Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) dan Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), dan Bina Desa (Bindes)
Konflik agraria kembali menelan korban jiwa. Indra Kailani (21), pengurus Serikat Tani Tebo (STT), Anggota Organisasi Tani Lokal (OTL) Sakato Jaya, Desa Lubuk Mandarsah, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi tewas mengenaskan pada Sabtu (28/2/2015) dengan cara diculik dan dibunuh oleh security PT. Wira Karya Sakti (WKS). Mayat korban ditemukan penuh luka tusukan, sayatan, pukulan, dalam keadan kaki dan tangan terikat. Kejadian ini bertepatan dengan acara syukuran panen raya yang dilakukan oleh para petani anggota STT di lahan garapan mereka.
Konflik agraria petani Desa Lubuk Mandarsah sesungguhnya sudah terjadi sejak 2001 akibat lahan masyarakat secara sepihak dimasukkan ke dalam ijin area Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. WKS untuk tanaman akasia dan ecaliptus. Sedikitnya 10.000 hektar tanah masyarakat Lubuk Mandarsah dirampas oleh perusahaan atas dasar izin HTI PT. WKS. Tahun 2007 11 petani ditangkap karena mempertahankan tanah mereka pada saat akan digusur oleh alat berat milik PT. WKS. Tewasnya petani akibat konflik agraria dengan PT. WKS pun bukan hal yang baru, tahun 2010 Ahmad Adam (45) juga tewas dalam konflik agraria dengan PT WKS di Senyerang, Tanjung Jabung Barat, Jambi.
Berlarutnya konflik agraria yang terus menelan korban, membuktikan bahwa pemerintah daerah dan pusat hingga sekarang tidak berkomitmen untuk menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di tanah air.
Atas peristiwa pembunuhan petani yang dilakukan oleh pihak PT WKS di Lubuk Mandarsyah, Tebo, Jambi, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) dan Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), dan Bina Desa (Bindes) menyatakan sikap:
1. Mengutuk keras pembunuhan yang dilakukan oleh security PT. WKS. Berdasarkan laporan kejadian dari lapangan, diduga kuat bahwa kejadian ini adalah pembunuhan berencana, mengingat selama ini korban merupakan tokoh kunci yang memperjuangkan pengembalian tanah rakyat yang dirampas.
2. Menuntut Kepolisian RI agar mengusut kasus ini hingga tuntas, menangkap pelaku dan menjelaskan secara transparan kepada publik terkait penanganan kasus ini sesuai dengan hukum yang berlaku.
3. Menolak pernyataan pihak PT. WKS bahwa kejadian ini adalah kesalahpahaman yang berujung kekerasan. Bahkan, kami mengecam PT. WKS yang berupaya mengalihkan tanggungjawab bahwa kejadian ini adalah kesalahan prosedur dari perusahaan sekuriti yang mereka sewa.
4. Mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI untuk mencabut izin HTI PT. WKS di Provinsi Jambi dan mengembalikan tanah rakyat yang dirampas.
5. Mendesak pemerintahan Jokowi-JK segera membentuk lembaga penyelesaian konflik agraria untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria di tanah air, baik warisan masa lalu maupun yang baru terjadi.
6. Mendesak pemerintahan Jokowi-JK segera menjalankan agenda reforma agraria. Mengingat konflik agraria yang terjadi selama ini adalah akibat peruntukkan tanah yang lebih diprioritaskan kepada pengusaha kehutanan, perkebunan dan pertambangan dibandingkan memberikan pengakuan dan perlindungan tanah rakyat (petani/masyarakat adat).
Demikian pernyataan sikap kami buat untuk menjadi perhatian semua pihak. Bersama ini kami lampirkan kronologi lengkap atas peristiwa ini.
Jakarta, 2 Maret 2015
Hormat kami,
Iwan Nurdin (Konsorsium Pembaruan Agraria) : 081229111651
Noer Hadi (Aliansi Petani Indonesia) : 081511306040
Agus Ruli (Serikat Petani Indonesia) : 087821272339
Lampiran Pernyataan Sikap:
Kronologis Penculikan dan Pembunuhan Petani
di Lubuk Mandarsah Kabupaten Tebo, Jambi
1. Posisi Kasus (Pra Kejadian)
Konflik agraria antara PT. Wira Karya Sakti (WKS) dengan petani Jambi sudah terjadi sejak dikeluarkannya Surat Menteri Kehutanan No. 1198/Menhut-IV /1997, pada 7 Oktober 1997. Atas dasar Surat Menteri tersebut pada 1997, lahan masyarakat secara sepihak dimasukkan kedalam izin area HTI PT WKS untuk tanaman akasia dan ecaliptus. Sedikitnya 10.000 hektar tanah masyarakat Lubuk Mandarsah dirampas oleh perusahaan PT. WKS.
Tahun 2007, petani Desa Mandarsah yang akan melangsungkan panen raya digusur oleh PT. WKS dengan menggunakan alat berat. Akhirnya terjadi chaos antara Petani yang mempertahankan tanahnya dengan PT WKS yang menggusur tanah warga. Atas kejadian tersebut ada 12 alat berat, 1 mobil milik PT.WKS terbakar dan ada 9 orang yang dikriminalisasi (Tateng, Rohmadon, Iwan, Dedy, Abdul Rojak, yusep, Thamrin, Atang, cecep ) dengan hukuman 15 bulan penjara.
