Diskusi dihadiri tidak kurang dari 50 peserta berasal dari berbagai latar belakang organisasi masyarakat (SPI, Agra, SPP, Pergerakan), LSM (Binadesa, KPA, Walhi, IGJ, Elsam, PBHI, Sawit Watch), Komnas HAM dan mahasiswa (Somasi-Unas). sementara beberapa partai politik yang sengaja diundang dalam momentum tersebut tidak satupun terlihat menampakkan diri, sebuah sinyalemen klasik betapa pelaku-pelaku politik saat ini belum sensitif terhadap issue-issue krusial bangsa.
Acara dimulai dengan pemutaran film pendek tentang aksi penentangan liberalisasi pertanian dan peristiwa kematian Lee Kyung Hae di Cancun yang diikuti dengan ceremony penghormatan (mengheningkan cipta) pada pukul 15.00 dan dilanjutkan dengan pemutaran clip pendek peristiwa kekerasan negara dan korporasi terhadap petani Langkat, Sumatra Utara.
Salah satu narasumber, Gunawan Wiradi, dalam kesempatan itu menegaskan bahwa persoalan agraria merupakan persoalan yang sangat pelik dan komplicated karena melibatkan sekian banyak stakeholder, dimana peran tentara sangat perlu untuk menjadi pertimbangan.
“untuk berhasil perjuangan agraria ini, perlahan kita harus gandeng tentara”, ungkapnya. “sekian banyak kasus agraria melibatkan tentara sebagai salah satu kunci penting persengketaan. di waktu gerilya dulu, selama 9 bulan siapa yang ngasih makan tentara dengan gratis kalau bukan petani di desa-desa, sementara fungsi negara kolaps? itu harus kita sampaikan kepada mereka. jadi saat ini jangan justru tentara dan apalagi negara memusuhi petani”, tambahnya.
Meski sudah terbilang uzur, bapak satu ini juga tampak gesit mengkritik peran Komnas HAM yang dinilainya kurang efisien. menurutnya Komnas HAM selama ini dalam penanganan masalah-masalah sengketa agraria lebih bersifat kasuistik, sehingga terkesan hilang satu tumbuh seribu. kekerasan terhadap petani tetap saja jalan di di berbagai tempat, suatu hal yang dicurigainya sebagai klik-klik yang bersifat politis.
Jhoni Simanjutak, Komisioner Komnas Ham yang selama ini sering menangani kasus-kasus kekerasan terhadap petani, tak pelak segera menepis tudingan Gunawan Wiradi.
“Komnas bukan berarti lamban dengan penanganan case to case. pemikiran dan strategi untuk menangani permasalahan secara lebih konprehensif juga sudah lama jadi wacana di Komnas. hanya saja situasi lapangan menuntut penyikapan Komnas juga menjadi per kasus. Namun hal ini tidak berarti Komnas tidak memiliki visi penyelesaian masalah dalam kerangka besar dan efisien”, ungkapnya.
Sementara itu Saiful Bahari melihat bahwa konflik-konflik agraria tidak dapat dilepaskan dari bentuk dan karakteristik kekuasaan serta sistem ekonomi politik yang berkembang. Selama ini perhatian pada kasus-kasus agraria dan kaitannya dengan kecenderungan arah politik masih cukup minim menjadi kajian yang dalam. Konsentrasi kebanyakan berada pada resolusi-resolusi kasus dan tidak dalam kerangka besar kasus itu sendiri dan hubungannya dengan kecenderungan peta politik.
“saya ingin mengajak kepada kita semua untuk meletakkan gerakan reforma agraria ini pada perspektif yang luas dan konteks. kita butuh blue print gerakan yang jelas. dan bahwa tanpa ada perubahan karakteristik kekuasaan di tengah situasi neoliberalisme seperti saat ini”.
Agustiana, Sekejend Serikat Petani Pasundan yang datang belakangan menambahkan tentang semakin agresifnya aparat kepolisian terlibat dalam kasus-kasus agraria dan berada pada posisi berhadapan dengan petani dengan melakukan berbagai tindak kekerasan dan melindungi kepentingan korporasi. selain itu dia juga melihat persoalan PPAN sebagai masalah yang tidak jelas.
“polisi ini apa kurang kerjaan ato memang sedang dalam mainset tertentu? ini lembaga gak ada yang ditakuti lagi tampaknya. kekerasan terhadap petani dalam kasus-kasus tanah merata di mana-mana. kasus-kasus salah tangkap seringkali terjadi. Komnas HAM harus bersikap secara tegas. Komnas Ham jangan hanya mendasarkan senjata media namun juga legitimasi dari gerakan petani Indonesia. jangan hanya main di tingkat penghukuman media namun juga penghukuman politik dan yuridis”, katanya.
diskusi juga menghangat dengan berbagai feedback dari para peserta yang banyak mempersoalkan tentang strategi penanganan kasus-kasus agraria beserta kritik dan otokritik terhadap berbagai tindakan yang selama ini diambil dan dialami di lapangan terkait kasus-kasus agraria. Kedepan diharapkan bahwa jaringan reforma harus menjadi lebih kuat dan sinergis sehingga akan dapat memperkuat posisi tawar perjuangan petani di level kekuasaan dan sistem kebijakan politik ekonomi bangsa.
