Pola pertanian agroekologis semakin marak didengungkan di berbagai tempat di seluruh dunia, terkait tantangan dan trend dalam ketahanan pangan dan perubahan iklim. Agroekologi yang menggunakan konsep ekologi dan prinsip-prinsip untuk mendesain dan mengelola sistem pertanian berkelanjutan diyakini mampu meningkatkan produktivitas secara berkelanjutan, dan memiliki potensi jauh lebih besar dalam mengatasi kelaparan, terutama pada masa ekonomi dan iklim yang tidak menentu seperti sekarang ini.
Aliansi Petani indonesia (API) dan Third World Network (TWN) yang menggelar pelatihan dengan tema Agroekologi di Solo, Jawa Tengah beberapa waktu lalu (5-9/6) juga menganggap pentingnya pengembangan kapasitas dalam agroekologi di Indonesia dan kawasan asia pada umumnya. Pelatihan yang dihadiri oleh sedikitnya 53 peserta tersebut bertujuan untuk melengkapi aktor-aktor kunci dengan pemahaman yang komprehensif mengenai agroekologi beserta prinsip dan bukti-bukti yang ada. Hadir sebagai narasumber Profesor Miguel Altieri dan Dr. Clara Nicholls, dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat, dengan peserta meliputi Malaysia, Indonesia, Laos, Vietnam, Thailand, Myanmar, Philipines dan Cambodia.
Selain mengelaborasi berbagai materi seperti Prinsip dan konsep agroekologi, Peranan agroekologi dalam keragaman di agro ekosistem, Keragaman hayati dan manajemen hama, Ekologi dan manajemen tanah, Kerangka ekologi dalam penyakit dan hama tanaman serta materi-materi lain, para petani juga diajak untuk saling bertukar pengalaman tentang berbagai kasus ekologis yang pernah mereka alami. Dan karena sebagian besar peserta adalah pelaku pertanian organik maka forum berjalan dengan sangat dinamis dan partisipatif. Sebut saja Mbah Gatot, petani organik asal purbalingga itu berkali-kali tampak dengan semangat memotong penyampaian materi oleh nara sumber dan mengajukan berbagai pertanyaan.
Lain Mbah Gatot, lain pula dengan Sutriyono asal Banyumas. Pak Tri, sebutan akrabnya, tampak sangat fasih menyebut berbagai nama unsur kimiawi dan menjelaskan teori-teori dari lapangan yang pernah jumpainya.
“Acara ini sangat besar manfaatnya bagi kami”, ungkap seorang petani asal Palembang, Indrawati. Sementara itu Ju Sugianto segera ingin mengadakan workshop penanggulangan hama pisang dan pembuatan pakan ikan di Lumajang, Jawa Timur. “Biar kami juga tak selalu bergantung pula pada produk pabrikan”, ujarnya. Sementara itu Gatot ketika dihubungi Redaksi Api Online menjelaskan dengan ringan, bahwa berbagai materi yang disampaikan secara umum sangat membantu petani. “Bukan cuma teori, kegiatan agroekologi seperti yang disampaikan itu sudah lama kami praktekkan”, ujarnya. “tapi tentu kami tidak mengerti banyak secara teorinya, dan kami mendapat banyak masukan yang sama sekali baru dan itu sangat penting bagi kami”, lanjutnya lagi.
Acara yang mengambil tempat di Hotel Novotel dan Ibis, Solo tersebut ditutup dengan kunjungan lapang di basis anggota Appoli (Aliansi Petani Padi Organik Boyolali), Boyolali Jawa Tengah. Tidak seperti acara-acara serupa seperti biasanya, kunjungan lapangan tersebut mengambil tiga lokasi sekaligus dengan sistem pembagian kelompok yang meliputi kelompok Organik (mengambil sample lahan organik tersertifikasi), Non-organic (di lahan yang masih menggunakan asupan-asupan pestisida kimia) dan Transisi (yakni yang masih dalam tahap konversi dari penggunaan pestisida ke organik). Evaluasi dan pembahasan dari temuan-temuan lapang paska “turun sawah” berlangsung cukup dinamis dan memberikan gambaran yang jelas dari perbedaan di antara ketiganya. Go Cultural!! [Lodzi]
[nggallery id=5]