Metrotvnews.com, Jakarta: Lisa prihatin. Bayangan kemakmuran sebuah negara agraris yang ada di kepalanya, kenyataannya jauh panggang dari api. Petani kepayahan menggapai sentosa. Sementara penduduk dihantui lonjakan harga pangan.
Penasaran mencagun dalam hati. Dara muda pemilik nama lengkap Lisa Ayu Wulandari itu akhirnya menemukan perkaranya. Tengkulak telah menjerat.
Ini fakta tataniaga pangan di Indonesia. Para tengkulak alias penebas bersindikat menciptakan harga beli yang rendah di tepi sawah. Pada sisi lain merancang harga jual nan tinggi di tengah kota. Praktik inilah yang umum disebut dengan kartel.
Bersama dua orang kawan, Walesa Danto dan Arif Setiawan, Lisa melawan. Sebuah gagasan mencuat. Teknologi dijadikan senjata.
Kegagalan pasar dijawab dengan sebuah aplikasi jual-beli di dunia maya, Limakilo.id. Melalui aplikasi ini, konsumen bisa membeli komoditas pangan secara langsung ke petaninya. Jalur distribusi melalui para tengkulak nakal pun terputus.
Dari pengamatan Lisa, saat ini saja, khusus komoditas strategis seperti bawang merah dan cabai, margin atau selisih keuntungan para ‘pemain tengah’ bisa mencapai 60% dari harga belinya di petani.
Bila konsumen bisa membelinya langsung dari petani, margin itu bisa dialihkan untuk keuntungan petani. Konsumen pun bisa menikmati harga yang lebih murah.
“Kita geser 15 persen ke petani, dan 15 persen ke konsumen. Artinya, harga di konsumen lebih rendah 15 persen dibanding harga di pasar,” ucap Lisa kepada Metro TV, Kamis (15/12/2016).
Limakilo.id sendiri merupakan pemenang lomba inovasi kreatif berbasis daring yang digelar Kantor Staf Presiden pada 2015 silam. Presiden Joko Widodo terpincut gagasan ini. Kementerian terkait pun langsung diperintahkan mendampingi limakilo.id.
Tak semudah menggapai kemenangan dalam lomba. Lisa mengakui, mengajak petani untuk melek internet jauh lebih menantang, apalagi mengoperasikannya. Pasalnya, konsep ini membutuhkan peran aktif petani untuk merespon pesanan sekaligus pengemasan dan pengirimannya.
Perlahan tapi pasti, usaha Lisa dan kawan-kawan berhasil. “Awalnya, mengajak satu petani saja bisa tiga bulan. Saat ini yang bergabung sudah sekitar 47 petani. Kebanyakan dari Brebes dan Sleman,” ujarnya.
Limakilo.id juga dinilai sukses mengawal harga pangan pada Ramadan 2016. Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengakuinya.
“Seperti yang kita sudah lakukan pada operasi Pasar idul fitri bulan puasa lalu oleh limakilo.id itu untuk mengurangi mata rantai,” ujar Enggartiasto saat pemaparan dua tahun kerja Jokowi-JK, di Gedung Bina Graha, Kantor Sekretariat Negara, Jakarta, Senin (31/10/2016).
Melihat keberhasilan Limakilo.id, Enggartiasto mengatakan bahwa pihaknya akan membuat perdagangan online semakin masif di Indonesia.
Baca: E-commerce Perpendek Mata Rantai Sembako Mahal
Menguntungkan
Model penjualan langsung secara daring diakui menambah pendapatan petani. Keuntungan ini dirasakan Mohammad Suaedi, petani Cabai asal Perian, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Suaedi dan beberapa temannya menembus batas kebiasaan. Gawai dipelajari, internet diarungi, dan memutuskan menjadi pengguna aplikasi E-Tani.
E-Tani sendiri merupakan aplikasi jual-beli hasil tani besutan seorang pemuda Jakarta yang masih berusia 16 tahun, Davyn Christopher Sudirjo. Dengan penjualan langsung ke konsumen, kata Suaedi, keuntungannya meningkat Rp4.000 sampai Rp5.000 per kilogram.
“Kalau saya jual ke tengkulak harganya Rp33.000 per kilogram. Bila langsung (ke konsumen), bisa Rp37.000 bahkan Rp40.000,” ujar Suaedi kepada Metro TV, Kamis (15/12/2016).
