Dampak dari globalisasi dunia termasuk di dalamnya pasar bebas menyebabkan petani berada pada posisi tawar yang lemah dan menyebabkan berbagai kerentanan di berbagai bidang, dan paling utama kerentanan yang disebabkan oleh faktor ekonomi politik akibat kebijakan pembangunan pedesaan yang menguntungkan perusahaan-perusahaan pertanian (agrobisnis) . Kerentanan yang disebabkan oleh sesuatu yang tidak dapat dikontrol termasuk berakibat rendahnya pendapatan, terbatasnya informasi dan kurangnya akses terhadap teknologi tepat guna.
Selama ini, program pemerintah di sektor pertanian termasuk didalamnya subsektor peternakan, memiliki tujuan dalam peningkatan produksi, namun sayangnya, hal ini tidak di ikuti dengan kebijakan pengelolaan pasca panen sampai dengan pemasaran (daur mata rantaiproduksi–produksi-distribusi-konsumsi), sehingga pada perkembangan proses tersebut dapat di tebak kemudian, pada waktu terjadi panen raya persediaan barang melimpah dan di ikuti dengan harga yang rendah. Pada giliranya, terjadi kontradiksi pada tingkat kesejahteraan rumah tangga petani, dimana petani yang semula ingin meningkatkan pendapatan, tetapi kerugianlah yang di dapatkan.
Begitu pula yang berkaitan dengan buah, salah satunya adalah buah mangga. Pada waktu panen raya harganya anjlok dan murah sehingga pendapatan petani pun juga rendah. Sedangkan pada waktu-waktu tertentu kekurangan buah sangat dirasakan. Bahkan, untuk menutup kekurangan persediaan buah, pemerintah tak segan mengambil jalan pintas yaitu dengan cara mengimpor, sebagai konsekuensi dari perdagangan bebas kawasan ASEAN (FTA’s ASEAN) dimana Indonesia menyetujui untuk mempercapat penurunan tarif 5 – 20 % atau 0-5% dalam skema prefensial tarif (CEPT) untuk 15 komoditas pertanian (produk pertanian bahan mentah dan produk setengah jadi). Sebagai negara pertanian dimana petani kita selaku produsen dan konsumen tentunya sangat berdampak pada tingkat kesejahteraan rumah tangga petani jika kebijakan impor buah-buahan dari negara ASEAN membanjiri pasar domestik Indonesia. Lagi-lagi keuntungan hanya dimiliki oleh konsumen yang membeli dengan harga murah dan perusahaan bisnis pertanian karena penurunan tarif tersebut.
Dengan latar belakang tersebut, beberapa waktu lalu, tanggal 25-28 Oktober 2007, di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, API bekerjasama dengan VECO Indonesia, dimana Asosiasi Petani Situbondo, salah satu serikat petani anggota API Region Jatim, menyelenggarakan pelatihan pengolahan mangga sebagai salah satu bentuk inisiatif untuk mendongkrak keberdayaan petani di tengah persoalan pelik yang melingkupinya selama ini.
ANTUSIAS
Kegiatan pelatihan diikuti sekitar 70 orang dan terbilang sukses secara implementatif. Hal ini tampak dari antusiasnya peserta yang sebagian besar di dominasi oleh kalangan ibu-ibu dan remaja putri.
Target kita sebenarnya cuma 10-15 orang peserta, tapi ternyata membengkak sampai lebih dari 30 orang, kata Ibu Sumartini, ketua APSI yang juga merangkap sebagai Koordinator Acara.
Sebagimana di ungkapkan oleh Sumartini, sejumlah yang di temui tim Seknas API juga menyatakan kegembiraannya dengan pelatihan tersebut. Salah satunya adalah Sumiati, peserta dari organisasi Asosiasi Petani Probolinggo (Aspek Pro) asal Probolinggo. Dia mengaku telah mendapatkan manfaat pengetahuan yang sangat besar.
Tidak hanya teori, tapi kami dibimbing melalui praktek langsung yang nyata sehingga hasilnyapun dapat dilihat, sayang waktunya sangat terbatas, katanya.
TIGA BELAS KABUPATEN
Kegiatan yang dilangsungkan selama tiga hari berturut-turut, yakni dari tanggal 25 sampai 28 Oktober 2007 lalu di komplek Balai Desa Kapongan Kecamatan Kapongan, Kab. Situbondo tersebut, selain diikuti peserta dari masyarakat setempat, juga melibatkan sejumlah petani dari 13 kabupaten di Jawa Timur. Beberapa diantaranya Probolinggo, Malang, Batu, Jombang, Banyuwangi, Lumajang, Ngawi, Kediri dan Tulungagung.
“Perwakilan dari masing-masing serikat petani tingkat Kabupaten ini anggota API Region Jawa Timur. Disamping tujuan pendidikan teknologi pengolahan buah mangga, kegiatan ini sebenarnya juga dimaksudkan sebagai ruang konsolidasi tingkat lanjut dari API Jatim untuk mengukur sejauh mana kerja-kerja organisasi yang telah dilakukan oleh kawan-kawan pasca pertemuan Banjarnegara”, demikian papar Mudzakkir, Koordinator API region Jawa Timur.
“Kita perlu mengevaluasi kembali sistem pertanian berkelanjutan yang sudah digagas dan di jalankan mengikuti karakteristik topografi ( dataran tinggi, dataran rendah lahan basah dan dataran rendah lahan kering serta daerah pesisir utara) sebagai dasar pijakan untuk menyusun kebutuhan dan capaian ke depan…”, lanjutnya dengan aksen Madura yang kental.
