Jakarta, 7 Agustus 2025 – Di balik hamparan sawah yang hijau, tersimpan cerita perjuangan petani Indonesia yang setiap hari berjibaku menghadapi cuaca tak menentu, harga pupuk yang melonjak, dan pasar yang kerap tak berpihak. Cerita inilah yang mengemuka di ruang pertemuan Grand Cemara Hotel, Jakarta, Kamis (7/8), ketika petani dari berbagai daerah duduk bersama para pembuat kebijakan dalam Konsultasi Nasional dan Dialog Kebijakan bertema Pertanian Keluarga, Transformasi Sistem Pangan Berkelanjutan, Konservasi Keanekaragaman Hayati, Pencegahan Degradasi Lahan, dan Ketahanan Iklim.
Kegiatan yang diselenggarakan oleh Platform Asia Pacific Farmers Program – Farmers Organizations for Asia (APFP-FO4A) Indonesia, yang beranggotakan Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Petani Indonesia (SPI), Wahana Masyarakat Tani Indonesia (WAMTI), Jaringan Masyarakat Tani Indonesia (JAMTANI), dan Serikat Nelayan Indonesia (SNI) ini, menjadi ajang berbagi pengalaman, merumuskan gagasan, dan mencari solusi bersama atas tantangan perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan ketimpangan sistem pangan. familyfarming.org
Ketua JAMTANI, Kustiwa, mengungkap bahwa petani kini dituntut untuk multitasking, menguasai teknologi, namun tetap dibiarkan dengan perlindungan dan dukungan yang minim. Ia menyoroti pembiaran limbah ternak dan pembakaran jerami yang berkontribusi besar pada emisi gas rumah kaca, yang kembali memukul petani dalam bentuk banjir, kekeringan, dan serangan hama. Menurutnya, solusi harus dibangun di atas empat pilar: mitigasi, adaptasi, advokasi, dan penguatan kapasitas, termasuk melalui sekolah lapang dan climate business field school.
Agusdin Pulungan dari WAMTI menekankan bahwa ketahanan iklim harus dimulai dari akar yang kuat, yakni perlindungan varietas lokal. Baginya, ketahanan iklim bukan hanya soal bertahan hidup, tetapi juga tentang kedaulatan. Ia mengusulkan perlindungan varietas lokal berbasis komunitas, pemberian insentif bagi praktik agroekologi, serta penguatan pasar lokal agar petani tidak terjebak dalam rantai pasok yang merugikan.
Gus Din dari API memaparkan bahwa pertanian rendah karbon menjadi jalan keluar untuk menjaga hasil panen sekaligus mengurangi emisi. Dengan teknik tanam jajar legowo, pemanfaatan biomassa, dan pengurangan pupuk kimia, 35 kelompok tani binaannya berhasil meningkatkan produktivitas. Ia menegaskan bahwa perubahan membutuhkan pendampingan, karena sebagian petani masih ragu untuk mengadopsi pola tanam baru yang memerlukan tenaga kerja tambahan dan adaptasi panjang.
Dukungan kebijakan juga menjadi sorotan. Mulkam dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Kemenkeu memaparkan peluang pembiayaan proyek lingkungan, sementara Nugroho Setijo dari Kementerian Desa menekankan peran dana desa dan BUMDes sebagai mesin ketahanan pangan. “Dana desa dan BUMDes adalah instrumen publik yang bisa memutus ketergantungan petani pada tengkulak,” tegasnya, seraya menekankan pentingnya sinergi lintas sektor untuk menggantikan pendekatan parsial.
Gunawan, Penasihat Senior Institute for Humanity and Community Studies (IHCS) yang dikenal aktif dalam advokasi hak-hak petani dan masyarakat adat, mengingatkan bahwa strategi keanekaragaman hayati nasional belum menempatkan petani dan nelayan sebagai subjek utama. Dengan pengalaman panjangnya dalam merumuskan kebijakan berbasis komunitas, ia menilai revisi kebijakan diperlukan agar posisi petani diakui secara formal dalam perencanaan pangan dan lingkungan. “Kalau petani tidak diakui dalam dokumen hukum, ruang hidup mereka akan makin terhimpit,” ujarnya.
Forum ini menghasilkan komitmen bersama untuk memperkuat peran petani dalam kebijakan pangan dan lingkungan, termasuk rencana challenge fund, penyusunan impact story, studi kasus, serta alokasi anggaran untuk penguatan kapasitas organisasi. Meski diskusi berakhir di ruang rapat, gema pertemuan ini kembali ke lahan sawah. Sebagaimana diingatkan Kustiwa, “Kebijakan yang tidak menyentuh tanah, tak akan berakar di hati petani.” Pesan ini menjadi simpul akhir: masa depan pangan dan iklim Indonesia hanya dapat dibangun jika petani berada di pusat kebijakan dan tindakan nyata.https://api.or.id/