Senada, petani lain pengguna E-Tani, Ekhsan Ahmad, mengatakan, penjualan langsung secara daring tak hanya menghindari petani dari tekanan harga rendah tengkulak. Namun, bisa membuka kesempatan untuk memperluas pemasaran.
“Ada kemudahan untuk menembus pasar luar daerah, kalau perlu Singapura, Brunei, bahkan kalau bisa masuk ke Jepang juga, mudah2an,” ujar Ekhsan.
Tantangan
Saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pembangunan Pertanian tahun 2017, Presiden Jokowi kembali menekankan soal pemangkasan rantai distribusi, salah satunya dengan pemanfaatan teknologi dan informasi (IT).
“Tanpa itu, jangan berharap ada efisiensi. Sehingga mata rantai di lapangan, pemasaran, yang sekarang dikuasai tengkulak-tengkulak, bisa dipendekkan,” ujar Jokowi, Kamis (5/1/2017).
Keinginan pemerintah untuk membumikan penjualan hasil tani secara daring tampaknya semakin serius. Saat ini saja paling tidak ada lima aplikasi jual-beli hasil tani yang diinisiasi pemerintah.
Meski terbukti dapat menekan harga, namun, Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Spudnik Sujono mengakui bahwa program ini cukup menantang baginya.
“Persoalannya apakah semua petani mampu?” tanya Sujono saat berbincang dengan metrotvnews.com di Kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Jumat (13/1/2017).
Sujono teringat, saat pemerintah mengenalkan kartu pintar (smartcard) untuk kebutuhan bibit, banyak petani yang kerepotan. Tidak paham penggunaannya. “Akhirnya balik ke manual. Ada yang kartunya hilang, sampai lupa nomor pin.”
Menurutnya, agar program ini sukses, pendidikan dan penyuluhan terkait kepada petani harus lebih gencar. Dan sudah tentu harus sabar. “Petani kita banyak yang sudah tua, dan agak susah kalau dikenalkan dengan teknologi,” katanya.
Bukan utama
Kepala Departemen Organisasi dan Pendidikan Aliansi Petani Indonesia (API), Nurhadi, turut menyoroti penggalakan pemasaran hasil tani secara daring ini.
Menurutnya, bila pemerintah menjadikannya kebijakan prioritas dalam penyelesaian masalah tengkulak, itu terlalu muluk.
“Petani itu produsen. Fokusnya pada tata produksi. Di itu saja masih banyak persoalan yang dihadapi. Mulai dari teknik budidaya hingga penanganan pascapanen.” ucap Nurhadi saat dihubungi metrotvnews.com, Jumat (13/1/2017).
Banyak petani yang akan kesulitan dalam mengoperasikan pemasaran daring. Akhirnya, mereka akan membutuhkan keterlibatan dari pihak lain.
Bila model pemasaran daring melalui tangan kedua ini sudah menjadi moda, kata Nurhadi, ada kekhawatiran baru. “Itu bisa menjadi, dalam tanda kutip, cara baru bagi ‘midle man’.”
Meski demikian, Nurhadi tetap mengapresiasi kelompok-kelompok pemuda yang dinilainya idealis. Menjual produk petani melalui perngorganisiran, perbaikan mutu, standarisasi, sesuai kemauan pasar. Teknologinya pun disediakan.
“Tapi kalau (petani) disuruh melakukannya sendiri, saya kira itu agak ngoyoworo, muluk,” ucapnya.
Yang lebih masuk akal, kata Nurhadi, adalah model pemasaran inklusif. Perusahaan atau pasar membeli langsung dari petani. Seperti supermarket, minimarket, pasar, memiliki kontrak langsung dengan petani. “Ini sebenarnya sedang booming.”
Diakui, model pemasaran ini juga bisa memangkas distribusi panjang yang menjadi permainan para tengkulak. “Kebijakan semacam inilah yang bisa diprioritaskan pemerintah,” kata Nurhadi.
Sementara itu, sambungnya, penjualan daring melalui aplikasi tetap dibina. “Itu diperlukan sebagai pasar alternatif. Bukan utama.”
SUMBER:http://telusur.metrotvnews.com/news-telusur/PNgg87LN-memutus-jalan-panjang-distribusi-pangan
(ADM)
Coki Lubis • 16 Januari 2017 15:13 WIB