efleksi tentang Pangan
Aliansi Petani Indonesia (API) mengucapkan terima kasih kepada Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) yang telah menulis suatu fakta kronologis tentang makna normatif Hak Atas Pangan berdasar runutan peristiwa dan fakta sebuah organisasi PBB tentang universalitas hak azasi manusia terutama hak ekosob dan rekaman peristiwa konflik agraria yang menyebabkan kemiskinan di pedesaan terkait dengan kebijakan-kebijakan sektoral dan menuntut tanggung jawab negara terutama dalam pemenuhan hak-hak dasar warga negaranya seperti hak atas tanah dan pangan. Ini menjadi penting dikarenakan 70 % penduduk di Indonesia mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian utama.
Pengalaman menunjukkan meskipun sebelum dan sesudah Deklarasi HAM ditanda tangani masalah-masalah impunitas, genocid atas suku bangsa dan perang antar bangsa atas nama ideologi dan agama, kemiskinan, kelaparan masih saja terjadi meskipun itu sebagai dampak dari sebab utama yang ditimbulkannya yakni kerakusan negara-negara industri untuk menguras sumber daya alam di belahan selatan dunia ini yang nota bene adalah negara-negara berkembang.
Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober 2006 yang lalu FAO mencanangkan tema Investing in Agriculture for Food Security”. Oleh Departemen Pertanian Indonesia konsep tersebut dibahasakan menjadi Membangun Kemandirian Pangan Berbasis Pedesaan”.
Tema-tema Hari Pangan Dunia berkisar pada kemiskinan, kelaparan dan ketahanan pangan. Kritik atas konsep tersebut dilontarkan oleh La Via Campesina dengan tema Kedaulatan Pangan. Hari ini penduduk dunia berjumlah 6,5 milyar dunia dan akan terus bertambah 8,5 milyar pada tahun 2025. Apakah bumi tempat kita hidup sanggup memberi makan kepada machluk hidupnya ?
Fakta menggambarkan bahwa dalam setiap tujuh detik, anak dibawah 10 tahun meninggal dunia akibat kelaparan dan 840 juta menderita kekuarangan gizi. Apa sebabnya ?
a. Sumber produksi, seperti tanah, air, benih, ternak, tanaman,
ikan dan udara tercemar akibat
pemakaian berlebihan pupuk dan pestisida kimia
b. Kerusakan dan menurunnya daya dukung pertanian
seperti saluran irigasi sampai 40 hingga60 persen.
c. Menyempitnya lahan pertanian atau konversi lahan
ke non pertanian dengan laju yang cepat.
d. Tekanan demografi akibat gagalnya mengatasi kelahiran yang tinggi
e. Politik pertanian negara-negara maju yang menginginkan
penyeragaman pangan meskipun terdapat 3000 spesies
tumbuhan namun hanya 16 tanaman pangan
untuk budidaya tanaman pangan.
f. Akibat politik proteksi dan subsidi, negara-negara maju
mengalami swasembada pangan atau surplus pangan.
Tahap berikutnya, dikarenakan surplus tersebut negara maju
melepas ke pasar dengan harga dumping.
Bagi negara-negara net importir pangan,
kondisi tersebut sangat menguntungkan.
g. Dampak bagi negara berkembang dimana juga dikembangkan komoditas yang sama,
mengalami pukulan telak.
Pertama, disebabkan harga pangan impor murah, produksi petani
dalam negeri dinilai tidak kompetitif. Akibatnya, jalan pintas yang diambil oleh pemerintah,
dengan melakukan impor dan alasan-alasan yang dikemukakan terkesan dicar-cari.
pangan, merupakan komoditas substitusi impor yang menjadi sumber devisa, dimana hidup
petani dan jutaan tenaga kerja sangat tergantung padanya.
Situasi dan kondisi dunia menggambarkan terjadinya peningkatan kebutuhan pangan yang terbesar dimana 85 persen peningkatan kebutuhan pangan dunia bersumber dari negara-negara berkembang dan terbelakang. Sedangkan peningkatan produksi pangan dunia bersumber dari negara maju dimana 60 persen pertumbuhan pangan akan disediakan oleh negara maju akibat kemajuan tehnologi dan rekayasa genetika.
Kondisi yang demikian itu memiliki kaitan dengan masalah kedaulatan pangan di negara berkembang, kebutuhan akan pangan sangat mempengaruhi pergerakan pangan dunia. Kondisi pasar pangan dunia tersebut dapat dijelaskan pada permintaan (berubahan atau ketidak-berubahnya pasar beras). Tabel 1 menjelaskan bagaimana perubahan 10 negara terbesar di dunia dalam hal produksi, impor, dan ekspor. Dalam tabel juga menjelaskan bahwa pangsa (PCt) produsen, importir, dan eksportir beras dipasar internasional tidak banyak perubahan (*Lihat daftar urutan 10 besar dunia dalam hal produksi, impor dan ekspor besar pada Database FAO ).
