Reforma agraria memang sudah dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi. Sebanyak 9 juta hektar tanah ditegaskan menjadi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) oleh pemerintah. Luasan tersebut dibagi dalam 2 skema pemberian, yaitu skema legalisasi aset (4,5 juta hektar) dan skema redistribusi tanah (4,5 juta hektar).
Namun dalam perjalanannya, program legalisasi aset melalui skema pemberian tanah transmigrasi yang belum bersertifikat (0,6 juta hektar) dan PRONA (3,9 juta hektar) lebih mendominasi pelaksanaan reforma agraria pemerintah. Program redistribusi tanah melalui skema pemberian tanah bekas Hak Guna Usaha dan tanah terlantar (0,4 juta hektar) relatif berjalan di tempat. Sedangkan pelepasan kawasan hutan (4,1 juta hektar), hanya berlaku untuk semua kawasan di luar Pulau Jawa.
Konflik Agraria di Indonesia
Sejak zaman Reformasi 1998, konflik agraria di Indonesia belum mendapat perlakuan khusus dari pemerintah. Konflik agraria ini merujuk pada pertentangan klaim mengenai siapa yang berhak atas akses tanah, antara kelompok rakyat dengan lembaga pemerintah atau badan usaha yang bergerak di bidang produksi, ekstraksi, konservasi, dan lainnya. Penyebab munculnya konflik agraria pun bermacam-macam, mulai dari konflik-konflik lama warisan zaman Belanda sampai konflik baru yang muncul karena surat keputusan pemerintah yang memberi perizinan pada badan usaha tertentu dengan memasukkan tanah kepunyaan akses rakyat ke dalam konsesi-konsesi agraria atau pembangunan infrastruktur.
Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menjadi salah satu contoh penyebab munculnya konflik agraria. Melalui undang-undang tersebut, pembangunan yang mengatasnamakan kepentingan umum menjadi semakin marak. Padahal, maraknya pembangunan juga turut menyemarakkan jumlah konflik agraria di daerah. Hasil yang paling terlihat salah satunya adalah dampak demografis, dimana perubahan demografis yang terjadi akan memunculkan perbedaan kelas antara yang memperoleh manfaat dan yang tidak memperoleh manfaat, atau lebih tepatnya tersisih dari pembangunan. Mereka yang tersisih dari pembangunan biasanya masyarakat setempat, petani gurem, pekebun, pemilik tambak kecil, fakir-miskin, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, konflik agraria bersifat struktural. Semakin lama konflik tersebut, semakin menciptakan konsentrasi pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah pada satu pihak, dan semakin menghilangkan hak atau akses agraria pada pihak rakyat. Situasi agraria yang timpang tersebut justru menurunkan produktivitas dan kesejahteraan rakyat, terutama petani sebagai kelompok yang hidupnya berkaitan langsung dengan tanah. Fenomena ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah turut berpengaruh pada meningkatnya kemiskinan dan pengangguran di pedesaan.
Data Ombudsman RI menunjukkan terdapat 450 konflik agraria di sepanjang tahun 2016 dengan luas area konflik mencapai 2.829.255 hektar. Ombudsman RI mencatat adanya dugaan maladministrasi pertanahan yang mendasari dan turut menambah jumlah konflik tersebut. Bentuk maladministrasi yang paling sering terjadi selama tahun 2016 berupa penundaan berlarut (32,6%), penyalahgunaan wewenang (17,7%), penyimpangan prosedur (16,0%), dan tidak memberikan pelayanan (15,7%). Sedangkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga mencatat terdapat 450 konflik agraria di tahun 2016 dengan luas area konflik mencapai 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 Kepala Keluarga. Provinsi penyumbang konflik agraria tertinggi secara berturut-turut adalah Riau (44 konflik), Jawa Timur (43 konflik), Jawa Barat (38 konflik), dan Sumatera Utara (36 konflik).
Konflik Agraria di Jawa Timur
Konflik agraria yang terjadi di Indonesia merupakan salah satu masalah besar yang sudah bersifat kronis. Pada dasarnya, kondisi tersebut tidak terlepas dari kebijakan pertanahan yang hanya fokus pada peningkatan produktivitas yang berujung pertumbuhan ekonomi semata. Sementara penataan aset produksi malah terabaikan, yang berakibat masyarakat semakin terpinggirkan dan kehilangan akses pada tanah. Padahal, konflik agraria sesungguhnya tidak hanya berdampak pada masyarakat secara langsung, tetapi juga berdampak pada program pemerintah seperti program ketahanan pangan, perumahan rakyat, pengentasan kemiskinan, dan lingkungan hidup.
