indonesia Darurat Agraria;
Luruskan Reforma Agraria dan Selesaikan Konflik-konflik Agraria
Lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang diperingati bersamaan dengan Hari Tani Nasional mengamanatkan perubahan mendasar terhadap prinsip-prinsip hukum agraria kolonial. Melalui pengukuhan hukum adat, pelarangan monopoli penguasaan tanah dan sumber agraria lain, pengikisan praktik feodalisme, serta jaminan kesetaraan hak atas tanah bagi laki-laki dan perempuan merupakan prinsip-prinsip UUPA untuk mewujudkan keadilan sosial. Kemudian, MPR RI menerjemahkan amanat tersebut melalui TAP MPR RI No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Setelah 57 tahun UUPA diundangkan, ketimpangan struktur agraria dan konflik agraria masih terus terjadi. Hampir di seluruh sektor, terjadi penguasaan secara besar-besaran atas sumber agraria. Sebesar 71 % dikuasai oleh perusahaan kehutanan, 16% oleh perusahaan perkebunan, 7% dikuasai golongan kaya dan sisanya oleh masyarakat miskin. Dampaknya, 10 persen orang terkaya menguasai 77 persen kekayaan nasional. Tanah menjadi objek investasi, akibatnya rata-rata pemilikan tanah kurang dari 0,3 hektar. Per Maret tahun 2017 sebanyak 17,10 juta penduduk miskin hidup di desa (BPS, 2017).
Kebijakan pertanian juga turut memperparah kemiskinan pedesaan. Berdasarkan catatan Aliansi Petani Indonesia (API) rata-rata terdapat 59 rumah tangga tani yang keluar dari sektor pertanian/jam, artinya ada 1 rumah tangga tani hilang di setiap menitnya. Jika rata-rata kepemilikan lahan produksi petani 0,3 hektar dan ditanami padi, rata-rata hanya akan menghasilkan Rp. 4.290.000, atau Rp. 1.072.500 setiap bulannya. Disisi lain kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras juga lebih berorientasi pasar, tanpa mempertimbangkan kebutuhan petani. Hal ini turut mendorong lonjakan angka migrasi dari desa ke kota yang akhirnya berdampak serius pula terhadap regenerasi dan munculnya angkatan muda di sektor ini.
Jokowi-JK melalui Nawa Cita hendak mejawab persoalan tersebut melalui kebijakan reforma agraria, ditarget 9 juta hektar tanah akan diredistribusi dan dilegalisasi. Tahun lalu, Jokowi mengeluarkan Perpres Nomor 45 Tahun 2016 Tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017 yang menempatkan reforma agraria sebagai salah satu prioritas nasional dalam pembangunan Indonesia. Adapun objek reforma agraria berasal dari pelepasan kawasan hutan, HGU habis, tanah terlantar dan transmigrasi yang ditarget seluas 4,5 juta hektar. Sementara 4,5 juta lainnya merupakan legalisasi aset. Selama 3 tahun berjalan redistribusi tanah yang berasal dari HGU habis, tanah terlantar dan tanah negara lainnya sejak tahun 2015 hanya seluas 182.750 Ha. Redistribusi melalui transmigrasi sejak 2015 tercatat 32.146 Ha. Sementara itu, redistribusi dari pelepasan kawasan hutan seluas 0 Ha. Legalisasi aset sejak tahun 2015 tercatat seluas 609.349 Ha. Jika dibandingkan, terlihat hanya mendorong sertifikasi daripada redistribusi lahan.
Guna mempercepat capaian target, pemerintah membentuk kelembagaan pelaksana reforma agraria melalui Keputusan Menteri Koordinator Perekonomian (Menko Perekonomian) Nomor 73 tahun 2017 tentang Tim Reforma Agraria. Menko Perekonomian menjadi ketua yang membawahi tiga kelompok kerja (Pokja), yakni Pokja I Pelepasan Kawasan Hutan dan Perhutanan Sosial yang diketuai oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Pokja II Legalisasi dan Redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria diketuai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), dan Pokja III Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat diketuai oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Desa dan PDTT). Setelah pengesahaan kelembagaan, Presiden mengeluarkan kebijakan baru terkait penyelesaian konflik di kawasan hutan, yaitu Peraturan Presiden nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan. Meski dinilai sebagai terobosan hukum, namun kebijakan ini belum mampu menjawab persoalan-persoalan di lapangan.
Sisi lain, terdapat kebijakan Perhutanan Sosial yang diatur melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial dan Peraturan Menteri Kehutanan P.39 tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Dengan target seluas 12,7 juta Ha hingga 2019, kebijakan ini tidak selaras dengan semangat reforma agraria.
Di bawah kepemimpinan Jokowi-JK (2015-2016) Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat konflik agraria tercatat meningkat. Sedikitnya terjadi 450 konflik agraria sepanjang tahun 2016, seluas 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK. Jika di tahun 2015 tercatat 252 konflik agraria, maka meningkat hampir dua kali lipat. Jika dirata-rata, terjadi satu konflik agraria dan 7.756 hektar lahan terlibat dalam konflik setiap harinya.
