Editor: Robert Adhi Kusumaputra
Kamis, 17 Februari 2011 | 21:47 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com – Potensi hilangnya investasi yang membutuhkan kawasan hutan untuk kegiatan kehutanan dan nonkehutanan diperkirakan mencapai Rp29 triliun per tahun pasca-kesepakatan LoI Indonesia – Norwegia.
Kalau implementasi moratorium diterapkan sebagai bagian dari upaya penurunan emisi 26 persen sampai 10 tahun ke depan, kata Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Hadi Daryanto, di Jakarta, kemarin, maka kehutanan akan kehilangan potensi dari investasi kegiatan HTI, kebun (sawit), biomassa, dan tambang yang membutuhkan kawasan hutan seluas 14 juta hektare.
Dia mencatat kebutuhan kawasan hutan setiap tahunnya untuk HTI 500 ribu hektar dengan investasi Rp15 juta per hektare, sawit 300 ribu hektare dengan investasi Rp35 juta per hektare, biomass 200 ribu hektar dengan investasi Rp10 juta per hektare dan kebutuhan tambang 400 ribu hektarE dengan investasi paling kecil Rp20 juta per hektare.
Dikatakannya, potensi investasi yang hilang dari HTI Rp7,5 triliun, sawit Rp10,5 triliun, biomass Rp3 triliun, dan tambang Rp 8 triliun. Kondisi itu juga menyebabkan hilangnya kesempatan kerja langsung untuk 700.000 orang.
Sementara itu sebelumnya Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi meminta pemerintah lebih mendahulukan kepentingan nasional ketimbang menuruti desakan asing agar Indonesia menerapkan moratorium untuk semua jenis hutan.
“Pengentasan kemiskinan dan pengangguran semestinya diprioritaskan. Untuk apa sih cari nama di dunia internasional kalau rakyat untuk makan saja susah,” katanya menanggapi desakan sejumlah pihak yang meminta Pemerintah segera menerapkan moratorium seluruh jenis hutan.
Ia mengatakan, mengentaskan kemiskinan dan pengangguran seharusnya nomor satu.
Sofyan juga menyesalkan sejumlah LSM asing yang kerap menekan pemerintah Indonesia. “Lebih baik LSM asing itu teriak di negaranya saja, jangan di Indonesia,” tegasnya.
Seperti diketahui, sesuai kesepakatan Oslo tahun lalu, sejatinya moratorium hutan hanya berlaku pada kawasan hutan primer dan lahan gambut saja, dan efektif dimulai awal tahun ini.
Namun belakangan, negara luar lewat LSM asing berusaha menekan pemerintah melaksanakan moratorium untuk semua jenis kawasan hutan, seperti hutan sekunder dan area penggunaan lainnya.
Sofyan mengatakan kalaupun moratorium diterapkan, sebaiknya ada kebijakan yang jelas, mengatur kawasan hutan mana yang boleh diusahai, dan mana yang dilarang.
Hal ini penting agar jangan ditafsirkan sendiri-sendiri. Paling penting, moratorium harus menjamin perusahaan-perusahaan yang sudah dapat izin sebelumnya.Selain itu, Sofyan mendesak, jangka waktu penerapan moratorium harus memiliki kepastian tenggat waktu.
(http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/02/17/21470122/Moratorium.Hilangkan.Potensi.Investasi)