Pada hari Jumat, 20 Juni 2025, sebuah pertemuan penting digelar di Balai Desa Kepatihan, Kecamatan Tirtoyudo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Acara ini dihadiri oleh sedikitnya 60 orang, diantaranya Kepala Desa Kepatihan, Samsuliadi, serta perwakilan petani dari berbagai organisasi tani lokal dari Desa Kepatihan, Desa Bumirejo, Desa Tirtoyudo, Desa Tlogosari, Desa Simojayan, dan Desa Baturetno. Pertemuan ini merupakan bagian dari rangkaian tindak lanjut proses pemetaan partisipatif yang telah selesai dilakukan oleh Serikat Petani Kalibakar (SIKAB), sekaligus menindaklanjuti hasil audiensi dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan DPRD Kabupaten Malang pada awal tahun ini. Kegiatan ini menjadi langkah strategis dalam upaya penyelesaian konflik agraria ditanah negara eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN XII Kalibakar, yang memiliki luas total 2.050 hektar.
Latar Belakang dan Signifikansi Pertemuan
Pertemuan ini memiliki makna penting dalam konteks reforma agraria di Indonesia, khususnya di wilayah Kabupaten Malang. Tanah negara eks HGU PTPN XII Kalibakar, yang mencakup tiga kecamatan—yaitu Kecamatan Tirtoyudo (Desa Kepatihan, Tirtoyudo, dan Tlogosari), Kecamatan Dampit (Desa Bumirejo), dan Kecamatan Ampelgading (Desa Simojayan)—telah diusahakan dan dimanfaatkan oleh petani penggarap selama 25 tahun lebih atau sejak 1997. Saat ini, sekitar 99% atau 2.040 hektar dari lahan tersebut telah dimanfaatkan secara produktif oleh anggota SIKAB digunakan untuk lahan pertanian, tempat ibadah, fasilitas pendidikan, permukiman, serta fasilitas umum dan fasilitas sosial lainnya.
Pemanfaatan dan penggunaan lahan ini mencerminkan komitmen petani untuk mengelola tanah secara berkelanjutan dan mendukung kebutuhan dasar rumah tangga petani. Namun, status kepemilikan tanah yang masih menjadi tanah negara eks HGU PTPN XII Kalibakar menimbulkan tantangan hukum administratif yang memerlukan kemauan kebijakan politik yang sangat kuat dari pemerintah dengan penyelesaian konflik agraria melalui mekanisme redistribusi tanah (reforma agraria). Pertemuan ini menjadi langkah lanjutan dari proses pemetaan partisipatif yang telah dilakukan SIKAB, bertujuan melaukan pendataan subjek (petani penggarap) dan objek (lahan yang telah kuasai dan dikelola) kemudian diusulkan dalam penyelesaian konflik agraria dan pengakuan hak atas tanah dalam bentuk Sertipikat Hak Milik (SHM). Selain itu, untuk menguatkan komitmen bersama dengan Pemkab Malang dan DPRD Kab. Malang beberapa waktu yang lalu, dalam proses usulan penyelesaian konflik tersebut, dan sepenuhnya tanah eks HGU PTPN XII untuk diredistribusikan kepada petani penggarap.
Konteks Reforma Agraria dan Regulasi Pendukung
Penyelesaian konflik agraria ditanah negara eks HGU PTPN XII Kalibakar merupakan bagian dari agenda reforma agraria nasional, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 dan diperkuat oleh Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria. Perpres ini, khususnya pada Paragraf 4, memberikan landasan hukum bagi redistribusi tanah kepada petani penggarap sebagai solusi konflik agraria yang melibatkan aset BUMN. Dalam kerangka ini, SIKAB mengusung visi pengakuan hak petani penggarap melalui redistribusi tanah negara eks HGU tersebut, yang telah dikelola selama hampir tiga dekade.
Menurut Ubed Anom, perwakilan Aliansi Petani Indonesia (API) yang hadir dalam pertemuan ini, dinamika kebijakan reforma agraria ditingkat nasional menunjukkan komitmen pemerintah untuk mempercepat penyelesaian konflik agraria. Ia menegaskan bahwa perjuangan petani Kalibakar bukan sekadar soal kepemilikan tanah, tetapi juga tentang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. “Apa yang terjadi di Kalibakar ini sangat khas. Hampir 99% lahan telah dikelola secara produktif oleh petani, yang menunjukkan niat baik mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga petani”, ujar Ubed. Ia juga menyoroti bahwa pengelolaan lahan di Kalibakar berbeda dengan kasus yang melibatkan aset BUMN lain di Indonesia, dimana sebagian besar bahkan hampir keseluruhan tanah negara eks HGU PTPN XII Kalibakar telah dimanfaatkan dan diusahakan secara produktif oleh petani penggarap.