Latar belakang yang menjelaskan bagaimana pemerintah Indonesia menjadi importir terbesar di dunia dapat dikemukakan dalam proses negosiasi dengan IMF pada tahun 1997. IMF menekan pemerintah Indonesia supaya segala bentuk kontrol harga kontrol distribusi semua produk pertanian dihapuskan, penghapusan pembatasan impor produk pertanian dan melakukan privatisasi terhadap Bulog.
Keseluruhan proses tersebut dituangkan dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) yang diterbitkan bersama letter of intent (LoI) antara pemerintah Indonesia dengan IMF pada tanggal 31 Oktober 1997. Dalam paragraf 41 yang memuat bagian reformasi struktural dan privatisasi dalam MEFP, pemerintah Indonesia akan melepaskan kontrol pada harga pertanian kecuali harga beras, gula dan tembakau. Pada tanggal 1 Januari 1998, dikarenakan desakan IMF, harga beras, gula dan tembakau dinaikkan. Laporan tersebut bersamaan dengan penandatanganan MEFP tanggal 24 Juni 1998.
Sebagaimana yang diutarakan diatas, pangan merupakan komoditas subsitusi impor dan sumber devisa negara namun merupakan tempat bergantungnya hidup jutaan petani dan tenaga kerja Indonesia, akibat kebijakan neoliberal tersebut jutaan rakyat menjadi kelaparan.
Atas Pangan : Siasat menuju Pembaruan Agraria
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, oleh sebab itu masalah pangan berkaitan dengan individu, rumah tangga, dan masyarakat merupakan hak azasi manusia. Kedaulatan pangan merupakan hak sebuah bangsa, dan monopoli akan ketersediaan pangan apalagi melakukan penjajahan melalui pangan jelas melanggar Hak Azasi Manusia.
Kedaulatan pangan suatu bangsa akan ditentukan oleh ketersediaan dan keterjangkauan terhadap pangan yang cukup dan bergizi. Dengan demikian, terdapat aspek pasokan yang meliputi produksi, distribusi dan konsumsi akan pangan. Disisi lain juga terlihat tingkat daya beli masyarakat, bagaimana kondisi tingkat pendapatan individu dan rumah tangga. Aksesibilitas setiap orang terhadap pangan, yang berkaitan dengan keterbukaan dan kesempatan setiap orang dan keluarga untuk mendapatkan pangan.
Pentingnya kedaulatan pangan suatu bangsa adalah bagaimana cara memenuhi kebutuhan pangan untuk rakyat terutama rakyat miskin dilihat dari aspek ketersediaan jumlah, mutu, harga, kontinyuitas, keterjangkauan, dan stabilitas. Fakta yang terjadi menunjukkan bahwa tidak semua negara terutama negara miskin dan terbelakang memenuhi hak atas pangan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakatnya.
Di Indonesia, landasan dasar untuk memenuhi terwujudnya hak atas pangan dengan melakukan pembaruan agraria bagi peruntukan rumah tangga petani kecil dan buruh tani. Mengapa demikian ? Alasan yang paling kuat adalah meningkatnya jumlah rumah tangga petani gurem sebesar 2,6 % atau naik dari 10, 8 juta rumah tangga petani gurem tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga petani. Dari 24,3 juta rumah tangga petani berbasis lahan (land base farmers), 20,1 juta (82,7 %) diantaranya dikategorikan miskin. Karena sebagian rumah tangga petani Indonesia adalah petani padi/palawija, maka sebagian besar petani gurem juga petani padi/palawija Khudori, dalam kolom Opini, Kompas, edisi 8 Januari 2007.
Apakah kondisi tersebut yang dijadikan dasar pijakan pemerintah Indonesia mengimpor beras setiap tahunnya 2 juta ton ? Jika jawabannya ya, berarti pemerintah Indonesia telah melakukan kebohongan publik dan paling serius adalah melanggar hak ekosob dikarenakan ekuivalen dari nilai material 2 juta ton beras sama dengan modal usaha tani 6 juta /ha yang dibutuhkan sekitar 666.000 rumah tangga petani gurem.
