Jakarta, 14 Desember 2016. Sejumlah organisasi Masyarakat Sipil dari Negara anggota RCEP menghadiri acara The Stakeholder Meeting With RCEP Trade Negotiation Committee pada 7 Desember 2016. Acara ini berlangsung ditengah-tengah berjalannya perundingan RCEP yang tengah berlangsung sejak tanggal 6-10 Desember 2016, di ICE, BSD, Tangerang,
Dalam pertemuan tersebut, masyarakat sipil berharap catatan kritis terhadap RCEP dampak kepentingan rakyat akibat perjanjian RCEP menjadi pertimbangan bagi para negosiator, mengingat klausul perjanjian dari teks RCEP yang bocor, memiliki kemiripan dengan teks TPP (Trans Pasific Partnership).
Dr. Partcia Renald from Australian Fair Trade and Investment Network say “the RCEP must not to repeat the mistake of the failed TPP. We don’t want stronger medicine monopolies which would delay cheaper medicine from becoming available. We dont want benefit investor to have the right to sue government over our democratic law”
Terkait dengan isu investasi, Rachmi Hertanti dari Indonesia for Global Justice menyampaikan bahwa RCEP tidak perlu memasukan ketentuan Investor-State Dispute Settlement (ISDS). “Indonesia sebenarnya sudah punya modal bagus, dimana dalam model perjanjian investasi model baru milik Indonesia hendak meminimalisir resiko gugatan ISDS. Ini perlu didukung”, jelas Rachmi.
Profesor Jean Kelsey dari Auckland University in New Zealand mengatakan “It is misleading to call RCEP a “trade” agreement. It is really a set of rules designed to benefit corporation and put hadcuffs on the goverment’s liability to promote social and development goals. These aggrements are being repeated and over the world. RCEP must be rejected to and own goverments must develop alternative that meet the needs of the peoples no corporation”
Luasnya pengaturan RCEP maka akan berdampak ke seluruh sektor masyarakat, baik itu kesehatan, pertanian, E-commerce, lingkungan, maupun buruh.
Herman Abdulrahman, Ketua Umum Federasi Perjuangan Buruh Indonesia menambahkan, “Dimana jika Indonesia menyetujui perjanjian RCEP, maka liberalisasi semakin dibuka, dan jumlah pengganguran akan semakin meningkat dan ini berpengaruh pada upah buruh. Adanya PP. 78 tahun 2015tentang pengupahan saja, sudah semakin menurunkan presentase kenaikan upah buruh. Apalagi dengan adanya RCEP, upah buruh akan semakin merosot. Kami hanya ingin perjanjian perdagangan yang berkeadilan dan saling mengakui kedaulatan masing-masing negara, bukan saling menundukkan”
Dinda Nuranisa Yura dari Solidaritas Perempuan menyampaikan bahwa dampak RCEP terhadap perempuan berlapis-lapis. “Akibat liberalisasi, maka perempuan kehilangan sumber-sumber penghidupannya yang pada akhirnya menjadikan perempuan sebagai buruh migran”, tegas Nisa.
Khalisah Khalid, WALHI mengatakan bahwa “perjanjian perdagangan bebas seperti RCEP beresiko tinggi bagi negara-negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, namun tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol SDA-nya. Ditengah semakin massifnya kerusakan lingkungan hidup akibat praktek eksploitasi sumber daya alam oleh korporasi. Korporasi bisa menggugat negara jika membuat kebijakan perundingan keselamatan masyarakat dan lingkungan. Karena dianggap merugikan investasi.”
“RCEP, akan menambahkan derita kaum petani dan RCEP mewajibkan setiap negara untuk bergabung dalam UPOV 1991. Dampak hal ini akan semakin menghilangkan kekuasaan benihnya. Semoga dari tekanan dari kita, Pemerintah akan membatalkan RCEP. Selain itu juga, RCEP akan semakin membuka impor pangan.“ujar Zainal Haq, dari Serikat Petani Indonesia.
Firdaus Cahyadi, Satu dunia mengatakan “Perundingan RCEP harus multistakeholder bukan bersifat tertutup. Padahal bab soal E-commerce sangant terkait dengan kepentingan masyarakat. Dimana data pribadi kita akan mudah diakses oleh negara lain. Selain itu, setiap Web yang mengandung pelanggaran terhadap HAKI akan langsung diblokir, termasuk setiap pengguna internet, jurnalis akan lebih mudah untuk dikriminalisasi jika memberitakan suatu persoalan yang terkiat dengan sebuah perusahaan. Hal ini dikarenakan dianggap membuka kerahasiaan perusahaan.
Sindi, Indonesia AIDS Coalition menyampaikan bahwa “RCEP mengatur soal hak kekayaan intelektual dengan standar tinggi. Seperti kita ketahui bahwa harga obat untuk penyakit HIV dan Hepatitis C sangat mahal. Adanya pemberlakuan Fleksibilitas TRIPS dengan memanfaatkan Compulsory License membuat Pemerintah memberikan ketersediaan terhadap obat generik untuk obat HIV. Sayangnya, di RCEP terdapat klausul-klausul HKI yang akan menghambat produksi obat generik dimana selama ini banyak pasien HIV bergantung pada ARV generik. Kami harapkan klausul ini dihilangkan karena berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak yang membutuhkan akses terhadap obat.”
Ferry Widodo, Aliansi Petani Indonesia menyatakan bahwa “Pemerintah Indonesia harus segera mengambil keputusan untuk keluar dari perundingan tersebut. Perundingan ini tidak memenuhi suara Indonesia karena proses ini sama sekali tidak pernah melibatkan masyarakat”tegasnya.
Selain itu, perjanjian tersbut akan menutup kebijakan-kebijakan yang pro terhadap publik, yang akhirnya RCEP tidak hanya akan berdampak pada persoalan ekonomi semata, melainkan menempatkan perampasan terhadap hak asasi manusia menjadi hal yang legal dengan kebijakan pemerintah yang akan semakin menyampingan perlindungan terhadap masyarakat dan hanya mengedepankan kepentingan korporasi dan investor asing.
Meeting ini, juga menjadi harapan besar kami agar para negosiator lebih mempertimbangkan pandangan kritis yang kami sampaikan sehingga menolak setiap klausul yang bertentangan dengan kepentingan publik.
RCEP bukan pilihan bagi Indonesia dan bukan satu-satunya solusi dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, tetapi semakin mempertajam ketimpangan antara rakyat dan korporasi. Menempatkan RCEP sebagai pilihan, merupkan kekeliruan yang nyata oleh pemerintah Indonesia untuk semakin menghilangkan kedaulatan negara indonesia dan jelas bertentangan dengan amanat konstitusi.
Selanjutnya, pasca meeting tersebut koalisi mengadakan media briefing dengan rekan-rekan media yang dilaksanakan di Bakoel Koffie. Agenda ini untuk menginformasikan kepada masyarakat luas bahwa RCEP hanya akan membawa persoalan bangsa Indonesia semakin rumit ditengah peliknya persoalan ekonomi seperti kemiskinan, upah buruh murah, perampasan tanah bagi petani dan rakyat, reklamasi wilayah pesisir yang berdampak pada pencaharian nelayan dan mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin melambung.
Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Keadilan Ekonomi:
Indonesia for Global Justice – Indonesia AIDS Coalition – WALHI – Solidaritas Perempuan – SafeNet – SatuDunia – CREATA – Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) – KruHA Bina Desa – Aliansi Petani Indonesia