Refleksi Perjuangan Petani Padi: Membangun Kemandirian dalam Produksi, Memperkuat Daulat Pangan Negeri
Melekat pada status beras sebagai komoditas strategis/politis, beras merupakan komoditas yang penuh dengan konflik kepentingan antar kelompok stakeholdernya. Pertama, kepentingan petani yang mengharapkan harga saprotan rendah dan harga gabah tinggi, bertolak belakang dengan kepentingan konsumen yang menginginkan beras bermutu dengan harga rendah. Kedua, kepentingan pengusaha atau pedagang yang mengharapkan harga beli gabah/beras rendah, dapat ijin impor dan menginginkan laba margin yang tinggi, berkonflik dengan kepentingan pemerintah yang ingin mendorong swasembada beras, dan dapat mengendalikan impor beras, serta menaikan kesejahteraan petani, juga melindungikepentingan konsumen.
Konflik yang penuh kepentingan ini sebetulnya menunjukan bahwa sesungguhnya beras merupakan komoditas strategis, primadona dan utama dalam sisi politik dan ekonomi. Melihat fakta ini, maka tidak berlebihan apabila terdapat bahwa beras adalah kekuasaan.
Sebagai komoditas pangan strategis, beras sesungguhnya mempunyai prospek pengembangan cukup menjanjikan terutama untuk mengisi pasar domestik, mengingat bahwa jumlah petani padi dan total luas lahan padi di Indonesia masih cukup besar, data BPS menunjukan bahwa jumlah luas lahan panen padi sampai dengan tahun 2015 masih sekitar 14.116.638 hektar, dengan total petani padi sampai dengan tahun 2013, sebesar 14,1 juta orang. Masih cukup besarnya potensi lahan dan sumber daya petani padi sesungguhnya dapat menjadikan Indonesia sebagai negara yang mampu swasembada beras dan juga berpeluang untuk mengisi pasar ekspor ASEAN. Terlebih terkait dengan pasar terbuka ASEAN di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang tentu sangat akan berdampak pada berubahnya struktur mata rantai pasar beras nasional. Selain perubahan struktur mata rantai, era MEA juga dapat memberikan peluang yang mungkin jauh lebih luas, selain tentu tantangan yang dihadapi oleh petani dan pelaku perdagangan beras dalam negeri yang juga akan semakin besar. Dan Indonesia saat ini masih merupakan pasar potensial yang menjadi target utama pasar bagi negara-negara kawasan ASEAN. Dari sini kemudian muncul pertanyaan bagi kita semua, bagaimana kita mampu meningkatkan daya saing produk pertanian khususnya beras dalam menghadapi pasar tunggal ASEAN pada khususnya dan dalam menghadapi kompetisi global pada umumnya.
Kesiapan Indonesia dalam menghadapi pasar tunggal ASEAN sebetulnya relatif masih cukup minim, hal ini terlihat dari masih banyak persoalan yang dihadapi oleh petani padi Indonesia dalam tata produksinya yang berkenaan pula dengan kebijakan perberasan nasional. Secara umum saat ini petani padi di Indonesia masih tertinggal dalam hal teknologi baik terkait persiapan tanam, masa tanam dan saat panen serta paska panen (saprodi sampai dengan alsintan), hal mana sangat berbanding terbalik jika dibandingkan beberapa negara lain seperti Thailand dan Vietnam, misalnya dalam hal teknologi pemanenan, perontokan, pengeringan dan penggilingan mereka yang sudah cukup jauh meninggalkan Indonesia.
Berdasarkan fakta tersebut maka pada tahun 2014 Aliansi Petani Indonesia (API) menginisiasi berdirinya sebuah organisasi tani berbasis komoditas padi. Organisasi yang diberi nama Amartapadi (Asosiasi Masyarakat Tani Padi Indonesia) itu dideklarasikan di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah dan telah secara legal terdaftar di Kemenkumham. Hingga tahun 2016 Amartapadi memiliki 25 organisasi anggota yang tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Melalui organisasi ini diharapkan terjadinya proses penguatan sektor perberasan melalui berbagai upaya advokasi kebijakan secara terfokus dan kontinyu menyangkut komoditas padi dan beras, selain usaha-usaha penataan produksi dan perbaikan mutu, baik di level petani maupun penggilingan. Melalui usaha-usaha tersebut diharapkan pula terjadi dinamisasi sektor perberasan yang berujung pula pada perbaikan harga dan kesejahteraan bagi petani padi.
