Dalam rangka melangsungkan kehidupannya, setiap manusia membutuhkan pangan. Tanpa pangan manusia tak akan dapat melangsungkan kehidupannya. Sejarah mencatat bahwa sektor pertanian menjadi sektor penting dalam menghasilkan sumber-sumber pangan. Indonesia sebagai negara agraris dengan kekayaan alam yang melimpah, tepat kiranya jika sektor pertanian menjadi hal yang sangat penting di negeri ini. Di sisi lain, Indonesia merupakan negara yang dikenal dengan sebutan agraris, dimana terdapat kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah. Melihat luasan dan potensi alam yang begitu besar itu, maka pada tahun 1960 pemerintah membuat sebuah aturan mengenai reforma agraria (Baca: UUPA No 5/1960) yang diartikan sebagai usaha penataan menyeluruh sumber daya alam baik air, tanah udara dll, yang berada di atas maupun di dalam bumi demi kesejahteraan bersama. Inilah yang kemudian menjadi spirit atas perwujudan kemakmuran rakyat.
Dalam perjalanannya, sektor pertanian di negeri ini kian hari dihadapkan dengan berbagai kendala. Bagi kaum tani, tanah merupakan alat produksi yang paling signifikan. Ketimpangan atas kepemilikan lahan ini dapat kita lihat secara bersama, penguasaan atas tanah masih didominasi oleh kaum bermodal (Baca: Perkebunan, perusahaan dll). Sedangkan, petani di negeri ini rata-rata kepemilikan lahan hanya dalam kisaran 0,5 Ha dan sebagian besar berubah menjadi buruh tani karena kehilangan hak atas tanah. Penguasaan tanah yang timpang ini acapkali merubah area lahan produktif pertanian menjadi non pertanian (Baca: Perusahaan, Perkebunan karet, sawit dll), sehingga mempengaruhi hasil pangan negeri ini. Ketimpangan atas kepemilikan tanah ini sering kali memicu munculnya konflik antara petani dengan kaum modal seperti halnya dalam perkembangan dewasa ini. Faktor utama ketimpangan atas kepemilikan tanah ini adalah tidak berjalannya Reforma Agraria seperti halnya yang telah diamanatkan dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960. Infrastruktur yang baik juga menjadi komponen penting dalam maksimalisasi produksi pangan. Misalkan saja irigasi, bibit, pupuk, teknologi dan akses pasar bagi kaum tani menjadi bagian komponen penting yang harus dimunculkan guna produksi pangan mampu maksimal.
Di tengah problem pertanian yang semakin marak kita jumpai, FAO (Food and Agriculture Organization) sebagai organisasi pangan dunia menyatakan ancaman krisis pangan dunia (Global Food Crisis) yang akan melanda hampir seluruh negara salah satunya Indonesia. Tercatat sejak boomingnya krisis pangan tahun 2008, Indonesia melakukan import besar-besaran produk-produk pangan. Dalam kurun tahun 2009-2012 telah melakukan import beras di atas 1,5 juta ton/tahun. Dengan dalih stabilitas pangan nasional, import pangan menjadi salah satu langkah pemerintah guna menstabilitaskan pangan nasional dan itu dilakukan sampai sekarang.
Padahal di sisi lain, dengan adanya import pangan besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah ini berdampak pada hancurnya harga hasil produksi petani Indonesia. Selain itu, pemerintah justru mengenalkan masyarakat dan merombak pola pikir masyarakat dalam rangka memaknai pangan menjadi hal yang sangat sempit (Pangan Adalah Beras). Padahal di negeri ini terdapat aneka macam pangan (umbi-umbian, gandum dll). Seharusnya ini dapat menjadi salah satu solusi dalam mengatasi krisis pangan yang mengancam negeri ini, tanpa harus menggantungkan hidup masyarakat Indonesia kepada Negara lain (Import Pangan).
Sekian permasalahan agraria di negeri ini yang tak kunjung usai ini, menjadi salah satu penghambat terbangunnya kedaulatan bangsa atas pangannya. Hal ini yang kemudian menjadi satu perhatian khusus bagi setiap orang, karena berbicara pangan tentunya menjadi kebutuhan setiap manusia.
Dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan, maka dibutuhkan kerjasama multi stakeholder, baik dari pemerintah, akademisi, maupun masyarakat sipil. Selain itu keterlibatan pemerintah selaku penyelenggara negara sangat penting peranannya sesuai yang di atur dalam UU No 18/2012 tentang Pangan.
Salatiga merupakan salah satu kota di Jawa Tengah dengan jumlah penduduk ± 170.332.66 jiwa yang terdiri dari 4 kecamatan dan 22 kelurahan ini memiliki luasan area pertanian yang bisa dikatakan minoritas (sangat kecil). Padatnya bangunan baik perumahan, pertokoan, gedung pemerintahan, sekolah dll yang berada di Salatiga tentunya menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi pemerintahan Salatiga dalam rangka ketersedian pangan bagi masyarakat. Terbatasnya lahan pertanian bukan berarti tidak bisa mandiri akan pangan. Ada banyak potensi yang bisa dibangun di daerah perkotaan seperti halnya Salatiga ini dalam rangka menghadapi krisis pangan dan menyiapkan ketersediaan pangan.
Seperti halnya memasukkan elemen perempuan dalam rangka menyiapkan pangan dan mengatur pangan. Kita sadari bersama bahwa perempuan merupakan manager pangan keluarga, dimana perempuanlah yang mengatur pangan, yang memahami kebutuhan pangan dan pengeluaran pangan dalam lingkup keluarga. selain Itu perempuan punya potensi besar untuk berperan aktif dalam produktifitas pengadaan pangan/ketersediaan pangan. Pertama, perempuan mempunyai waktu luang lebih banyak. Kedua, perempuan mempunyai wadah/Organisasi (PKK, Dasawisma dll) ini merupakan potensi yang luar biasa jika bisa di dorong menjadi satu gerakan perempuan peduli pangan (GP3).
Di area perkotaan, pangan dapat di produksi dan dimunculkan melalui media tanam polybag, pot, kaleng dll. Dengan media ini, perempuan bisa memproduksi beberapa tanaman pangan (Baca: Sayur, buah). Dengan begitu, setidaknya perempuan bisa mengurangi pengeluaran keluarga tiap hari dengan hasil produksi pangannya dan melengkapi gizi untuk anak-anaknya. Terlepas dari itu, membangun mainstream perempuan peduli pangan juga hal penting yang harus dilakukan, sebagai salah satu langkah penguatan kelompok. Mari kita wujudkan kemandirian pangan demi mengatasi krisis pangan melalui Gerakan Perempuan Peduli Pangan (GP3).
Minggu, 17 Februari 2013 menjadi hari penuh dengan harapan & cita. Aliansi Petani Indonesia (API) DPD Jawa Tengah bersama dengan Kelompok Perempuan Melatisari Butuh, Kutowinangun, Tingkir, Salatiga, melakukan Gerakan Perempuan Peduli Pangan dengan cara melakukan penanaman menggunakan media tanam Polybag. Gerakan Perempuan Peduli Pangan ini mendorong setiap rumah tangga menanam melalui media tanam Polybag sebanyak 7 Polybag. Adapun jumlah anggota kelompok perempuan Melatisari ini sebanyak 40 Orang. Polybag-polybag itu di Tanami berbagai macam sayuran (bayam, kangkung, sawi & cabe).
Petani adalah tuannya Negara dan kuasanya adalah nyata!!!
Oleh Syukur Fahrudin
Devisi Pendidikan & Advokasi
Aliansi Petani Indonesia (API) DPD Jawa Tengah