Rabu, 9 Februari 2011
Jakarta, Kompas – Kebijakan soal beras dinilai anomali karena di satu sisi pemerintah mendorong impor, tetapi pada saat yang sama pemerintah menetapkan produksi padi tahun ini surplus. Tahun 2011, produksi gabah kering giling akan mencapai 68,8 juta ton atau setara 39,9 juta ton beras.
Adapun kebutuhan beras hanya 33,06 juta ton. Kalangan Komisi XI DPR keberatan dengan kebijakan pemerintah yang akan mendorong impor beras dengan menurunkan bea masuk beras impor dari Rp 450 kilogram menjadi nol persen.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengasumsikan konsumsi beras per kapita mencapai 139,15 kg. Dengan jumlah penduduk 237,556 juta jiwa, kebutuhan beras nasional hanya 33,06 juta ton. Ini artinya, pemerintah sebenarnya telah merencanakan surplus beras. Jadi, mengapa harus impor? ujar anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Arif Budimanta, di Jakarta, Selasa (8/2).
Dia berbicara dalam rapat kerja antara Komisi XI DPR dan Menteri Keuangan Agus Martowardojo beserta Wakil Menkeu Anny Ratnawati.
Menurut Arif, BPS telah memperhitungkan, dengan produksi 65 juta ton gabah kering giling (GKG), itu setara dengan 38 juta ton beras karena setiap satu juta ton GKG dapat dikonversi menjadi 0,58 juta ton beras.
Lalu dalam Nota Keuangan dan APBN 2011 yang didasari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang APBN 2011 disebutkan, produksi tahun 2011 adalah 68,8 juta ton GKG atau setara 39,9 juta ton.
Jadi, dari data resmi pemerintah sendiri dapat diketahui, pada tahun 2010 ada surplus beras sebanyak 5,61 juta ton dan pada tahun 2011 ada surplus 6,84 juta ton beras, tutur Arif.
Oleh karena itu, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 241/PMK.011/2010 tanggal 22 Desember 2010 tentang tarif bea masuk 57 komoditas pangan patut dipertanyakan.
Dalam aturan itu, tarif bea masuk diturunkan dari Rp 450 per kg menjadi nol persen untuk berbagai jenis beras impor.
Beras yang mendapatkan tarif nol persen itu adalah beras setengah giling, beras digiling seluruhnya, beras disosoh, beras dikilapkan, beras wangi, beras setengah matang, dan beras ketan.
Oleh karena itu, ujar Arif, dalam kondisi surplus, kebijakan yang meringankan bea masuk beras merupakan kebijakan yang anomali.
Mohon perhatian sungguh-sungguh karena ini dapat merugikan 59 juta petani (data jumlah petani tahun 2010 berdasarkan BPS). Penurunan bea masuk (BM) ini dilakukan menjelang panen raya padi. Masa panen ini berpotensi menghasilkan 70 persen total produksi beras nasional, ungkap Arif.
Hanya untuk raskin
Menjawab gugatan anggota DPR itu, Agus menegaskan, pihaknya hanya menurunkan tarif BM menjadi nol persen untuk beras bagi rakyat miskin (raskin) dan kebutuhan operasi pasar Bulog. Komoditas tersebut adalah beras dengan tingkat kepecahan bulir 25 persen.
Selain beras tersebut, kami tidak menurunkan bea masuknya, termasuk beras wangi dan beras ketan. Kami akan yakinkan di tingkat operasional terkait hal itu. Jadi, hanya beras raskin dan operasi Bulog yang diturunkan dan itu pun hanya sampai Maret 2011. Kami tetap ingin menjaga inflasi agar rakyat tidak bertambah miskin, katanya.
Mengutip pernyataan BPS, Arif mengatakan, beras ketan, beras wangi, dan beras dikilapkan tidak termasuk komoditas yang mendorong inflasi sehingga harganya tidak dipantau BPS.
Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Andi Timo Pengerang, mengatakan, pemerintah memang terpaksa impor beras karena perlu memenuhi stok beras di Bulog.
Ada cadangan beras di Bulog yang harus tetap ada sebesar 1,5 juta ton setiap saat. Dengan adanya ketidakpastian iklim dan kemungkinan risiko gagal panen, kebijakan impor perlu ditempuh, ujar Andi Timo.
Pernyataan Andi Timo tersebut langsung disergah Arif yang kebetulan duduk bersebelahan.
Pernyataan Andi Timo itu dinilai Arif mengandung bantahan, sesuatu yang dianggap tidak lazim dalam sebuah rapat kerja dengan pihak pemerintah.(OIN)