Indonesia sebagai Negara agraris maritim sudah selayaknya menempatkan produk pertanian dan kelautan sebagai kekuatan utama. Salah satu produk pertanian yang seharusnya bisa dikembangkan adalah jagung. Selain karena menjadi salah satu bahan pokok bagi beberapa suku, lahan yang luas menjadi salah satu hal yang seharusnya menjadi factor peningkatan produksi jagung nasional.
Akan tetapi, ada banyak kendala yang menyebabkan produksi jagung nasional tidak berkembang, selain infrastuktur jalan yang memungkinkan lalu lintas logistic tidak terpenuhi sampai ke pedesaan, ketergantungan terhadap pakan ternak impor juga sangat tinggi.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan), produksi jagung nasional mencapai 17,6 juta ton pipilan kering dengan luas panen 4,8 juta hektare (ha). Dari angka tersebut, produksi jagung Indonesia masih jauh dari Amerika Serikat dan China, yang mampu menempati urutan pertama dan kedua. Dua negara tersebut menyediakan 79,3 juta hektar dan 74,3 juta ha lahan untuk tanaman jagung.
Dari luas lahan 4.8 juta ha, indonesia masih mengimpor 3,144 juta ton, sementara tahun 2010 hanya 1,9 juta ton. Sedangkan tahun ini, impor diperkirakan hanya setengahnya, yaitu 1,5 juta ton jika target produksi tercapai. Impor jagung selama ini dari Amerika Serikat, Brazil, Argentina, India, Thailand, dan Myanmar.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, sekitar 60 persen dari total 786 juta ton produksi jagung dunia dihasilkan oleh AS dan China. Dalam periode yang sama, ekspor jagung AS rata-rata mencapai 52 juta ton per tahun. Ekspor jagung di AS sudah dimulai tahun 1989-1990. China pun sudah mengalami ekspor jagung yang tinggi tahun 2002, dengan volume mencapai 15,2 juta ton.
Kedua negara ini mampu memanfaatkan produksi jagung untuk pengembangan perekonomiannya. AS dan China memanfaatkan paling tidak 6 juta ton produksi jagung mereka untuk keperluan industri pakan ternak. Sebagian besar sisanya untuk pengembangan bahan bakar nabati etanol. Tahun lalu, AS dan China merupakan negara yang masuk dalam lima besar negara produsen terbesar etanol dunia.
Keberhasilan AS dan China mengembangkan komoditas jagung mereka tidak lepas dari catatan sejarah yang cukup panjang dan alokasi lahan yang luar biasa luas. Kondisi ini sangat berbeda dengan Indonesia.
Meski produksi jagung Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir dan ada sedikit ekspor, kita melakukan impor jagung dalam waktu bersamaan. Data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) menyebutkan, antara tahun 2005 dan 2011 Indonesia mengimpor jagung sedikitnya 1 juta ton per tahun. Impor jagung lebih banyak digunakan untuk kebutuhan pakan ternak.
Pada era 1990-an, produksi jagung Indonesia baru sekitar 8,2 juta ton. Jumlah itu masih terbatas untuk mencukupi konsumsi langsung di dalam negeri. Baru pada tahun 2000, Indonesia mengekspor jagung hingga 3 juta ton. Namun, jumlah ekspor itu pun menurun pada tahun-tahun berikutnya.
Data USDA mencatat, luasan lahan jagung Indonesia dalam lima tahun terakhir sekitar 7,7 juta hektar. Sempitnya lahan jagung dalam negeri juga diikuti dengan produktivitasnya yang rendah. China dan AS sudah berbicara produktivitas jagung pada kisaran 8 ton per hektar. Sementara produktivitas jagung Indonesia hanya sekitar 3,7 ton per hektar.
Volume importasi jagung untuk industri pakan ternak sepanjang Januari-Maret 2012 lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu. Impor jagung pada Januari-Maret 2012 hanya 260 ribu ton, turun jauh dibanding periode sama tahun lalu sebesar 600 ribu ton.
Tahun ini kebutuhan jagung untuk pakan ternak meningkat dari 6 juta ton pada 2011 menjadi 6,75 juta ton. Hitungan ini didapat dari perkiraan total konsumsi pakan ternak sebesar 13,5 juta ton yang terdiri dari 12,3 juta ton pakan ternak dan 1,2 juta ton pakan ikan.
Impor jagung terjadi karena sistem informasi produksi dan pasar belum terbentuk dengan baik. Di lain pihak, produksi di beberapa daerah sentra turun drastis karena gagal panen, turunnya produktivitas lantaran hama; perubahan cuaca ekstrem dan tingginya konversi komoditas atau fungsi lahan.
Di samping itu, Teknologi modern pascapanen untuk jagung tidak dimiliki pleh petani sehingga produksi jagung petani tidak layak konsumsi maupun pakan ternak karena masih kurang bagus kadar air, kotoran, biji mati dan jamur. Ditambah biaya distribusi, dalam hal ini penyimpanan dan transportasi sangat mahal sehingga meskipun terjadi kenaikan harga jagung, petani hampir tidak menikmati kenaikan tersebut.
Setidaknya ada beberapa hal lain yang menyebabkan produksi jagung berkurang, Pertama, komoditas jagung belum menjadi komoditas utama untuk dikembangkan. Sistem pola tanam jagung bergantian dengan tanaman padi. Petani akan menanam jagung jika mereka memiliki waktu, biaya, dan tenaga yang lebih setelah mereka menanam padi. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, separuh dari total areal produksi jagung 3,87 juta hektar di Pulau Jawa menggunakan pola sistem tanam bergantian ini.
Kedua, sistem manajemen stok jagung kita juga belum tertata. Kemampuan petani dalam pengadaan sarana produksi juga disertai penerapan teknologi budi daya masih rendah. Demikian pula dalam penanganan pascapanen yang berpengaruh pada kualitas jagung, penyimpanan, hingga pemasaran.
Dari berbagai sumber