Kamis, 10 Maret 2011
Miskin bukanlah kutukan. Kemiskinan juga bukan karena mereka malas, tak mau kerja keras, atau tak memiliki etos kerja. Kemiskinan di negara ini lebih karena faktor struktur eksploitatif yang dibuat oleh manusia, baik struktur ekonomi, sosial, politik, maupun budaya.
Struktur inilah yang menyebabkan masyarakat miskin sulit terlepas dari jeratan kemiskinannya. Meskipun mereka bekerja keras membanting tulang sepanjang hari, memeras keringat sepanjang hidup, karena struktur yang tidak adil, mereka tetap saja terkurung dalam kemiskinan. Bahkan, kemiskinan ini menurun kepada anak cucu mereka.
Pemerintah sebenarnya sadar dan mengerti. Untuk melepas belenggu kemiskinan, cara yang paling efektif adalah mengubah struktur eksploitatif secara mendasar. Namun, hal itu tak kunjung dilakukan dan pemerintah sepertinya membiarkan mereka dalam kemiskinan.
Di perkotaan, misalnya, upah buruh dibiarkan sangat rendah sehingga buruh tetap miskin dan tak berdaya. Menyadari kelompok miskin umumnya memiliki keterbatasan modal, kemampuan kewirausahaannya lemah, inferior dalam produk, dan posisi tawarnya rendah, dikembangkan model-model outsourcing hampir di semua bidang usaha, dan pemerintah tak berupaya serius mengatasi persoalan ini.
Di pedesaan lebih gawat lagi. Sumber kehidupan masyarakat dirampas untuk kepentingan pertambangan, perkebunan, transportasi, dan berbagai infrastruktur lainnya yang semuanya memihak pemodal kuat. Sulit mencari contoh, misalnya, kegiatan pertambangan yang menyejahterakan masyarakat sekitar. Tidak mudah pula menunjukkan contoh penebangan hutan yang setelah hutannya habis, kemudian masyarakat sekitar menjadi lebih sejahtera.
Lebih parah lagi, sumber kehidupan masyarakat miskin yang masih tersisa tak kunjung dibenahi. Salah satu pembicara seminar mengatakan, selama puluhan tahun pemerintah tak serius mengupayakan produktivitas tanaman padi.
Padahal, meningkatkan produktivitas tanaman padi merupakan salah satu langkah paling realistis untuk meningkatkan kesejahteraan petani di tengah lahan pertanian yang semakin menyempit karena digunakan untuk permukiman, industri, dan pembangunan infrastruktur.
Kemiskinan yang tetap membelenggu juga menyebabkan masih tingginya angka putus sekolah, tingginya kasus gizi buruk dan gizi kurang, serta tingginya angka kematian ibu dan bayi. Angka putus sekolah, misalnya, saat ini masih sekitar 527.000 atau sekitar 1,7 persen siswa sekolah dasar yang putus sekolah.
Di sisi lain, masyarakat miskin juga menghadapi persoalan mahalnya biaya pendidikan, kesehatan, dan biaya hidup sehari-hari. Masyarakat miskin yang mau beranjak dari belenggu kemiskinan harus pula menghadapi ganasnya gempuran liberalisme dan kapitalisme yang menusuk hingga ke jantung pedesaan.
Bersifat karitatif
Pemerintah selama ini bukannya tak melakukan upaya pemberantasan kemiskinan. Namun, upaya yang dilakukan lebih berupa program kemiskinan, tetapi bukan strategi dan kebijakan pengentasan warga dari kemiskinan. Lima program unggulan pengentasan warga miskin yang dilakukan pemerintah pun tidak menyasar langsung akar atau penyebab kemiskinan, tetapi lebih bersifat karitatif atau memberikan kasih sayang kepada masyarakat miskin. Karena itu, hasilnya pun tak efektif.
Inpres Desa Tertinggal (IDT), bantuan langsung tunai (BLT), pembagian beras untuk rakyat miskin (raskin), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan sejumlah kegiatan lainnya sudah dilakukan pemerintah. Namun, karena itu, kegiatannya lebih bersifat karitatif, jumlah penduduk miskin tak kunjung berkurang signifikan di negeri ini. Padahal, dana yang dikucurkan untuk mengentaskan warga dari kemiskinan tidaklah sedikit.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Menko Kesra, anggaran untuk pengentasan warga dari kemiskinan naik setiap tahun, bahkan kenaikannya cukup spektakuler. Tahun 2004, misalnya, anggaran kemiskinan sekitar Rp 16,7 triliun, tahun berikutnya naik menjadi Rp 23 triliun, dan tahun 2006 naik menjadi Rp 42 triliun. Tahun berikutnya berturut-turut naik menjadi Rp 51 triliun (2007), Rp 63 triliun (2008), Rp 66 triliun (2009), dan tahun 2010 melonjak menjadi Rp 94 triliun.
Namun, lonjakan anggaran ini tidak disertai dengan penurunan angka kemiskinan yang signifikan. Jumlah penduduk miskin pada kurun waktu yang sama 16,7 persen (2004), lalu turun menjadi 16 persen (2005), naik lagi menjadi 17,8 persen (2006), kemudian turun 16,6 persen (2007), 15,4 persen (2008), 14,2 persen (2009), dan terakhir sekitar 13,3 persen (2010).
Penurunan ini jauh sangat lambat dibandingkan dengan China. Tahun 1990, jika menggunakan angka kemiskinan absolut 1 dollar AS per kapita per hari, saat itu di China jumlahnya 31 persen, sedangkan di Indonesia hanya 26 persen. Kini angka kemiskinan absolut di China tinggal 6,1 persen, sedangkan di Indonesia 5,9 persen. Bisa dikatakan, kini hampir sama 6 persen, tetapi China bergerak dari angka kemiskinan absolut yang jauh lebih tinggi.
Jika menggunakan patokan 2 dollar AS per hari, penurunan angka kemiskinan di China lebih pesat lagi, yakni dari 70 persen menjadi 21 persen, sedangkan di Indonesia dari 71 persen menjadi 42 persen.
Melihat angka-angka ini, tentu ada yang keliru dalam strategi pengentasan warga dari kemiskinan di Indonesia. Karena itu, sudah saatnya berbagai langkah pengentasan warga miskin ini dievaluasi agar bisa dihasilkan strategi nyata pengentasan warga miskin, antara lain dengan menggempur akar-akar kemiskinan hingga tuntas. Jika tak dievaluasi, bisa muncul tudingan bahwa kemiskinan di Indonesia memang sengaja dieksploitasi untuk berbagai kepentingan.
http://cetak.kompas.com/read/2011/03/10/05152094/kemiskinan.yang.dieksploitasi