Selasa, 01 Februari 2011
JAKARTA Memperkuat pemberdayaan petani di Tanah Air dinilai sebagai langkah efektif untuk mengatasi krisis pangan yang mengancam Indonesia ketimbang penundaan dan pembebasan bea masuk (BM) impor untuk 57 pos tarif. Selain itu, proses alih teknologi dan subsidi yang efektif di sektor pertanian perlu diterapkan. Berdayakan petani lokal dengan cara membangun sentra-sentra produksi pertanian di tiap daerah.
Selain itu, mendorong petani lokal untuk menggunakan teknologi yang jauh lebih efektif dan efisien. Saya kira itu sangat efektif untuk jangka panjang, sebab tidak mungkin kita mengandalkan impor pangan terus, ujar pengamat ekonomi dari UGM, Sri Adiningsih, ketika dihubungi, Selasa (1/2). Terkait upaya pemberdayaan petani, anggaran Kementerian Pertanian (Kementan) dalam APBN 2011 meningkat 88,8 persen mencapai 16,8 triliun rupiah. Sekitar 54 persennya dialokasikan untuk program pemberdayaan petani dan masyarakat perdesaan.
Kegiatan prioritas Kementan 2011 yang terkait dengan pemberdayaan petani dan masyarakat perdesaan antara lain program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA). Untuk melaksanakan program tersebut, Kementan melibatkan masyarakat melalui kelembagaan pondok pesantren. Adiningsih mengemukakan hal itu menanggapi kebijakan pemerintah tentang bea masuk (BM) impor pangan. Seperti diberitakan, Kementerian Keuangan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 13/PMK 011/2011 yang membebaskan atau menurunkan bea masuk (BM) impor sejumlah produk pangan.
PMK ini seluruhnya dilakukan untuk 57 pos tarif. Namun, kebijakan ini mengakibatkan negara kehilangan pendapatan (potential loss) hingga 1,2 triliun rupiah. Peraturan baru ini diterbitkan dalam rangka menjaga kestabilan harga pangan sebagai penyumbang infl asi terbesar di Indonesia. Menurut anggota Komisi VI DPR Sukur Nababan, penundaan dan pembebasan BM impor bahan pangan, seperti beras, gandum, kedelai, bahan pakan ternak, serta pupuk, selama setahun ini menunjukkan orientasi kebijakan pemerintah yang hanya berjangka pendek. Kebijakan itu juga membuka peluang bagi importir untuk berspekulasi mempermainkan harga dan menimbun persediaan.
Padahal, BM yang menjadi salah satu sumber penerimaan negara itu bisa disalurkan sebagai subsidi kepada petani agar produktivitas dan taraf hidupnya meningkat. Adiningsih berpendapat potensi kehilangan pendapatan dari BM sebesar 1,2 triliun rupiah itu termasuk sangat besar. Itu, imbuh dia, sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk merevitalisasi petani, terutama petani produk pangan yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia. Saya kira, akan sangat baik sekali kalau ini diberikan ke petani. Petani akan terbantu sehingga tidak perlu lagi impor bahan pangan, imbuh dia.
Adiningsih juga menilai pembebasan BM tidak efektif meredam inflasi. Buktinya, inflasi Januari 2011 tetap tinggi, mencapai 0,89 persen. Ia menilai Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, dan Singapura dalam mengendalikan harga. Padahal, karakteristik ekonomi ketiga negara tidak jauh berbeda. Langkah Fatal Peneliti dari Serikat Petani Indonesia (SPI), Ahmad Yaqub, mengatakan berbagai potensi devisa akan hilang akibat pembebasan BM impor pangan, terutama gandum, kedelai, dan beras. Kebijakan itu merupakan langkah fatal yang diambil pemerintah dalam menyikapi kenaikan harga komoditas pangan.
Menurut Ahmad, bukan tidak mungkin kegagalan pembangunan pertanian era 1980-an terulang lagi. JHanya berhasil dalam jangka pendek namun alami kemunduran dalam jangka panjang, katanya. Oleh sebab itu, imbuh dia, ke depan, ada banyak aspek yang harus mulai diperhatikan pemerintah, antara lain soal pertanahan, produksi pertanian, distribusi hasil pertanian, dan aspek kelembagaan pertanian. Selain itu, pemerintah harus bisa memastikan penguasaan lahan-lahan pertanian sepenuhnya tidak dimiliki perusahaan asing.(lex/ind/WP)
(Sumber :http://koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=74391)