Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, hal ini terlihat dari minimnya penguasaan lahan oleh rakyat kecil. Diperkirakan hanya sekitar enam persen dari total lahan di Indonesia yang dikuasai rakyat kecil.
Data KPA mencatat, sekitar 71 persen lahan dikuasai korporasi kehutanan, 16 persen lahan dimiliki oleh korporasi perkebunan skala besar, dan tujuh persen dalam genggaman para konglomerat.
“Bahkan monopoli kekayaan agraria terjadi di hampir semua sektor kehidupan rakyat,” ujar Dewi dalam Konferensi Pers terkait peringatan Hari Tani Nasional 2017, di kantor KPA, Minggu (24/9).
Dampaknya, tingkat kemiskinan di pedesaan meningkat, ditandai dengan jumlah penduduk miskin yang mencapai 17,1 juta penduduk pada Maret 2017 lalu.
Selain itu, tumpulnya reforma agraria dalam memecahkan ketimpangan, juga terlihat dari kian suburnya konflik perebutan lahan antara masyarakat dengan korporasi raksasa. “Perampasan dan kriminalisasi petani justru semakin marak terjadi,” kata Dewi.
Tercatat, sedikitnya ada 702 konflik agraria di atas lahan seluas 1,66 juta hektar yang mengorbankan sekitar 195 ribu kepala keluarga (KK) petani dalam kurun waktu 2015-2016.
“Dalam kurun waktu itu, sedikitnya 455 petani dikriminalisasi dan ditahan, 229 petani mengalami kekerasan dan ditembak, serta 18 orang tewas,” imbuhnya.
Yaitu, melalui kebijakan redistribusi lahan dan legalisasi aset mencapai sembilan juta hektar bagi petani. Sayang, target teknis itu pun diprediksi juga sulit tercapai karena lambatnya kerja pemerintah.
“Pemerintah lebih fokus ke legalisasi tanah yang sudah lama dimiliki masyarakat, tapi tidak pada bagaimana memecah ketimpangan,” kata Slamet pada kesempatan yang sama.
Untuk itu, KNTA yang merupakan gabungan dari beberapa asosiasi meminta Jokowi untuk segera merubah strukur pelaksanaan dan arti dari reforma agraria yang lebih menekankan pada mengentasan ketimpangan dan kemiskinan.