Pernyataan bahwa Jawa Timur sebagai lumbung pangan nasional nampaknya perlu ditinjau kembali. Dari daftar provinsi penyumbang konflik agraria, Jawa Timur menempati peringkat kedua. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pertanian di Jawa Timur masih jauh panggang dari api. Belum adanya kepastian hak kuasa atas tanah, sulitnya petani mendapatkan akses modal untuk produksi pertanian, serta maraknya tengkulak dan impor pangan menjadi varian dari problem agraria di Jawa Timur.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur memang telah mengeluarkan Undang-Undang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan (UU Perlintan). Namun nyatanya, undang-undang ini belum mampu melindungi petani dan lahan pertanian di jawa Timur dari persoalan-persoalan (klasik) yang melingkupinya. Beberapa konflik di Jawa Timur yang saat ini terjadi mulai dari kasus pencemaran limbah B3 dan pelebaran pabrik di Mojokerto, pembangunan bandara di Kediri, pembangunan tol yang melewati lahan-lahan produktif di Jombang-Solo, pembangunan lading minyak baru di Lamongan, eksplorasi emas di Banyuwangi, dan masih banyak lagi persoalan agraria di Jawa Timur.
Selain konflik agraria, persoalan lain yang saat ini terjadi adalah alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan dan fungsi non-pertanian lainnya. Alih fungsi lahan tersebut tentunya tidak bisa dipisahkan dari diterbitkannya perizinan oleh pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah cenderung melunak menghadapi para investor properti yang ingin menjadikan lahan pertanian menjadi perumahan. Artinya, berbagai perumahan baru yang muncul di atas lahan produktif menjadi pertanda bahwa sesungguhnya pemerintah pun turut andil dalam berkurangnya lahan pertanian di Jawa Timur.
Pelaksanaan reforma agraria bertujuan memperbaiki keadaan sosial-ekonomi dan sosial-politik rakyat melalui pembagian yang lebih adil atas sumber penghidupan petani berupa tanah. Namun seiring perkembangan situasi, kemudian disadari bahwa terdapat beberapa kejadian seperti petani yang telah memperoleh tanah kemudian melepaskan kembali tanahnya. Hal ini disebabkan petani tidak memiliki akses pada kegiatan ekonomi, sumber keuangan, manajemen usaha, dan teknologi pertanian. Akibatnya, keberadaan tanah tidak membantu petani meningkatkan kesejahteraannya.
Kondisi seperti inilah yang mendorong dilaksanakannya reforma agraria dengan model land reform dan access reform. Land reform memiliki pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah yang didukung oleh program penunjang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan lainnya (access reform). Dengan demikian, reforma agraria memiliki 2 pilar utama (land reform dan access reform), sehingga tidak hanya diartikan sekedar pensertifikatan tanah.
Sebagai respon dari situasi di atas, dengan ini kami yang tergabung dalam Aliansi Tani Jawa Timur (ALIT JATI) menyatakan sikap:
1) Laksanakan segera reforma agraria sejati.
2) Hentikan alih fungsi lahan pertanian produktif.
3) Hentikan kriminalisasi terhadap petani.
4) Laksanakan UU Perlintan Jawa Timur.
5) Wujudkan segera kedaulatan petani Jawa Timur atas produksi, distribusi, dan konsumsi pangan.
Pernyataan sikap ini kami tutup dengan satu kalimat dari Gunawan Wiradi tentang kondisi agraria di tanah air, “sesungguhnya semua pihak kian disadarkan kembali bahwa buat negara berkembang yang agraris makna kemerdekaan buat rakyat adalah hak atas tanah yang digarapnya.”
Surabaya, 25 September 2017
Tertanda,
Aliansi Tani Jawa Timur (ALIT JATI):
KPA Jawa Timur, SPI Jawa Timur, API Jawa Timur, PMII Sidoarjo, FPPI Surabaya, FPPI Kediri, Teater Cemara STIESIA, Teater Candradimuka Unitomo, Kamus PR, GMNI Untag, CIPHOC Unitom
o