Kamis, 25 November 2010 | 03:36 WIB
Oleh Hermas E Prabowo
Pemerintah melalui rapat koordinasi terbatas yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Selasa (23/11) malam, memutuskan agar Bulog tetap menjaga stok aman 1,5 juta ton beras di gudang. Impor beras tetap perlu mengingat harga beras masih tinggi dan produksi terganggu.
Keputusan pemerintah dilakukan setelah melewati debat panjang, baik terkait aspek produksi, manajemen stok beras Bulog, maupun kondisi harga beras di pasar yang masih tinggi.
Sampai saat ini, beda pendapat antara Kementerian Pertanian dan Perum Bulog terus terjadi, bahkan menghangat. Kedua pihak saling menyerang.
Kemtan menuding Bulog tidak melakukan pembelian beras secara maksimal saat panen raya rendeng 2010. Padahal, kalau mau, Bulog bisa saja membeli gabah/beras dengan memanfaatkan tabel harga rafaksi, yang memberikan keleluasaan bagi Bulog untuk membeli gabah dengan kualitas apa pun.
Bulog juga bisa saja memanfaatkan instrumen komersial dengan membeli gabah melalui unit pengilingan gabah dan beras (UPGB) dengan harga komersial, lalu menjualnya ke pasar. Kemtan sendiri optimistis produksi beras 2010 surplus karena hujan terjadi sepanjang tahun sehingga luas panen bertambah.
Mendapat serangan seperti itu, Bulog tak mau kalah. Bulog gantian menuding Kemtan tidak melakukan pekerjaannya dengan baik. Produktivitas turun meski areal panen meningkat.
Serangan hama wereng juga terlambat diantisipasi sehingga meluas dan memicu penurunan produksi. Karena produksi beras tidak sesuai target kenaikan 3,2 persen, penyerapan beras Bulog rendah. Produksi yang rendah masih ditambah konsumsi naik akibat populasi penduduk yang naik pula. Kalau produksi beras sesuai target, harga beras tidak melonjak. Harga melonjak karena murni hukum pasar.
Bulog bahkan menuding unit penggilingan padi yang diprakarsai Kemtan dan dikelola pemda tidak jalan. Kinerja UPGB Bulog 2010 sudah mencapai 90 persen. Bulog juga menyatakan, pengadaan beras 2010 lebih baik daripada tahun 2007 saat terjadi gangguan iklim.
Saling serang terus berlangsung. Namun, apa yang sebenarnya terjadi di lapangan?
Aliran beras
Ada hal menarik yang luput dari perhatian masyarakat, yakni aliran perdagangan beras antarwilayah ataupun antarpulau.
Indikator aliran beras yang paling gampang dideteksi adalah di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), Jakarta, pasar beras grosir yang menjadi barometer baik skala nasional maupun di Asia Tenggara.
Data per 31 Januari 2010 di PIBC menunjukkan, persentase perdagangan beras antarpulau dari PIBC mencapai 23 persen. Sebesar 23 persen beras itu terbagi ke Pontianak 17 persen, Palembang 14 persen, Bangka 19 persen, Medan 14 persen, Batam 22 persen, dan Pekanbaru 11 persen. Selebihnya, kurang dari 3 persen ke Lampung, Jayapura, Padang, Jambi, dan Makassar.
Namun, kurang dari 11 bulan kemudian, tepatnya 23 November 2010, perdagangan beras antarpulau di PIBC meningkat signifikan, yakni mencapai 34 persen. Penyerapan terbesar beras antara lain dari Batam 24 persen, Palembang 15 persen, Bangka 15 persen, Medan 13 persen, Pekanbaru 10 persen, Pontianak 12 persen, selebihnya di bawah 4 persen. Adapun pasokan beras ke PIBC 2.000-3.000 ton per hari.
Selain antarpulau, penyerapan terbesar beras PIBC tentu ke konsumen di Jakarta. Selebihnya tersebar dalam persentase yang tak besar ke Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Kalau dilihat dari sebarannya, beras antarpulau itu masuk ke wilayah yang juga memproduksi beras, misal ke Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Kalimantan. Di Sumatera dan Kalimantan banyak ditanami padi di lahan rawa lebak ataupun rawa pasang surut.
Karena tarikan beras ke luar Pulau Jawa tinggi, hal ini menyebabkan harga beras di Jawa naik tajam. Apalagi kalau permintaan terus mengalir dan belum ada indikasi jenuh. Itu bisa dipahami mengapa harga beras saat ini di Pulau Jawa tetap tinggi. Hal ini disebabkan beras yang masuk PIBC langsung ditarik ke luar pulau.
Adapun pasokan beras di PIBC terbesar dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Banten.
Audit lahan segera
Permintaan beras yang tinggi di luar Jawa terjadi akibat produksi beras di wilayah itu turun, sementara permintaan tetap. Sangat tak mungkin permintaan beras meningkat kalau ketersediaan di daerah setempat tinggi.
Mengapa persediaan kurang? Hal ini terjadi akibat di sejumlah daerah di luar Pulau Jawa tidak bisa ditanami padi, terutama di lahan rawa lebak dan rawa pasang surut.
Selain soal aliran beras, kualitas produksi beras saat ini turun. Akibat hujan lebat, ketersediaan beras kualitas premium makin sedikit karena penggilingan padi kesulitan pengeringan, sementara permintaan tetap. Akibatnya, harga beras premium naik dan mengerek harga beras kualitas medium.
Masalah kenaikan harga beras juga bisa diredam kalau sejak awal Bulog berani menggelontorkan beras ke pasar. Tetapi, tentu ini tidak sembarangan karena sebelum mengimpor, stok beras Bulog tipis.
Kenaikan harga beras seharusnya tidak menjadi polemik berkepanjangan kalau pemerintah melakukan antisipasi sejak awal. Polemik terjadi karena tidak ada kepastian data produksi sehingga setiap lembaga saling mengklaim kebenarannya.
Tak bisa dimungkiri, perhitungan produksi beras BPS banyak menuai kritik. Dalam menghitung produksi, BPS kebagian menghitung produktivitas tanaman padi, sementara data luas lahan mendapat pasokan dari Kemtan.
Data luas tanam padi dihimpun Kemtan bukan rahasia lagi dipasok dari pemerintah daerah. Bagi bupati dan gubernur, peningkatan luas panen padi merupakan prestasi dan aib jika ada penurunan luas panen.
Sudah saatnya audit lahan diselesaikan.
(Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2010/11/25/03360942/harga.beras.yang.tetap.melambung)