Beberapa perwakilan anggota API, yakni dua orang dari Serikat Petani Lumajang (SPL), Supangkat dan Joyo serta tiga orang masing-masing dari Malang (SPTM), Cianjur (PPC) dan Sendi, Mojokerto mengikuti sekolah pemetaan partisipatif yang diadakan di sekretariat Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) Bogor, 16-29 Juli 2008. Acara yang secara keseluruhan diikuti oleh tidak kurang dari 20 peserta dari berbagai tempat seperti Jambi, Bengkulu dan Pontianak ini ditujukan untuk memberikan pendidikan teknis dasar melakukan kerja pemetaan wilayah geographic berbasis masyarakat.
“pemetaan semacam ini diperlukan bukan saja karena sifatnya yang kolektif-partisipatif, tapi kegunaannya akan sangat besar terutama dalam kasus-kasus reclaiming untuk negosiasi serta penguatan data lapang”, demikian diungkapkan oleh Imam, salah seorang tutor dalam ‘sekolah’ tersebut.
Pembukaan sekolah yang dimulai dengan perkenalan antar peserta dan fasilitator berlansung akrab di antara usapan angin kota bogor yang sejuk. Dan ‘kelas’ baru mulai beranjak menghangat setelah sehari kemudian sharing pengalaman dan cerita dari masing-masing perwakilan daerah digelar. Sebut saja pak Supangkat yang dengan penuh semangat bercerita tentang kesewenangan perhutani atas masyarakat petani di Lumajang. Demikian pula Hilal, peserta yang juga anggota Rimbawan Muda Indonesia (RMI). Dengan lugas pemuda asli Bogor itu menggambarkan tentang betapa murahnya nyawa para penambang emas di sekitaran gunung Halimun jawa barat.
Sekolah pemetaan partisipatif yang menurut Koordinator Nasional JKPP, Kasmita Widodo, masih sangat jarang dilakukan di daerah Jawa ini dibagi dalam dua kelas berbeda, yakni kelas Pemetaan dengan unsur-unsur dasar kerja pemetaan bersama secara manual, serta kelas GIS (Geographic Information System) yang lebih terkonsentrasi pada technik pengolahan data lapang dengan metode berbasis komputer.
“GIS tak dapat dipisahkan dari data yang ditangkap dilapangan. penggunaan GPS untuk menentukan koordinat misalnya akan memiliki fungsi yang sama manakala diolah baik dengan menggunakan metode manual maupun software semacam Arcview. Jadi GIS sifatnya hanya membantu saja”, kata Riza, fasilitator kelas GIS. “Justru inti pemetaan partisipatif harus lebih terfokus pada kebersamaan kerja dari penyerapan informasi sampai pembuatan peta hingga jadi. Masyarakat harus tahu dari tujuan pembuatan, pengerjaan hingga penggunaan peta”, lanjutnya lagi.
Meski mengeluh tentang rumitnya materi yang memang didominasi dengan hitungan-hitungan matematika, dua orang petani asal Lumajang yang mengikuti agenda hingga usai itu mengaku sangat senang.
“Walaupun sekarang belum terlalu ngerti, tapi saya yakin ini akan sangat bermanfaat bagi kami”, ungkap pak Joyo. Hal senada disampaikan pula oleh pak Supangkat, “Kami berharap akan bisa melakukan pemetaan di Lumajang terkait dengan konflik lahan garapan dengan perhutani di sana”, tegasnya.
Pemberian materi sekolah ditutup dengan praktek lapangan pembuatan peta dari pengambilan titik dengan menggunakan alat GPS hingga menampilkannya dalam bentuk peta simulasi. Acara tersebut berlangsung dari siang hingga petang hari dengan mengambil lokasi di Kebun Raya Bogor. Suasana belajar yang berpadu nuansa rekreatif ini pun tak pelak memberi banyak gambaran, betapa sederhana proses pembuatan peta, meski juga tidak dapat disebut mudah.[Lodz]