Diskusi ditutup dengan acara buka bersama dan obrolan informal terkait rencana pertemuan jaringan reforma agraria yang akan digelar sehari sesudahnya di Eknas Walhi jakarta dan melibatkan berbagai organisasi petani dan LSM yang sebagian besar datang pada kesempatan itu [Dzi]
Diskusi dihadiri tidak kurang dari 50 peserta berasal dari berbagai latar belakang organisasi masyarakat (SPI, Agra, SPP, Pergerakan), LSM (Binadesa, KPA, Walhi, IGJ, Elsam, PBHI, Sawit Watch), Komnas HAM dan mahasiswa (Somasi-Unas). sementara beberapa partai politik yang sengaja diundang dalam momentum tersebut tidak satupun terlihat menampakkan diri, sebuah sinyalemen klasik betapa pelaku-pelaku politik saat ini belum sensitif terhadap issue-issue krusial bangsa.
Acara dimulai dengan pemutaran film pendek tentang aksi penentangan liberalisasi pertanian dan peristiwa kematian Lee Kyung Hae di Cancun yang diikuti dengan ceremony penghormatan (mengheningkan cipta) pada pukul 15.00 dan dilanjutkan dengan pemutaran clip pendek peristiwa kekerasan negara dan korporasi terhadap petani Langkat, Sumatra Utara.
Salah satu narasumber, Gunawan Wiradi, dalam kesempatan itu menegaskan bahwa persoalan agraria merupakan persoalan yang sangat pelik dan komplicated karena melibatkan sekian banyak stakeholder, dimana peran tentara sangat perlu untuk menjadi pertimbangan.
“untuk berhasil perjuangan agraria ini, perlahan kita harus gandeng tentara”, ungkapnya. “sekian banyak kasus agraria melibatkan tentara sebagai salah satu kunci penting persengketaan. di waktu gerilya dulu, selama 9 bulan siapa yang ngasih makan tentara dengan gratis kalau bukan petani di desa-desa, sementara fungsi negara kolaps? itu harus kita sampaikan kepada mereka. jadi saat ini jangan justru tentara dan apalagi negara memusuhi petani”, tambahnya.
Meski sudah terbilang uzur, bapak satu ini juga tampak gesit mengkritik peran Komnas HAM yang dinilainya kurang efisien. menurutnya Komnas HAM selama ini dalam penanganan masalah-masalah sengketa agraria lebih bersifat kasuistik, sehingga terkesan hilang satu tumbuh seribu. kekerasan terhadap petani tetap saja jalan di di berbagai tempat, suatu hal yang dicurigainya sebagai klik-klik yang bersifat politis.
Jhoni Simanjutak, Komisioner Komnas Ham yang selama ini sering menangani kasus-kasus kekerasan terhadap petani, tak pelak segera menepis tudingan Gunawan Wiradi.
“Komnas bukan berarti lamban dengan penanganan case to case. pemikiran dan strategi untuk menangani permasalahan secara lebih konprehensif juga sudah lama jadi wacana di Komnas. hanya saja situasi lapangan menuntut penyikapan Komnas juga menjadi per kasus. Namun hal ini tidak berarti Komnas tidak memiliki visi penyelesaian masalah dalam kerangka besar dan efisien”, ungkapnya.
Sementara itu Saiful Bahari melihat bahwa konflik-konflik agraria tidak dapat dilepaskan dari bentuk dan karakteristik kekuasaan serta sistem ekonomi politik yang berkembang. Selama ini perhatian pada kasus-kasus agraria dan kaitannya dengan kecenderungan arah politik masih cukup minim menjadi kajian yang dalam. Konsentrasi kebanyakan berada pada resolusi-resolusi kasus dan tidak dalam kerangka besar kasus itu sendiri dan hubungannya dengan kecenderungan peta politik.
“saya ingin mengajak kepada kita semua untuk meletakkan gerakan reforma agraria ini pada perspektif yang luas dan konteks. kita butuh blue print gerakan yang jelas. dan bahwa tanpa ada perubahan karakteristik kekuasaan di tengah situasi neoliberalisme seperti saat ini”.
Agustiana, Sekejend Serikat Petani Pasundan yang datang belakangan menambahkan tentang semakin agresifnya aparat kepolisian terlibat dalam kasus-kasus agraria dan berada pada posisi berhadapan dengan petani dengan melakukan berbagai tindak kekerasan dan melindungi kepentingan korporasi. selain itu dia juga melihat persoalan PPAN sebagai masalah yang tidak jelas.
“polisi ini apa kurang kerjaan ato memang sedang dalam mainset tertentu? ini lembaga gak ada yang ditakuti lagi tampaknya. kekerasan terhadap petani dalam kasus-kasus tanah merata di mana-mana. kasus-kasus salah tangkap seringkali terjadi. Komnas HAM harus bersikap secara tegas. Komnas Ham jangan hanya mendasarkan senjata media namun juga legitimasi dari gerakan petani Indonesia. jangan hanya main di tingkat penghukuman media namun juga penghukuman politik dan yuridis”, katanya.
diskusi juga menghangat dengan berbagai feedback dari para peserta yang banyak mempersoalkan tentang strategi penanganan kasus-kasus agraria beserta kritik dan otokritik terhadap berbagai tindakan yang selama ini diambil dan dialami di lapangan terkait kasus-kasus agraria. Kedepan diharapkan bahwa jaringan reforma harus menjadi lebih kuat dan sinergis sehingga akan dapat memperkuat posisi tawar perjuangan petani di level kekuasaan dan sistem kebijakan politik ekonomi bangsa.
Diskusi ditutup dengan acara buka bersama dan obrolan informal terkait rencana pertemuan jaringan reforma agraria yang akan digelar sehari sesudahnya di Eknas Walhi jakarta dan melibatkan berbagai organisasi petani dan LSM yang sebagian besar datang pada kesempatan itu [Dzi]