Peran Desa dan Organisasi Petani dalam Pelaksanaan Reforma Agraria
Kepala Desa Kepatihan, Samsuliadi, yang juga merupakan petani penggarap, menyampaikan komitmennya untuk memastikan proses pendataan berjalan sesuai regulasi. Dalam sambutannya, ia menegaskan, “Sebagai kepala desa sekaligus petani penggarap, saya ingin memastikan bahwa segala proses yang kita perjuangkan ini berpegang teguh pada ketentuan hukum atau regulasi yang berlaku. Kami di Desa Kepatihan berkomitmen untuk menjalankan pendataan subjek dan objek dengan baik yang bertujan sesuai kehendak petani, yaitu redistribusi tanah kepada penggarap tanpa ada ketimpangan penguasaan lahan diantara petani sesama anggota serikat.”
Pernyataan ini menunjukkan peran strategis pemerintah desa dalam mendukung reforma agraria. Desa Kepatihan, sebagai salah satu wilayah yang berada di pusat pengelolaan tanah eks HGU, berfungsi sebagai fasilitator dalam memastikan data yang dihasilkan dari pemetaan partisipatif akurat dan sesuai dengan kebutuhan petani. Komitmen ini sejalan dengan prinsip reforma agraria yang menekankan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya agraria.
Sebagaimana proses perjuangan yang telah dilakukan untuk pelaksanaan reforma agraria, peran organisasi petani sebagai subyek pengusul merupakan hal yang krusial. Faisol sebagai Ketua Organisasi Tani Lokal Desa Kepatihan menyatakan, bahwa “Sampai pada hari ini, lebih dari 25 tahun kami tetap memperjuangkan tanah yang kami kelola dengan tujuan redistribusi tanah kepada petani, bukan yang lain. Karena ini adalah berkaitan dengan kebutuhan dasar kami sebagai petani”, ungkap petani yang biasa dipanggil Abah Faisol.

Proses Pemetaan Partisipatif dan Tindak Lanjut
Pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh SIKAB merupakan langkah krusial dalam mendokumentasikan subjek (petani penggarap) dan objek (lahan yang dikelola) untuk keperluan reforma agraria. Proses ini melibatkan petani dari berbagai desa untuk memastikan bahwa data yang dihasilkan mencerminkan realitas di lapangan. Pertemuan pada 20 Juni 2025 ini menandai tahap tindak lanjut dari pemetaan tersebut, dengan fokus pada verifikasi dan klarifikasi peta ditingkat dusun di Desa Kepatihan.
Sebagai hasil dari pertemuan ini, disepakati bahwa proses verifikasi akan dilakukan secara menyeluruh di setiap dusun di Desa Kepatihan. Data hasil pemetaan partisipatif ini akan menjadi dasar untuk mengusulkan penyelesaian konflik agraria melalui redistribusi tanah kepada petani penggarap. Langkah ini diharapkan dapat mempercepat proses pengakuan hak petani atas lahan yang telah mereka kelola selama puluhan tahun. Petani yang tergabung dalam SIKAB mulai mengelola lahan ini untuk keperluan pertanian dan kehidupan sehari-hari, termasuk pembangunan fasilitas umum atau fasilitas sosial seperti tempat ibadah, sekolah, dan permukiman.
Pengelolaan lahan oleh petani Kalibakar telah menghasilkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Sekitar 2.040 hektar lahan telah dimanfaatkan secara produktif, menjadikan wilayah ini sebagai salah satu contoh sukses pengelolaan tanah oleh komunitas petani. Namun, tanpa kepastian hukum atas kepemilikan tanah, petani menghadapi risiko ketidakpastian yang dapat mengganggu keberlanjutan pengelolaan lahan tersebut.
Reforma Agraria sebagai Solusi Konflik Agraria
Konflik agraria, seperti yang terjadi di Kalibakar, merupakan salah satu tantangan utama dalam mewujudkan keadilan agraria di Indonesia. Menurut data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), ribuan kasus konflik agraria masih belum terselesaikan di seluruh Indonesia, yang sebagiannya melibatkan tanah negara yang dikuasai oleh korporasi atau dibiarkan terlantar. Dalam kasus Kalibakar, pengelolaan lahan oleh petani menunjukkan bahwa tanah tersebut telah dimanfaatkan secara produktif lebih dari 20 tahun, sehingga memenuhi syarat untuk dipertimbangkan dalam skema redistribusi tanah. Bahkan HGU PTPN XII Kalibakar telah berakhir sejak tahun 2013.
Perpres No. 62 Tahun 2023 menjadi landasan penting dalam mempercepat penyelesaian konflik agraria. Peraturan ini menekankan pentingnya pendataan yang akurat, partisipasi masyarakat, dan pengakuan hak petani penggarap sebagai bagian dari reforma agraria. Dalam konteks Kalibakar, SIKAB berupaya memastikan bahwa data yang dihasilkan dari pemetaan partisipatif dapat menjadi dasar hukum yang kuat untuk pengakuan hak petani.
Selain sebgai organisasi induk dari Serikat Petani Kalibakar (SIKAB), keberadaan API dalam pertemuan ini menunjukkan dukungan lintas organisasi terhadap perjuangan petani Kalibakar. Ubed Anom dari API menegaskan bahwa perjuangan petani Kalibakar sejalan dengan agenda nasional untuk memastikan keadilan agraria. Ia juga menyoroti pentingnya kolaborasi antara petani, pemerintah desa, dan pemangku kebijakan lainnya untuk mencapai solusi yang berkelanjutan.