Situasi tersebut semakin meningkatkan beban dan memiskinkan perempuan. Jumlah rumah tangga miskin dengan kepala rumah tangga perempuan mengalami kenaikan sebesar 16,12% di tahun 2017 dari 14,97% di tahun 2014, masa awal kepemimpinan Jokowi-JK (Solidaritas Perempuan, 2017). Hilangnya tanah sebagai sumber kehidupan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan ekonomi keluarga, berdampak pada meningkatnya beban perempuan dalam memastikan tersedianya pangan keluarga. Reforma Agraria seharusnya juga mampu mewujudkan keadilan agraria bagi perempuan.
Dalam konteks laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil, kebijakan reforma agraria Jokowi-JK tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai subjek. Sebaliknya, terdapat 16 proyek reklamasi yang menghilangkan sumber penghidupan lebih dari 107.000 KK nelayan. Selain itu pemberian ijin tambang pesisir, pembangunan pariwisata dan pulau-pulau kecil (green grabing) telah merampas sumber kehidupan masyarakat (Kiara, 2016). Kondisi demikian juga merusak ekosistem air, data Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRUHA) menunjukkan bahwa pada tahun 2016 terdapat 118 Daerah Aliran Sungai (DAS) berada dalam kondisi kritis. Kekeringan juga telah berdampak pada 56.334 hektar lahan pertanian dan mengakibatkan 18.516 hektar lahan gagal panen.
Realitas demikian menunjukan kebijakan reforma agraria Jokowi-JK tidak serius dilakukan. Prioritas tiga tahun ini dicurahkan pada pembangunan infrastruktur dan investasi. Beberapa paket ekonomi justru bertolak belakang dengan semangat reforma agraria, karena meyebabkan konflik agraria dan kriminalisasi. Kerusakan lingkungan juga menjadi dampak lain dari perluasan investasi. Data dari Walhi Daerah Sumatera Selatan (2017) menunjukan 168 titik api di Sumatera Selatan berada di konsesi perusahaan. Pada 2015, 439 perusahaan terlibat pembakaran di 5 Provinsi, 308 diantaranya adalah perusahaan sawit.
Melihat kronisnya situasi agraria serta masifnya liberalisasi sumber agraria menunjukan bahwa reforma agraria selama ini telah diselewengkan. Pemerintah mulai kehilangan arah dan menjauh dari amanat UUPA 1960. Dalam peringatan Hari Tani Nasional 2017 dan 57 Tahun UUPA, kami dari Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) yang merupakan aliansi dari puluhan organisasi tani, nelayan, buruh, miskin kota, mahasiswa dan NGO mendesak pemerintah Jokowi-JK:
- Presiden dan DPR meninjau ulang semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang terbukti tidak sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA No.5 Tahun 1960 untuk segera dicabut, diubah, dan/atau diganti sesuai mandat TAP MPR No.IX Tahun 2001
- Presiden segera mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan konflik agraria dan meluruskan reforma agraria, serta segera membentuk kelembagaan pelaksana Reforma Agraria yang berada langsung di bawah presiden, lintas sektor, dan melibatkan organisasi masyarakat sipil dan organisasi rakyat.
- DPR dan KPK harus melakukan evaluasi dan klarifikasi atas luas wilayah hutan berdasarkan penguasaan, pemanfaatan dan peruntukannya, serta mengaudit dan mengusut praktik korupsi di BUMN dan perusahaan swasta.
- Presiden harus lebih pro-aktif memimpin, mengontrol dan m
engantisipasi aksi manipulatif mafia tanah yang menjadikan sumber agraria hanya sebagai komoditas. - Hilirisasi peran badan usaha milik negara (BUMN) dibidang perkebunan menjadi bergerak di sektor niaga, industri pengelolaan pasca panen serta pengembangan teknologi penunjang sektor pertanian dan perkebunan rakyat.
- Moratorium izin baru di sektor perkebunan, kehutanan dan pertambangan serta melakukan review dan penertiban terhadap izin-izin lama yang terbukti melanggar hukum, serta melakukan penegakan hukum terhadap korporasi pelanggar HAM dan pelaku perusakan lingkungan.
Selamat Hari Tani Nasional kepada kaum tani di seluruh tanah-air.
Jakarta, 27 September 2017
Hormat kami,
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)
Dewi Kartika
Koordinator Umum
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) :
KPA, SPP, P3I, STI, SPI, API, SPM, FPRS, FPPB, STIP, HITAMBARA, YP2I, Gerbang Tani, P2B, Jakatani, SPRI, STTB, PPC, AMANAT, AMAN, KPBI, KPRI, WALHI, SPKS, IHCS, KIARA, SP, JKPP, YLBHI, KNTI, SW, Bina Desa, SPDD, KPOP, BPAN, SPR, SMI, SAINS, LBH Bandung, TuK Indonesia, PSHK, LBH Jakarta, RMI, Yayasan Pusaka, SNI, KSN, KontraS, KRuHA, Perkumpulan Inisiatif, WALHI Jabar, HuMa, SP Jabodetabek, JATAM, KPR, FIELD, KNPK, HMI Jabar, FPPMG, FARMACI, FPMR, SPMN, ELSAM, Ciliwung Merdeka.