Untuk meninjau dan mendiskusikan berbagai tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan organisasi berbasis komoditas padi tersebut selanjutnya direfleksikan dalam sebuah Rapat Pimpinan Amartapadi yang digelar di Salatiga pada 26-27 Desember 2016 setelah tiga tahun organisasi tersebut berjalan. Acara yang mengambil tema “Refleksi Perjuangan Petani Padi: Membangun Kemandirian dalam Produksi, Memperkuat Kedaulatan Pangan Negeri” tersebut dihadiri oleh pengurus Amartapadi dan Seknas Aliansi Petani Indonesia. Selain melakukan kilas balik dan review berbagai kegiatan yang telah diselenggarakan, acara tersebut juga diisi dengan diskusi terfokus terkait skema pengembangan penggilingan berbasis kewilyahan yang rencananya akan menjadi salah satu strategi Amartapadi di tahun berikutnya. Acara yang dimoderatori oleh pengurus API Jawa Tengah itu menghadirkan Ketua Komisi B DPRD Jawa Tengah selaku narasumber serta pengurus Sekretariat nasional API. Dalam kesempatan tersebut sejumlah petani yang sekaligus pengurus Amartapadi secara antusias mendiskusikan berbagai persoalan yang mereka hadapi dalam baik proses produksi, pemasaran maupun kebijakan-kebijakan sektor pertanian. Chamim Afifi, ketua Koomisi B DPRD Jateng menyambut baik berbagai usaha yang dilakukan API dan Amartapadi, seperti rencana mengimplementasikan penggilingan berbasis wilayah. Sebagaimana direncanakan sebelumnya, kedepan API-Amartapadi telah bersepakat untuk menyelenggarakan sebuah piloting skema penggilingan berbasis kewilyahan di basis-basis anggota Amartapadi di tiga wilayah di Jawa. Rencana piloting tersebut juga telah dikoordinasikan dengan Persatuan Pengusaha penggilingan Padi (Perpadi) yang akan terlibat selaku mitra, selain juga bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat. Disampaikan pula dalam kesempatan itu, bahwa DPRD Jateng bersedia menfasilitasi pertemuan dengan berbagai pihak yang sedianya akan terlibat atau berkaitan dengan rencana kerja Amartapadi tersebut, khususnya untuk wilayah Jawa tengah.
Selain diskusi tematik menyangkut perberasan acara tersebut juga mengagendakan sebuah refleksi dan evaluasi atas keberlangsungan Amartapadi sebagai organisasi berlevel nasional dengan berbagai kegiatan yang telah dijalankan. Mengemuka dalam evaluasi tersebut persoalan komunikasi dan kelembagaan kepengurusan yang masih lemah, selain berbagai kegiatan yang masih dianggap belum secara kuat memiliki ruh arus bawah (buttom up) dalam usaha menghidupkan organisasi. Padahal secara sumberdaya Amartapadi dan juga API memiliki potensi yang cukup kuat, baik terkait teknik-teknik budidaya, jaringan maupun pasar. Karenanya memperkuat spirit kerja organisasi yang berbasis kebutuhan petani atas organisasi menjadi pekerjaan rumah yang dirasa sangat mendesak.
Rapimnas yang merupakan agenda tahunan Amartapadi tersebut ditutup dengan agenda rencana tindak lanjut yang menampung berbagai usulan tentang penguatan kelembagaan di tingkat daerah, terkait iuran anggota dan kemungkinan ditetapkannya beberapa input pertanian seperti pupuk dan benih yang diproduksi sendiri oleh Amartapadi dan dikelola sebagai salah satu sumber pendanaan organisasi, selain terus dikembangkannya sekolah-sekolah lapang bagi petani anggota Amartapadi [lodzi]