mengalir.
Ketimpangan
Desakan ekonomi akibat minimnya lapangan kerja di pedesaan membuat mereka, yang tidak memiliki tingkat pendidikan dan keahlian kerja memadai, nekat berangkat ke luar negeri sebagai TKI. Iming-iming gaji tinggi dan pengalaman ke luar negeri dari para sponsor yang rajin bergerilya ke pelosok desa mampu memikat banyak perempuan dari tua sampai muda usia untuk menjadi TKI.
Ketimpangan pembangunan antara desa dan kota membuat kelompok masyarakat desa semakin termarjinalisasi. Mereka yang tidak mampu mengakses pendidikan, pelayanan kesehatan, dan infrastruktur semakin jauh tertinggal dibandingkan dengan masyarakat kota. Generasi muda semakin tak tertarik bekerja di sektor pertanian, yang akibat perubahan iklim meningkatkan potensi gagal panen.
Sebagian bermigrasi ke perkotaan untuk melamar pekerjaan sebagai penjaga toko di pusat-pusat perbelanjaan yang tumbuh bagai jamur di musim hujan dengan upah bersih Rp 1 juta-Rp 1,2 juta per bulan.
Program-program pengentasan rakyat dari kemiskinan oleh pemerintah selama ini dinilai tidak bervisi jangka panjang. Program beras miskin, fasilitas pembiayaan di desa-desa, atau program nasional pemberdayaan masyarakat (PNMP). Dari analisia yang pernah kita lakukan, ini kan bukan orientasi jangka panjang. Dari kajian kami, 5 program unggulan pengentasan (rakyat dari) kemiskinan hanya untuk keluar dari kubang kemiskinan, ujar Hendri Saparini.
Strategi besar China
Bandingkanlah antara Indonesia dan China, negara raksasa yang lebih dulu melakukan industrialisasi. Tingkat kemiskinan di China tahun 1985 masih mencapai 65 persen dan saat ini telah turun hingga mencapai 7 persen.
Apa yang dilakukan China? Ternyata pertama kali yang dilakukan adalah pembangunan pedesaan. Jadi, 10 tahun pertama itu fokus kepada pembangunan pedesaan. Artinya, kalau kita melihat, ini nanti pasti akan menciptakan kelas menengah baru di pedesaan. Jadi, ada seperangkat kebijakan ekonomi yang membuat mereka ini kemudian mempunyai kekuatan untuk tidak hanya sekadar keluar dari kemiskinan, tetapi generasi selanjutnya naik ke kelas menengah, jelas Hendri.
Oleh karena itu, pemerintah tidak semestinya terjebak menyusun program pengentasan rakyat dari kemiskinan tanpa membangun strategi besar dalam kerangka yang jelas untuk menekan jumlah orang miskin. Jadi, yang penting adalah substansi kebijakan itu berdampak negatif atau tidak terhadap upaya pengentasan rakyat dari kemiskinan.
Keserakahan pemerintah daerah yang cenderung ingin menghasilkan sesuatu dengan cepat juga menimbulkan kreativitas-kreativitas menarik pajak yang berdampak negatif terhadap ekonomi riil. Hal-hal seperti rencana memungut pajak dari warung Tegal atau rencana pungutan terhadap buruh gendong di Solo semestinya tidak terjadi apabila pemerintah benar- benar menyusun anggaran prokemiskinan.
Belanja pemerintah yang semakin kecil dalam perekonomian nasional. Intervensi modal terakhir pemerintah Amerika Serikat saja 20 persen dari PDB. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya 9 persen. Jadi, di Indonesia, yang kapasitasnya terbatas dipakai pula untuk hal-hal yang tidak-tidak. Rapat evaluasi program pengentasan rakyat dari kemiskinan, rapat monitoring media yang mewartakan kemiskinan, semuanya memprihatinkan.
China berhasil mengurangi kemiskinan setelah menggunakan resep-resep yang logis, yaitu membangun pedesaan, tempat orang miskin terbanyak berada. China memerangi kemiskinan di basis kemiskinan.
China, yang berada di level korupsi yang sama dengan Indonesia tahun 1995, mampu melakukan terobosan tersebut untuk mengurangi angka kemiskinan. Angka kemiskinan absolut 1 dollar AS per hari di China tahun 1990 lebih parah dari Indonesia, yakni 31,5 persen di China dan 26 persen di Indonesia. Sekarang, kemiskinan absolut kedua negara tak lagi jauh berbeda, yakni di China kini 6,1 persen dan Indonesia 5,9 persen.
China fokus membangun industri manufaktur yang sekitar 50 persennya didedikasikan untuk rakyat, sementara di Indonesia kondisinya terbalik. Demikian juga pertumbuhan sektor keuangan. Pemerintah China mampu mengakumulasi pertumbuhan pasar keuangan ke sektor riil dengan meningkatkan akses pembiayaan ke desa-desa. Kalau kita, yang ke desa-desa (malah) lintah darat.
Persoalan kemiskinan memang sebaiknya tak sebatas dibahas dalam program-program yang rumit. Sudah semestinya pemerintah turun ke lapangan dan menyentuh langsung persoalan dengan menyederhanakan birokrasi, mengakselerasi implementasi, dan memperkuat koordinasi untuk mengurangi kemiskinan.
Jangan lagi menambah barisan Siti Hajar, Sumiati, dan Darsem pergi ke luar negeri menjadi babu demi menghidupi keluarga mereka yang miskin di desa lantaran ketiadaan strategi pembangunan desa dan pemberantasan kemiskinan yang kuat.
http://cetak.kompas.com/read/2011/03/10/05141925/fokus.membangun.pedesaan