Dari anggaran pembelian impor beras saja sebenarnya pemerintah Indonesia bisa mengalokasikan anggaran untuk melakukan pembaruan agraria di pedesaan. Namun dikarenakan arsitektur keuangan dan politik dunia tidak menghendaki demikian, pemerintah Indonesia terjebak dalam sesat pikir paham pasar bebas. Dari fakta kronologis tersebut sebenarnya bisa dirunut dan dapat disimpulkan bahwa paksaan kebijakan melalui seperangkat paket yang ditawarkan oleh badan keuangan multilateral mengandung potensi pelanggaran HAM. Namun, siapakah yang berani melawan kekuatan inti dari kapitalisme dunia yakni Bank Dunia dan IMF ?
Buku yang ditulis oleh team PBHI Advokasi Hak atas Pangan terlalu melihat dari kerangka yuridis politis hukum International dan Nasional. Memang demikian adanya koridor hukum yang ada di Indonesia. Jika penulisan diperkaya dengan analisa sosiologi dan antroplogi akan memperkaya nuansa yang dapat menggambarkan situasi ketidakberdayaan dan keterbatasan yang dialami petani dan buruh tani.
Gagalnya revolusi hijau untuk meningkatkan produksi padi dan pendapatan petani menjelaskan kepada kita tentang kekurang pekaan pemerintah Indonesia tentang siapa petani Indonesia. Petani Indonesia sudah terlatih menghadapi tekanan ekonomi yang berlangsung sejak zaman tanam paksa. Para generasi 28 sudah benar meletakkan landasan UUPA No.5 1960 sebagai payung politik industri pertanian kita namun tidak berkembang dikarenakan dua kutub dunia memainkan peran politik Indonesia. Generasi penerusnya, angkatan 45 membangun pondasi ekonomi dengan strategi bantuan luar negeri. Dari sinilah penindasan kognitif berlangsung. Kalau generasi tanam paksa dipaksa belajar ekonomi dualisme, pertama berlangsung pertanian modern untuk ekspor satu sisinya pertanian subsisten. Hal yang sama semangat pertanian kolonial Belanda diejawentahkan dalam bentuk UU Sumber Daya Air, UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Kehutanan dan terakhir UU Penanaman Modal.
Kalau zaman tanam paksa, terbangun dualisme dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat petani, yang sebelumnya telah ada walaupun belum menjadi manifes. Didalam ekonominya, tercipta dua struktur yang tidak seimbang, yaitu perkebunan kolonial yang berorientasi modern-ekspor dan pertanian tradisional pada tahap yang masih subsisten. Dalam kehidupan sosial menciptakan pola kehidupan masyarakat yang dualistik pula, yaitu masyarakat penjajah belanda dan masyarakat petani pribumi.
Sistem Tanam Paksa tidak menghapuskan dualisme tersebut, misalnya lewat penghapusan sistem pertanian tradisional, melainkan dipertahankan dan dimanfaatkan. Caranya melalui pengaturan sistem kerja petani dan lahan pertanian tradisional sedemikian rupa sehingga ekonomi-sosial tradisional-lah yang menjadi penunjang ekonomi kolonial. Kehidupan tradisional yang subsisten-lah yang menunjang ekonomi modern yang berorientasi komersial-eksport.
Mengapa ekonomi kolonial yang modern masih membutuhkan ekonomi-sosial yang tradisional ? Penjelasannya adalah, ini akal-akalan Belanda sehingga ketika ekonomi kolonial mengalami ekspansi (karena naiknya harga komoditas eksport di pasaran dunia), ekonomi-sosial tradisional akan dengan mudah dapat dikontraksi (mobilisasi tanah dan tenaga kerja) untuk mengikuti ekspansi tersebut. Apabila situasi berubah, melemahnya ekonomi kolonial (karena fluktuasi harga di pasar dunia) akan dapat dikompensasi dengan memperkuat ekonomi-sosial tradisional, Di sini terlihat faktor naiknya populasi petani dan intensifikasi pertanian tradisional menjadi variable penting (Diah Laksmi, Siasat Petani Jawa, makalah lepas, tanpa tahun terbitan
Dari sini dapat kita pahami alur politik kebijakan pertanian Indonesia yang mencoba meliberalisasi pedesaan di Indonesia dan harga yang dibayar adalah dengan semakin meningkatnya angka penduduk miskin, kekurangan pangan dalam spektrum yang luas atas wilayah dan komunitas. Tidak jauh berbeda dengan sistem tanam paksa, ibarat sebuah lagu kau yang memulai …kau yang mengkhiri, kau yang berjanji …kau yang mengkhianati atau istilah gaulnya …semangat sama namun ganti kesing saja.
_____________________
Oleh. Muhammad Nuruddin adalah Sekjend Aliansi Petani Indonesia (API), Tulisan ini diambil dari makalah yang disampaikan dalam Bedah Buku Right to Food : From Justicibiality to Agrarian Reform, oleh PBHI dan University of Oslo, Norwegia