Sementara itu, Sekjend API, Nuruddien, yang dihubungi beberapa saat selepas memberi “tausyiah” pada malam ketiga, menandaskan harapannya pada manfaat penyelenggaraan kegiatan tersebut. Namun demikian, dia juga sedikit menyayangkan beberapa hal, khususnya menyangkut kepesertaan tingkat lokal.
“Saya kurang melihat geliat yang tampak menguat pada APSI sendiri. peserta lokal justru sebagian besar tampaknya berasal dari ibu-ibu non petani riil yang terkoordinasi dalam kelembagaan APSI, jadi sifatnya masih cair”, katanya.
Kekecewaan yang ditunjukkan pihak Seknas memang beralasan. hal ini dikarenakan salah satu tujuan utama kegiatan tersebut tidak lain adalah untuk mengkonsolidasikan basis petani.
“Artinya, kegiatan ini juga bermaksud mendorong penguatan di tingkat petani sendiri, baik dalam hal ketrampilan pertanian dalam aras produksi-distribusi dan konsumsi maupun basis organisasionalnya. Jadi tidak semata mata bersifat eventuatif-teknis an sich. API bukan event organizer”, tambahnya.
PERTANIAN BERKELANJUTAN
Sebagaimana judulnya, Konsolidasi API Region Jatim dan Pelatihan Pengolahan Mangga ini terbagi dalam dua sub kegiatan, pertama, rapat konsolidasi dengan agenda utama evaluasi implementasi pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) seperti telah diamanatkan oleh pertemuan di Banjarnegara pada bulan Mei 2007 sebagai landasan pencetusan ancangan riil ke depan serta menetapkan tujuan, sasaran dan capaian bagi organisasi petani di berbagai level. Kedua, Pelatihan Pengolahan Mangga dengan sasaran kegiatan sebagai ruang identifikasi pengetahuan lokal menyangkut mata rantai pengelolaan buah mangga, terutama di sentra sentra produksi (seperti Situbondo, Probolinggo atau Indramayu), pengelolaan pasca panen, kualitas kontrol, distribusi hingga konsumsi.
Selain itu, melalui kegiatan serupa akan dapat dibuat pula sebuah pedoman teknis pengolahan yang selanjutnya dapat dipergunakan untuk membantu proses ‘pelembagaan’ pengetahuan petani. Dan untuk jangka panjang, dapat dibangun sebuah badan ekonomi di tingkat organisasi tani sebagai upaya ‘penanggulangan’ atau proteksi akses bagi kepentingan ekonomi petani dalam menyikapi situasi pasar. Dengan instalasi ini pula diharapkan dapat mengidentifikasi pola sistem budidaya tanaman dan diintegrasikan dengan kegiatan organisasi tani (program kegiatan pertanian berkelanjutan).
“Ini seperti dua sisi pada satu keping mata uang. antara rapat konsolidasi dan pelatihan harus saling berkaitan, gak oleh mlaku dewe dewe (tidak boleh jalan sendiri sendiri. Red)”, kata Gusdin – panggilan akrab Nuruddien – menegaskan.
25 Oktober pagi acara di buka dengan seminar bertajuk Penguatan Ekonomi Rumah Tangga Petani dalam mendukung Desa Mandiri Pangan” sebagai bentuk perayaan Hari Pangan Sedunia (HPS) yang jatuh pada tanggal 16 Oktober. Nara sumber seminar dari Dinas Pertanian, Deperindag dan BPMP Kab. Situbondo. kegiatan seminar juga diikuti dari perwakilan dinas dinas terkait, tokoh masyarakat, pemuka agama dan pers. Sementara perwakilan DPRD datang menyusul kemudian. Selanjutnya acara diteruskan dengan praktek pengolahan mangga secara maraton mulai pagi hingga sore hari secara berturut turut di bawah bimbingan materi Setyawan dan Erick dari Yayasan Gita Pertiwi Solo, Jawa Tengah.
KONSOLIDASI ALOT
Model pelatihan yang dikemas workshop partisipatif berlangsung fresh dan antusias. Sementara acara rapat Konsolidasi yang digelar pada petang harinya berlangsung cukup ketat. Tarik menarik mengenai ukuran capaian konsolidasi, apakah akan berfungsi untuk merumuskan program program baru API Jatim ataukah sekedar evaluasi dan monitoring atas hasil Banjarnegara, memberi porsi cukup panjang dalam perdebatan hari pertama. Selain itu, beberapa serikat petani sempat juga mempertanyakan tentang ‘status’ keanggotaannya dalam tubuh API Jatim.
Menjawab persoalan tersebut, Anang, dari SPKL Lamongan yang malam itu duduk sebagai Sekretaris Sidang, angkat bicara,
“Untuk serikat petani yang sejauh ini belum masuk akan segera diusulkan pada RAPIM API yang akan digelar bulan Desember mendatang. Hal ini penting untuk mendukung keakuratan data keanggotaan dan disiplin organisasi”.
Sebagai sarana pijakan rapat rapat yang dilangsungkan berikutnya, baik sidang komisi maupun pleno, kesempatan tersebut juga mempertimbangkan pandangan dan sharing perkembangan masing masing serikat petani. Sayangnya, presentasi yang disampaikan oleh setiap perwakilan serikat tersebut tidak dilengkapi konsepsi pandangan yang rapih dengan penjelasan rinci dan sistematis. Keterangan sebagian besar berbentuk lisan dan mengalir tanpa batasan yang tegas. Akibatnya, perangkat persidangan cukup kerepotan untuk mentabulasi pointer pointer yang dipaparkan masing masing serikat, yang meliputi gambaran umum, identifikasi kelemahan, kekuatan, peluang serta kesulitan kesulitan yang sedang dihadapi.[dzi]