Jakarta, CNN Indonesia — Tim Advokasi Keadilan Perkebunan hari ini menggugat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan ke Mahkamah Konstitusi. Beberapa pasal dalam UU tersebut dinilai inkonstitusional dan berpotensi melanggar hak asasi manusia, khususnya bagi petani dan masyarakat adat.
Salah satu anggota tim sekaligus Ketua Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) Gunawan mengatakan, secara umum UU Perkebunan yang disahkan tahun lalu hanya mengulang kesalahan UU Perkebunan yang lama.
Keberadaan UU Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014 tidak lepas dari kemenangan petani dalam uji materi UU Perkebunan Nomor 18 Tahun 2004 yang pernah dilakukan sebelumnya. Pada 2011, MK membatalkan pasal 21 dan 47 UU tersebut karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
“Undang-undang ini gagal melakukan transformasi terhadap praktik perkebunan di Indonesia yang merupakan warisan kolonialisme,” kata Gunawan saat ditemui usai konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (27/10).
Lihat juga: |
Gunawan mengatakan, harapan petani dan masyarakat adat atas uji materi ini agar transformasi di sektor perkebunan kelapa sawit dapat berjalan lebih berkeadilan, mewujudkan kemandirian, dan menunjukan keberpihakan kepada petani sesuai amanat UUD 1945.
Dia menjelaskan beberapa pasal yang diajukan untuk uji materi. Pertama, adanya penghilangan hak-hak masyarakat adat atas penguasaan tanah atau diskriminasi terhadap pranata hukum masyarakat adat. Dalam UU tersebut, pelaksanaan musyawarah dengan masyarakat adat diatur dalam peraturan perundangan, sebagaimana bunyi pasal 12 ayat 2.
“Ini menimbulkan masalah ketidakpastian hukum. Peraturan perundangan mana yang mau kita ikuti,” tanya Gunawan.
Mantan aktivis 98 ini mengatakan, jika merujuk UUD 1945 masyarakat adat diatur dalam UU. Sedangkan RUU masyarakat adat, tambahnya, sudah hilang dari Prolegnas. “Jadi yang kita ikuti yang mana, peraturan menteri agraria atau berbagai macam Perda.”
Pelanggaran lain terkait penetapan masyarakat adat diatur pada pasal 13 UU Perkebunan. Menurutnya, peraturan perundangan seharusnya bukan menetapkan masyarakat adat tetapi memberi pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak mereka.
“Masyarakat hukum adat itu tidak ditetapkan tapi diberikan pengakuan,” tegasnya.
Selain itu, UU Perkebunan dinilai melanggar konstitusi terkait hak petani dalam budidaya pemuliaan tanaman. Gunawan menyebut pelanggaran konstitusi yang dimaksud adalah tidak diakomodirnya perorangan petani kecil dalam pemuliaan tanaman perkebunan.
“Petani perkebunan pemuliaan tanaman waktu dia mencari, mengembangkan, dan mengedarkan benih harus melalui izin pemerintah. Seharusnya berdasarkan putusan MK terhadap UU sistem budidaya tanaman, peraturan itu tidak boleh lagi diberlakukan terhadap petani, termasuk pada petani perkebunan,” ujar Gunawan.
Undang-undang ini juga dinilai tidak memberikan jaminan kepastian hukum terkait legalitas perusahaan dalam menjalankan usaha perkebunan. Pasal 42 mengatur bahwa perusahaan perkebunan dapat melakukan usaha/mengolah perkebunan ketika memperoleh hak guna usaha (HGU), atau hanya dengan sekadar memperoleh izin usaha perkebunan.
Menurut Gunawan, seharusnya usaha perkebunan baru bisa dilakukan setelah perusahaan memiliki izin usaha perkebunan dan HGU, bukan hanya salah satu dari keduanya. Dia berpendapat, ketiadaan HGU juga dapat berpotensi menghilangkan pendapatan negara.
“Ketidakpastian hukumnya, izin usaha perkebunan bukan hak penguasaan pemilikan. Hal itu melanggengkan konflik agraria antara perkebunan dengan masyarakat. Kedua, potensi hilangnya penerimaan negara akibat ketiadaan HGU,” kata Gunawan.
Aktivis Sawit Watch Mario Saputra Sanudin menilai perusahaan yang baru mendapat Izin Usaha Perkebunan tapi sudah mengolah lahan berarti bertindak ilegal. Meskipun pada praktiknya banyak pula perusahaan yang membuka perkebunan hanya bermodal izin prinsip, izin paling pertama dari pemerintah daerah.
Mario juga sependapat dengan Gunawan, bahwa perusahaan yang tidak memiliki HGU malah merugikan pendapatan negara, lantaran mereka tidak membayar pajak.
“Potensi kehilangan pemasukan negara besar sekali ketika mereka tidak mendapatkan HGU. Kalau IUP itu (perusahaan) tidak bayar pajak, kalau HGU baru bayar pajak,” kata Mario.
Selain itu UU Perkebunan dinilai membuka celah adanya diskriminasi hukum. Gunawan mengatakan, pasal 114 memberikan kemudahan yang lebih besar kepada penanaman modal asing untuk melakukan penyesuaian hingga HGU habis.
“Kalau penanaman modal asing itu disesuaikan dengan undang-undang, seharusnya tidak harus menunggu HGU habis. Dia harus diberi batas waktu untuk segera menyesuaikan,” kata Gunawan.
Atas sekian persoalan itu, Mario menilai pengesahan UU Perkebunan sarat dengan kepentingan perusahaan. “Undang-undang ini dihasilkan karena ada pesanan. Kalau dibedah tiap pasal, yang diuntungkan adalah pihak swasta, perusahaan terutama,” ujar Mario. (utd)
SUMBER: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151027205735-12-87776/sarat-pesanan-swasta-uu-perkebunan-digugat-ke-mk/