Editor: bnj
Selasa, 8 Desember 2009 | 16:38 WIB
PALANGKARAYA, KOMPAS.com – Seluas 145 ribu hektar hutan di Provinsi Kalimantan Tengah hilang setiap tahunnya, berubah menjadi hamparan lahan kritis akibat kesalahan pengelolaan sumber daya alam.
“Dampak lahan kritis yang sangat luas tersebut telah menimbulkan berbagai masalah lingkungan seperti banjir, longsor, serta kebakaran hutan dan lahan yang selalu mengancam setiap tahun,” kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Anung Setiadi, di Palangkaraya, Selasa (8/12).
Anung memamaparkan, di provinsi itu masih banyak terdapat hutan dan lahan kritis, bukit-bukit yang gundul, lahan kosong tidak terurus dan tidak jelas kepemilikannya.
Sejumlah permasalahan itu, semakin memperburuk kondisi kawasan hutan setempat, yang kini telah mengalami deforestasi dan degradasi hingga menimbulkan lahan kritis seluas 4,778 juta hektar.
Sementara upaya pemulihan dan pengendalian deforestasi dan degradasi lahan itu, selama ini telah dilakukan pemerintah daerah melalui kegiatan penghijauan dan reboisasi, gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan, pembangunan hutan tanaman industri.
Sementara itu, Save Our Borneo (SOB), sebuah lembaga peduli lingkungan, menyatakan sekitar 80 persen kerusakan hutan yang terjadi di seluruh Kalimantan selama ini disebabkan ekspansi sawit perusahaan besar.
“Kerusakan terbesar hutan di Kalimantan adalah karena pembukaan lahan untuk kelapa sawit, sisanya sebanyak 20 persen pertambangan, dan area transmigrasi,” kata Direktur Eksekutif Save Our Borneo, Nordin.
SOB memaparkan, berdasarkan prediksi tren 10 tahunan, dari luas Kalimantan yang mencapai 59 juta hektare, laju kerusakan hutan (deforestasi) telah mencapai 864 ribu hektare per tahun atau 2,16 persen.
Kerusakan hutan yang terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah tercatat sebagai yang terluas dibanding tiga provinsi lain dari sisi luasan kerusakan yakni mencapai 256 ribu hektare per tahun.
Dari lebih 10 juta luas hutan yang dimiliki Kalimantan Tengah, laju kerusakannya telah menembus sekitar 2,2 persen per tahun.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kalteng Moses Nicodemus, mengakui permasalahan deforestrasi dan degradasi tersebut menjadi sangat kompleks mengingat upaya penanggulangan yang lambat sementara degradasi lingkungan sudah semakin cepat.
“Bila diibaratkan, upaya penanggulangan itu seperti deret hitung karena begitu lambat, disisi lain degradasi lingkungan saat ini telah mencapai seperti deret ukur karena kecepatannya,” kata Moses.
Penyebab kerusakan hutan dan lahan itu, karena konversi perkebunan, terjadinya penebangan hutan secara tidak terkendali, dan banyaknya kegiatan pertambangan liar rakyat di wilayah setempat.