Pada November 2011 konflik agraria terjadi di Desa Senyerang, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Dalam konflik ini satu orang petani yang tergabung dalam Persatuan Petani Jambi (PPJ) tewas karena kepalanya ditembak oleh Aprat Negara. Korban yang tewas karena mempertahankan haknya atas tanah adalah Ahmad Adam (45).
2. Kronologi Kejadian
Petani yang ingin melakukan panen raya diprovokasi oleh pihak perusahaan dengan melarang petani memasuki lahan garapan mereka. Setiap petani dan pendamping yang mau masuk ke lahan, langsung dihadang oleh security (Zulkifli) dan Unit Reaksi Cepat (URC) PT WKS yang berjaga di Pos Kembar 803. Ketua Organisasi Tingkat Lokal (OTL) Sekato Jaya, M.Jais, dan Dodi merespon sikap penjaga keamanan dengan menanyakan dasar hukum dari pihak keamanan melarang petani untuk masuk ke lahan. Pihak security yang tidak bisa menunjukkan dasar hukum tersebut malah menantang dan “meledek” M.Jais dan Dodi untuk membuat portal sendiri. Akhirnya M.Jais bersama Dodi membuka portal tersebut dan masuk membawa bahan mentah serta peralatan masak karena dalam panen raya akan diselenggarakan doa bersama.
Sekitar pukul 16.00 WIB Indra, korban, yang merupakan pengurus Serikat Petani Tebo devisi Pendidikan dan Nick Karim dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Wilayah Jambi tiba di Pos Kembar 803. Mereka dihadang oleh pihak keamanan yang ada di sana yaitu security perusahaan dan URC. Pada saat Nick Karim mengatakan tujuannya ingin masuk ke lahan petani yang ingin melakukan panen raya, tiba-tiba salah seorang URC PT WKS membentak Nick dan Indra dengan ucapan “kau ini belagak nian”. Indra yang bertanya “apo bang?”, langsung dipukul oleh URC WKS yang disusul oleh lima orang rekannya. Nick berusaha melerai penganiayaan terhadap Indra namun gagal karena jumlah URC WKS terlalu banyak. Nick meminta bantuan kepada security perusahaan yang posisinya tepat berada di lokasi pengeroyokan namun sia-sia. Akhirnya Nick meminta bantuan ke Dusun Pelayang Tebat, Desa Lubuk Mandarsah.
Bantuan segera datang, sekitar 30 orang pada pukul 16.30 WIB tiba di Pos Kembar 803 namun Indra sudah tidak ada lagi di tempat. Masyarakat menanyakan security perusahaan, Zulkifli, mengenai keberadaan dan pengeroyokan terhadap Indra. Zulkifli mengatakan “tidak tahu dan menjelaskan bahwa tidak ada perkelahian di Pos Kembar 803”, padahal Nick melihat Zulkifli berada di lokasi pada saat Indra dikeroyok URC WKS dan tidak melakukan tindakan apapun untuk melerai pengeroyokan tersebut. Masyarakat yang kesal melakukan penggeledahan Pos Kembar 803 dan menemukan senjata tajam seperti parang dan pisau. Sampai pada malam hari masyarakat mencari keberadaan Indra namun tidak ditemukan.
Keesokan harinya pada pukul 09.00, warga Desa Lubuk Mendarsah mendapa
t kabar dari Akiet, Kepala Security PT WKS, bahwa Indra ditemukan tidak bernyawa lagi. Jasadnya ditemukan 7 Km dari lokasi camp districk 8 dengan keadaan luka memar di seluruh tubuh, bekas sayatan di seluruh tubuh, tanda tusukan benda tajam, pukulan benda tumpul, keadaan mulut ditutup menggunakan baju, tangan dan kaki diikat. Jasad Indra diotopsi di Rumah Sakit Tebo.
*Sumber kronologis; Rudi-Walhi Jambi & Feri-API.
3. Pasca Kejadian
Pasca kejadian pihak PT WKS mengeluarkan pernyataan di media untuk mengaburkan kejadian yang sebenarnya dan lepas tangan atas peristiwa ini. Dalam rilis tersebut pihak PT.WKS mengatakan bahwa ini merupakan salah paham antara anggota Serikat Tani Tebo dengan URC PT WKS yang berujung kepada tindak kekerasan. Lebih jauh lagi PT WKS menegaskan bahwa kejadian ini murni tindak pindana dari pihak keamanan yang disewa dan PT WKS tidak bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Saat ini kondisi di lapangan sangat mencekam karena seluruh masyarakat yang berkonflik dengan PT WKS mulai berkumpul dan mempersiapkan diri untuk menuntut pertanggungjawaban PT WKS atas kejadian ini. Saat ini kepolisian telah dikerahkan untuk mengamankan situasi dan kondisi lapangan. Banyak pihak di lapangan berpendapat bahwa jika tidak ada tindakan dari pemerintah dan aparat negara maka konflik ini dikhawatirkan meluas.